Liputan6.com, Jakarta - Sudah lama kecurigaan mengarah ke telepon seluler. Paparan radiasinya mungkin berpotensi membahayakan tubuh, bahkan nyawa manusia.
Ahli epidemiologi dan ilmuwan bidang kesehatan, George Carlo, PhD, JD adalah yang pertama sadar dan menyebut potensi bahaya dari paparan gelombang elektromagnetik yang dihasilkan ponsel.
Ia menjalani penelitian panjang, dari tahun1993, 1999, bahkan terus berlanjut hingga kini.
"Setiap hari, kita berenang di samudera radiasi elektromagnet (electromagnetic radiation) yang diproduksi oleh peralatan listrik, kabel-kabel catu daya, atau kabel yang semata berseliweran di kolong meja dan gedung tempat kita kerja, bahkan di rumah,” ujar Carlo, dikutip dari Lef, Senin (8/12/2014).
Tak hanya ponsel yang ditempelkan ke telinga kita.
Sejumlah peralatan dari alat pencuci piring, microwave, hingga jam, dan ponsel di dekat bantal tempat kepala kita terebah tertidur serta pancaran sinar televisi, gelombang elektromagnet merangsek ke seluruh bagian tubuh. Seluruh bagian tubuh kita terpapar gelombang elektromagnet.
Belum ada satu pun penelitian membuktikan keamanan semua alat itu, seberapa bagusnya mereka membuat produk dan mengklaim keamanannya.
Carlo bercerita, industri telepon seluler lahir di awal 1980-an, ketika teknologi komunikasi yang dikembangkan untuk Departemen Pertahanan akhirnya diizinkan untuk diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berfokus pada keuntungan.
Kelompok ini, dengan ide-ide besar dan sumber daya yang terbatas, menekan lembaga-khususnya peraturan pemerintah Food and Drug Administration (FDA) untuk menjual ponsel tanpa tes kelayakan (dampak bagi kesehatan).
"Pada saat itu, satu-satunya efek kesehatan dilihat dari gelombang mikro yang cukup kuat sehingga memanaskan jaringan tubuh manusia. Namun karena tekanan bisnis, ponsel dibebaskan dari semua jenis pengawasan, peraturan, dan pengecualian. Bahkan hingga kini," ujar Carlo.
Saat ini, lanjut Carlo, ada lebih dari dua miliar pengguna ponsel yang terkena paparan radiasi elektromagnetik (EMR). Namun pemerintah AS dan industri ponsel menolak untuk mengakui masalah ini. Termasuk beberapa kemungkinan yang dipaparkan para ahli seperti kerusakan genetik, disfungsi otak, tumor otak, dan kondisi lain seperti gangguan tidur dan sakit kepala.
Advertisement
"(Ancaman) 1-9 jam saat menelepon sangat tidak relevan. Mekanisme bahaya ponsel bisa dipicu dalam hitungan detik. Industri ponsel sepenuhnya sadar bahaya ini. Sayang, belum ada bukti ilmiah yang cukup untuk menggugat produsen ponsel atau penyedia layanan," katanya.
Carlo pun mengulas sejumlah studi yang tidak relevan, seperti studi di Jerman yang menyatakan ponsel aman -- tapi terkuak riset tersebut didanai industri ponsel. Pada Desember 2006, studi epidemiologi mengenai bahaya ponsel diterbitkan dalam Journal of National Cancer Institute.
"Akibat penemuan ini, 10 headline koran berbunyi, 'Studi Denmark Menemukan Penggunaan Ponsel Aman'. Begitupun dengan seluruh penyiar berita TV yang mengatakan ponsel itu aman! Sayangnya, setelah ditelusuri, itu adalah studi cacat yang didanai oleh industri ponsel dan dirancang untuk membawa hasil positif," kata Carlo.
Menurut Carlo, masalah utama dengan penelitian ini adalah rancunya definisi orang yang tidak terkena radiasi. Pengguna ponsel didefinisikan sebagai orang yang setidaknya melakukan satu panggilan telepon per minggu selama enam bulan antara tahun 1982 dan 1995. Pada kenyataannya, paparan radiasi antara pengguna dan non-pengguna didefinisikan dengan cara ini tidak terlihat.
"Penelitian ini tidak konsisten dengan statistik kanker yang diterbitkan di seluruh dunia karena dilakukan hanya dalam populasi Denmark. Selain itu, penelitian ini menunjukkan risiko rendah kanker secara keseluruhan, padahal Denmark merupakan salah satu negara dengan populasi kanker tertinggi di dunia. Ketidakkonsistenan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak pas," ujarnya.
Di sisi lain, penelitian Eropa mengonfirmasi temuan Dr Carlo. Studi tersebut menunjukkan bahwa radiasi ponsel bisa mengakibatkan disfungsi otak, tumor, dan berpotensi tinggi autisme, gangguan perhatian (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), penyakit neurodegenerative, dan masalah perilaku dan psikologis.
Dr Carlo akhirnya membawa informasi ini ke hadapan publik melalui bukunya, 'Cell Phones: Invisible Hazards in the Wireless Age, dan tata cara keselamatan Wireless dan ponsel bagi kesehatan.
Kuncinya: jaga jarak aman. "Selalu menggunakan headset untuk meminimalkan paparan radiasi ponsel berbahaya," ujarnya.
Kata-katanya ini ternyata semakin membuatnya ditantang untuk membuktikan bahaya paparan radiasi ponsel.
"Ketika dipanggil untuk membuktikan bahaya ponsel, saya masih bekerja dengan FDA untuk penelitian silikon implan payudara. Tapi sebagai seorang ahli epidemiologi, ia kemudian dipilih oleh industri ponsel untuk membuat pernyataan kalau ponsel itu aman," tukasnya.
Bagaimanapun, dia akhirnya menolak untuk menjadi sasaran empuk industri ponsel. Dia segera merekrut sekelompok ilmuwan terkemuka untuk bekerjasama dengannya. Dia bahkan menciptakan semacam diskusi kelompok yang melibatkan lebih dari 200 dokter dan ilmuwan dan diketuai Dr John Graham dari Harvard University School of Public Health untuk membahas masalah ini.
Akhirnya diputuskanlah empat persyaratan yang disajikan Dr Carlo terkait risetnya itu.
Pertama, dana yang dikelola industri harus independen dan tidak bisa digunakan untuk mengontrol siapapun. Kedua, segala ulasan sebelum dipublikasikan harus di review. Ketiga FDA tetap mengawasi dan memberikan masukan untuk mencegah persepsi bahwa industri membayar sejumlah kalangan. Dan terakhir yang menurutnya paling penting adalah peranan media yang terbuka terhadap semua hal.
Peristiwa Misterius
Peristiwa Misterius
Dr Carlo dan timnya mulai mengembangkan sistem baru, in vitro (laboratorium) dan in vivo (hewan). In vitro menggunakan darah manusia dan jaringan getah bening dalam tabung reaksi, sedangkan
In vivo menggunakan tikus di laboratorium. Studi ini mengidentifikasi adanya kerusakan DNA pada tikus setelah terpapar radiasi.
"Kami juga melakukan empat studi epidemiologi berbeda juga lebih dari lima puluh studi yang peer-review dan diterbitkan di sejumlah jurnal medis dan ilmiah," ungkapnya.
Tapi lagi-lagi, manipulasi industri diduga kembali menekan penelitian Carlo lantaran dirinya dan tim tidak pernah mendefinisikan ponsel itu aman.
"Sejak awal, apa yang dikatakan oleh industri ponsel di masyarakat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh para ilmuwan," kata Carlo.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa ponsel memang mengganggu alat pacu jantung. Hebatnya, industri malah marah dengan laporan tersebut, mengeluh bahwa para peneliti telah melampaui batas," terangnya.
Tapi Dr Carlo dan rekan-rekannya bukannya takut malah bersemangat menerbitkan temuan mereka di New England Journal of Medicine pada 1997. Walhasil, 11 industri yang mendanai penelitian mendadak mundur.
Penelitian terus berlanjut meski ada keinginan Carlo untuk mundur. Pada 1998, para ilmuwan tiba-tiba dihadapkan dengan tantangan lain, industri ingin mengambil alih penyebaran informasi publik. Ketakutan ini malah menciptakan 'perang' antara ilmuwan dan industri. ABC News dalam beritanya bahkan mengekspos murka industri.
"Industri ponsel bermain kotor. Mereka mempekerjakan orang untuk menyerukan hal-hal negatif tentang saya dan para ilmuwan lainnya. Mereka terus menyudutkan kami," jelas Carlo pada media.
Menjelang akhir tahun 1998, rumah Dr. Carlo secara misterius ludes terbakar. Catatan publik menunjukkan bahwa pihak berwenang tidak pernah bisa menerangkan apa yang menyebabkan si jago api itu muncul. Dr Carlo pun menolak untuk membahas insiden tersebut dan mulai menghindari mata publik lalu menghilang.
Advertisement
Mengapa Ponsel Berbahaya?
Mengapa Ponsel Berbahaya?
Mengapa ponsel berbahaya? pada dasarnya ponsel merupakan radio yang mengirim sinyal melalui gelombang ke stasiun penerima. Sinyal pembawa ini memancar atau menyebar melalui dua tipe radiasi, dekat dan jauh.
Menurut Dr. Carlo, gelombang yang terpancar di kebanyakan ponsel sekitar 1.900 megahertz (MHz) dan tidak kelihatan dan tidak merusak secara langsung tubuh kita. Meski begitu data berupa suara atau data lain bisa menjadi masalah.
Dan walaupun tidak merusak, gelombang itu dikenali oleh tubuh sebagai sebuah serangan. Dan inilah yang membuat tubuh membentuk sistem pertahanan diri.
Gangguan yang terjadi ini, menurut Carlo lebih pada serangan yang bisa merubah biokimia dalam sel-sel tubuh kita. Ada beberapa gangguan yang bisa terjadi karena keluarnya sistem pertahanan itu,
Antara lain:
1. Menebalnya membran-membran sel dan menyebabkan nutrisi sulit masuk dan produk yang sudah jadi sampah masuk.
2. Sampah yang menumpuk dalam sel bisa menyebabkan munculnya radikal bebas dan merusak DNA.
3. Kematian sel, lepasnya mikronuklei dari DNA yang rusak dan masuk ke cairan antar sel hingga menjadi bebas dan berkembang banyak. Inilah yang disebut potensi kanker oleh Dr. Carlo.
4. Kerusakan protein di membran sel, menghilangnya komunikasi antarsel. Akibatnya, jaringan rusak, organ dan organisme tidak berfungsi lagi.
Dengan risiko itulah, Carlo menemukan bahwa gelombang radio pada ponsel secara dramatis meningkat karena meluasnya penggunaan ponsel, Wi-Fi, dan komunikasi nirkabel lainnya. Dan hampir semua gejala akut dan kronis, bisa ditemukan pada pasien electrosensitive.
Gejala-gejala ini dari electrosensitivity termasuk ketidakmampuan tidur, sakit kepala, risiko attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), autisme, dan gangguan kecemasan.
Cara Melindungi Diri
Apapun yang terjadi pada Carlo, ia tetap menyarankan pengguna ponsel untuk tetap melindungi diri dari bahaya radiasi ponsel dengan menjaga jarak telepon.
"Cukup menggunakan headset atau hands-free sehingga ada jarak enam sampai tujuh inci dari tubuh. Ini cukup membantu menurunkan risiko penyakit," katanya.
Dia menambahkan, headset paling aman adalah yang memiliki tabung udara berongga, mirip seperti stetoskop, bukan wires. Selain itu, ia menghimbau untuk menghindari menyimpan ponsel di kantung celana atau di pinggang.
"80 persen sel-sel darah merah terbentuk di tulang pinggul. Radiasi ponsel bisa mematikan jaringan penting selagi tubuh memproduksi sel darah merah. Selebihnya, bila perlu, gunakan speaker phone ketimbang head set untuk mengurangi paparan radiasi langsung ke telinga Anda," jelasnya.
Tak Perlu Panik
Tak Perlu Panik
Dalam sejumlah penelitian disebutkan, telepon generasi ketiga (3G) akan meningkatkan risiko glioma, kanker otak atau tulang belakang. Namun paramedis mengatakan tidak perlu panik.
Seperti diberitakan Asiaone, ahli bedah saraf, Dr Keith Goh mengatakan, penggunaan ponsel tidak berbahaya karena penelitian sebelumnya dalam jurnal medis Patofisiologi meneliti penggunaan ponsel selama 25 tahun. Selama itu, baru manusia berisiko tiga kali lipat terkena glioma.
"Penelitian ini dilakukan oleh seorang profesor onkologi di Swedia, Lennart Hardell dan Michael Carlberg. Keduanya dari Orebro University Hospital. Para pasien tumor otak yang diteliti ini didiagnosis di Swedia antara tahun 1997 dan 2003, dan antara 2007 dan 2009. Jadi perlu tambahan penelitian, seperti misalnya apakah tumor mempengaruhi pengguna ponsel dalam 10 tahun," katanya.
Kendati demikian, Kepala The Cancer Centre, Singapore Medical Group Clinic, Dr Wong mengungkapkan bahwa para ilmuwan enggan menarik hubungan sebab akibat langsung antara penggunaan ponsel dan glioma karena radiasi ponsel.
"Ada alasan orang panik ketika tentang radiasi di Fukushima. Tapi itu radiasi dengan frekuensi tinggi yang bisa merusak sel DNA. Sedangkan ponsel, sangat kecil kemungkinannya untuk merusak DNA," kata Wong.
Ahli bedah saraf lain, Dr Ivan Ng menuturkan, penyebab tumor otak hingga kini masih belum diketahui sehingga terlalu dini untuk mengatakan kebenaran. "Seperti halnya, hubungan antara rokok dan kanker paru-paru yang ditarik pada1950, tapi pada tahun 80-an dan 90-an orang-orang baru menyadarinya."
"Sebagai saran, Anda mungkin harus menghindari menyimpan ponsel di bawah bantal sebelum tidur," katanya.
Advertisement