Liputan6.com, Jakarta - "Ini kuasa Tuhan." Begitu kalimat pertama yang terlontar dari mulut gadis muda yang menjadi penumpang dan saksi hidup Tragedi Bintaro II pada 9 Desember 2013, kecelakaan kereta dan truk BBM berkapasitas 24 ribu liter di perlintasan Pondok Betung, Jakarta Selatan. Gadis tersebut bernama Dinda Irmawati. Ia berangkat dari Stasiun Pondok Ranji dan berdiri tepat di belakang pintu masinis sambil memegang gantungan tangan yang berada tepat di atasnya.
Menurut wanita yang kini berusia 22 tahun itu, ada firasat yang muncul sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Seraya gemetar, Dinda mengungkap sesuatu hal yang menurutnya aneh. Ketika menghadap pintu masinis, Dinda mendapati seorang pria membuka pintu dengan wajah tersenyum. Dinda menduga, pria itu adalah salah satu pendamping masinis.
Dinda pun tertahan oleh senyuman itu dan mengurungkan niat masuk ke ruang lokomotif. Belum habis senyuman itu dipandang dan juga belum sempat masuk ke dalam ruang masinis, suara ledakan terdengar. Seketika langsung membuat seisi gerbong panik. Tangis pun pecah, jeritan di mana-mana.
Usai benturan keras tersebut, kata Dinda, lokomotif dan gerbong kereta mengeluarkan asap, yang disusul jilatan api besar. Sontak para penumpang yang didominasi wanita itu histeris dan sudah berjatuhan di bawah dengan posisi tidak beraturan lagi. Di situ semua orang mengagungkan Sang Pencipta.
"Allahu akbar, Allahu akbar. Saya nginjek orang dan saya dengar yang di bawah sudah teriak minta tolong. Lalu saya pegang besi di atas dan nggak lama warga buka pintu. Tapi rambut saya terbakar," sedih Dinda.
Sesaat sebelum Dinda berhasil keluar dari gerbong kereta, pandangan matanya sempat tertuju lagi ke tempat orang yang tertawa tadi. Namun, justru hal tersebut membuat dirinya sulit keluar. "Saya orang ke-3 yang keluar. Saya juga sempat nengok ke arah sana (tempat ia melihat orang tertawa) lagi. Tas saya malah nyantel dan akhirnya saya lepasin tas saya," papar Dinda.
Dinda menjadi salah satu dari puluhan orang yang menjadi korban kecelakaan di pintu perlintasan Pondok Betung. Sebanyak 7 orang dinyatakan tewas, termasuk masinis. Korban luka-luka sekitar 50 orang.
Saat itu, kereta yang melaju dari arah Serpong ke Tanah Abang menghantam truk tangki pengangkut BBM milik Pertamina. Lokasi tabrakan juga dekat dengan SMA 86. Kecelakaan yang terjadi sekitar pukul 11.15 WIB itu diduga terjadi karena sopir truk BBM Pertamina lalai, menerabas palang pintu yang sudah mulai turun. KAI juga mengklaim sirene perlintasan sudah meraung. Kereta juga telah membunyikan klaksonnya.
Truk itu nyelonong. Lalu, brak!!! Tabrakan tak terelakan. Lokomotif KA 1131 itu menumbuk truk tangki di perlintasan itu. Truk terseret sekitar 20 meter dari titik tabrakan. Dan ledakan terdengar beberapa kali.
Baca Juga
Api dengan cepat berkobar, asap hitam pun membubung ke langit. Prekat.Jerit dan tangis histeris pun terdengar di Bintaro. Penumpang panik. Tumbukan kereta dengan truk BBM itu membuat mereka tumbang. Terjatuh, saling gencet. Beberapa dari mereka terinjak-injak. Kondisi terparah berada di gerbong pertama yang merupakan kereta perempuan. Saking hebatnya benturan, gerbong itu terguling.
Horor semakin bertambah karena tangki BBM yang dihajar kereta meledak. Tak hanya sekali. Ledakan terjadi berkali-kali. Api yang berkobar menjilat gerbong depan yang ditumpangi para perempuan itu. Akibatnya, derita penumpang semakin bertambah. Selain terbentur, beberapa di antaranya terbakar. Proses evakuasi pun menegangkan. Kini jalan yang melalui perlintasan kereta itu menjadi satu arah.
Advertisement
Bersambung ke: Tragedi Bintaro pada Zaman Belanda
Tragedi Bintaro Zaman Belanda
Hasil penyelidikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyatakan, salah satu penyebab kecelakaan yang sering disebut Tragedi Bintaro 2 itu adalah akibat pintu pelintasan telat menutup. Menurut Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT Kusnendi Soehardjo, masinis telah berusaha mengerem kereta dua kali untuk menghindari tabrakan. Teknisi kereta juga telah memberitahu penumpang bahwa akan terjadi tabrakan.
"Di depan truk ada dua sepeda motor sehingga tidak bisa maju. Kernet sudah memberitahu sopir, namun sopir mengatakan 'saya harus gimana lagi', maka terjadi kecelakaan," ujar Kusnendi.
Kecelakaan ini bukanlah yang kali pertama. Kecelakaan juga terjadi pada 19 Oktober 1987 atau yang disebut Tragedi Bintaro I. Senin pagi itu, KA 225 jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang bertabrakan dengan KA 220 jurusan Tanah Abang-Merak, 200 meter dari palang pintu Pondok Betung. Banyak penumpang menggelepar saat itu. Sebanyak 156 orang dinyatakan tewas, puluhan lainnya terluka berat dalam kecelakaan yang terjadi di antara Stasiun Pondok Ranji dan Pemakaman Tanah Kusir, sebelah utara SMA 86 Bintaro itu. Kisah itu kini abadi lewat lagu 1910 karya Iwan Fals.
Namun demikian, berdasarkan cerita sang ayah, Mahfud yang tinggal di sekitar lokasi tragedi mengatakan, peristiwa Pondok Betung adalah tragedi yang kali ketiga. Menurut dia, sebelum Tragedi Bintaro I, ada kecelakaan kereta pada 1948 yang menewaskan para pejuang dari Banten. Namun saat itu berbeda, para pejuang tersebut sedang menuju markas para penjajah Belanda.
"Persisnya pembantaian ya. Ada pejuang dari Banten naik kereta semua (menuju) ke markas Belanda yang kini jadi Stasiun Kebayoran Lama atau Tangsi. Ditembakin di sepanjang jalan perlintasan sini. Nggak ke ekspose aja," cerita Mahfud. Setelah itu, sambungnya, jenazah para pejuang tersebut dibiarkan terlantar dan tidak langsung dimakamkan. "Jenazah itu tergeletak di sepanjang rel dari Bintaro ke Pondok Betung. Dulu, rel kereta api itu posisinya di bawah rumah," ucap Mahfud menirukan cerita pria kelahiran 1922 itu. (Riz/Ans)
Advertisement