Sukses

Kuasa Hukum Guru JIS: Dakwaan JPU Mengada-ada

Tim pengacara 2 guru JIS itu menilai dakwaan itu tak memenuhi kaidah-kaidah dasar hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP.

Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus pelecehan yang melibatkan 2 guru Jakarta International School (JIS) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Sidang tersebut beragendakan pembacaan eksepsi dari para terdakwa, yaitu Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong.

Dalam eksepsi, tim pengacara 2 terdakwa yang diwakili Patra M Zen dan Hotman Paris Hutapea menilai seluruh dakwaan JPU sangat absurd dan tidak masuk akal. Dakwaan itu juga tak memenuhi kaidah-kaidah dasar hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP.

Dalam eksepsi itu, tim pengacara memberi contoh bahwa dalam surat dakwaan, jaksa menyebut kasus tersebut terjadi pada waktu yang tidak dapat diingat lagi secara pasti. Yakni antara bulan Januari 2013 sampai bulan Maret 2014.

Dakwaan itu dinilainya tidak memenuhi ketentuan KUHAP, khususnya Pasal 143 ayat (2) huruf b yang mengharuskan disebutkan uraian yang jelas dan cermat atas waktu terjadinya pidana.

"Jelas terlihat kasus ini sangat dipaksakan dan para guru ini sengaja dikorbankan, persis seperti dugaan kami sejak awal kasus ini terjadi," jelas Patra di PN Selatan, Jakarta, Selasa (9/12/2014).

Pengacara lainnya, Hotman Paris Hutapea mengatakan, seharusnya ketika JPU membuat dakwaan tidak hanya menerima laporan dari polisi. Tapi melakukan pemeriksaan dan bahkan investigasi lebih mendalam terkait kasus yang diserahkan kepolisian. Termasuk mengetahui latar belakang munculnya kasus yang terjadi pada 2 guru JIS ini.

Sebab, lanjut Hotman, Neil dan Ferdy diadukan ke polisi dengan tuduhan tindakan asusila setelah gugatan perdata oleh ibu MAK, berinisial TPW, ditolak dan kemudian dinaikkan menjadi US$ 125 juta atau hampir senilai Rp 1,5 triliun.

Sementara, gugatan pidana sejak awal yang dilakukan TPW kepada JIS senilai US$ 12 juta hanya ditujukan bagi 6 pekerja kebersihan. TPW menggugat JIS sebesar itu lantaran anaknya diduga mengalami pelecehan seksual.

"Dakwaan jaksa mengada-ada dan sangat berbahaya bagi sistem hukum di Indonesia. Baru kali ini sebuah kasus pidana tidak jelas disebutkan kapan waktunya dan di mana dilakukan. Sistem hukum kita bisa rusak dengan cara-cara mengkreasi kasus seperti ini," jelas Hotman.

Dengan tidak adanya kepastian waktu dan kejadian, JPU telah menempatkan para tersangka seolah-olah selalu ada untuk melakukan kejahatan. Padahal sangat mungkin para guru tersebut tidak ada di Indonesia pada waktu-waktu yang dituduhkan.

"Tanpa bukti yang jelas dan dakwaan yang tidak memenuhi KUHAP kasus dua guru JIS ini tidak layak dilanjutkan lagi. Memaksakan sebuah kebohongan ke ruang pengadilan akan menghancurkan dan merusak tatanan hukum di Indonesia," tandas Hotman. (Ali/Ans)