Liputan6.com, Jakarta - Een Sukaesih lahir di Sumedang pada 10 Agustus 1963 silam. Wanita paruh baya ini sempat mengenyam pendidikan di IKIP Bandung yang kini bernama UPI Bandung.
Namun setelah penyakit Rheumatoid arthritis menyerang tubuhnya, praktis selama 27 tahun terakhir Een Sukaesih harus menjalani hari-harinya di atas tempat tidurnya. Impian menjadi seorang guru di sekolah pun pupus. Namun ia tidak patah semangat, di atas tempat tidur dia tetap menjagaj.
Meski hidup di tengah kesederhanaan dan keterbatasan fisik, Een tetap berjuang mewujudkan pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Dimulai dengan mengajar anak-anak di lingkungan sekitarnya di Dusun Batu Karut, RT 01 RW 05 Cibereum Wetan, Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat.
Pada usia 51 tahun, Een menghembuskan nafas terakhir pada Jumat 12 Desember 2014. Presiden SBY pun menyampaikan dukacita melalui Twitter. Meski telah tiada, namun kisah hidupnya penuh inspirasi dan teladan.
1. Pelopor Rumah Pintar Al-Barokah
1. Pelopor Rumah Pintar Al-Barokah
Uwa Een, begitu sapaan akrabnya, akhirnya mendirikan tempat pendidikan bernama Rumah Pintar pada Juli 2013. Rumah Pintar ini menjadi sarana kegiatan belajar-mengajar untuk anak-anak dari mana saja yang ingin belajar. Semangat mengajar menjadikan banyak orang mengulurkan tangan untuk membantu keinginan Een membangun tempat pendidikan di rumahnya.
Een berkeinginan, di Rumah Pintar itu ada ruang perpustakaan, ruang belajar, dan ruang pentas seni. Jadi bisa berfungsi bagi semua komponen masyarakat. Rumah Pintar itu pun diberikan secara cuma-cuma alias gratis bagi semua komponen masyarakat.
"Jadi serba guna, bisa berfungsi untuk semua kalangan. Bisa untuk para siswa, masyarakat, karang taruna, dan ibu-ibu PKK," ujar Bu Een.
Advertisement
2. Sabar, Tegar dan Optimis
2. Sabar, Tegar dan Optimis
Mendidik anak didik terkadang butuh kesabaran dan keuletan. Tak jarang para pendidik melakukan kekerasan fisik jika tidak memiliki kesabaran. Namun Een melakukan itu dengan penuh kesabaran dan keuletan, meski penyakit yang diderita terus menggerogoti tubuhnya. Ia tetap sabar mengajar anak-anak didiknya sambil berbaring di tempat tidurnya yang hanya berukuran sekitar 1x2 meter.
Een bahkan pernah memberikan petuah kepada para pendidik di Tanah Air, bahwa kunci keberhasilan pendidikan adalah kasih sayang dan penuh keyakinan. "Saat mendapati masalah yakinlah, sebenarnya tengah dipersiapkan-Nya tuk menjadi sosok yang tegar dan berani," demikian petuah Een semasa hidupnya.
3. Inovatif dan Penuh Semangat
3. Inovatif dan Penuh Semangat
Meski di tengah keterbatasan fisik dan ekonomi, namun Een terus optimis dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Bahkan ia termasuk sosok yang inovatif. Hal ini terbukti dengan penghargaan yang diraihnya.
Een telah menerima penghargaan Special Achievement Liputan6 Award untuk kategori Inovasi, Kemanusiaan, Pendidikan, Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan dari SCTV Award 2013.
Dengan penghargaan itu, Een yang biasa dipanggil Uwa ini ingin membuktikan bahwa keterbatasannya tidak menjadi halangan buat dirinya untuk terus mengabdikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Meskipun penyakit Rheumatoid arthritis menyerang tubuhnya. Lumpuh dari ujung kaki ke leher.
Advertisement
4. Sang Guru Qalbu
4. Sang Guru Qalbu
Een memang telah menginspirasi. Selama 30 tahun Een lumpuh total karena radang sendi parah. Hanya mata dan mulutnya yang bisa bergerak, tapi bukan patah semangat. Een yang lulus jurusan bimbingan dan konseling IKIP Bandung, membaktikan diri mengajar anak-anak di sekitarnya. Banyak di antara anak didik Een tumbuh jadi siswa-siswi berprestasi.
Selain dikenal sebagai guru pendidikan umum, Een juga dikenal sangat religius. Hampir setiap saat Een selalu berdoa dan berzikir di atas perbaringannya. Jari-jarinya terus menggenggam tasbih.
Di sela-sela aktivitas mengajar pendidikan umum, Een juga mengajarkan tentang kehidupan spiritualnya. Tak heran jika semasa hidupnya, pernah ada peluncuran buku berjudul "Een Sukaesih Sang Guru Qolbu."
Buku ini diharap bisa jadi inspirasi bagi siapa saja. Een tidak pernah membayangkan akan pernah ada sebuah buku yang menggambarkan perjalanan hidupnya.
5. Menangisi Murid-muridnya
5. Menangisi Murid-muridnya
Dengan keterbatasan fisiknya, Een selalu mengkhawatirkan puluhan murid-muridnya bila ajal sudah menjemputnya. Ia khawatir murid-muridnya tidak ada lagi yang mendidik jika ajal telah menjemputnya.
Â
"Saya khawatir jika nanti saya sudah tidak ada. Apakah akan ada tempat untuk mereka (murid-muridnya) bertanya lagi?"Â ungkap Een, Rabu 19 Juni 2013.
Â
Een mengaku jumlah relawan yang ada saat ini memang banyak di Rumah Pintar. Namun, itu tidak dapat menjamin masa depan anak-anaknya secara langsung.
"Relawan memang banyak, tapi kan mereka juga terkait dengan kebutuhan hidup masing-masing," imbuh dia. Karena itu, Een menginginkan lebih banyak lagi masyarakat Indonesia yang menjadi relawan pendidikan untuk bangsanya sendiri. (Rmn/Sss)
Advertisement