Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan mengulurkan tangan membantu membayarkan ganti rugi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Sementara Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK optimistis lumpur di wilayah itu akan berhenti dan mendatangkan keuntungan yang berkali-kali lipat.
"Sederhananya gini, tanah itu 1 ribu hektare, jadi 10 juta meter persegi. Kalau harga sekarang Rp 1 juta, nilainya Rp 10 triliun. Lapindo tak rugi kalau (lumpur) berhenti, kembali modal itu," kata JK di kantor Wapres, Jakarta, Jumat (19/12/2014).
"Rakyat juga senang dibayar 5 kali lipat atau lebih dari NJOP-nya. Itu harga tanah 5 kali lipat dari sebelumnya, pemerintah selesai masalah, Lapindo kembali modalnya. Kalau tak bayar ya pemerintah ambil itu."
Biar Rakyat Tenang
Baca Juga
Saat ini, kata dia, yang dilakukan pemerintah adalah melakukan transaksi jual-beli, bukan sekadar membantu ganti rugi. PT Lapindo Brantas diberi waktu 4 tahun untuk mengganti uang pemerintah.
"Jadi pemerintah talangi dulu agar rakyat tenang‎. Tapi ini bukan ganti rugi, tapi jual-beli, pahami itu dulu," ujar dia.
"Sekarang Lapindo punya tanah yang sudah dilunasi 1 ribu hektare. Itu harus dijaminkan pada pemerintah, pemerintah kasih batas waktu 4 tahun. Membantu rakyat, dengan jaminan Lapindo. Begitu Lapindo 4 tahun tak bayar, negara ambil alih Lapindo," imbuh JK.
Pemerintah akan menggunakan APBN 2015 untuk menalangi PT Lapindo Brantas sebesar Rp 781 miliar. JK mengatakan hal itu tak akan membuat negara merugi.
"Tidak akan. Kalau berhenti, negara untung. Kalau tak berhenti, ya tunggu sampai berhenti. Bisa berhenti 5 tahun mendatang, ada kasus-kasus yang berhenti 10 tahun, 20 tahun, ada tak berhenti, tapi ini pasti berhenti," tutur dia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan, pemerintah setuju membayar sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar 20 persen lahan yang masuk area terdampak. Dana itu akan dianggarkan dalam APBN tahun depan.
Advertisement
Diakui dia, aset tanah area yang terkena dampak lumpur Lapindo memiliki nilai sekitar Rp 3 triliun. Soal persetujuan DPR, pemerintah tak khawatir karena mengacu pada putusan MK bahwa rakyat tak boleh dibiarkan sengsara. (Ndy/Ans)