Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Nomor 417 K/Pid.Sus/2014 Mahkamah Agung (MA) terkait kasus pengadaan dua pesawat Boeing.
Novum atau bukti baru yang dijadikan bahan pertimbangan adalah vonis Pengadilan Distrik Columbia Amerika Serikat (AS) kepada dua pemilik sebuah perusahaan leasing pesawat AS bernama Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), yakni Jon Cooper dan Alan Messner.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung langkah hukum yang diambil Hotasi. Sebab, ia tak mau persoalan kebijakan dikriminalkan.
"Ya tentu itu baik karena ada PK. Saya setuju bahwa sejak awal kebijakan-kebijakan itu jangan langsung dikriminalkan karena kebijakan itu kan kadang-kadang baik, kadang-kadang juga yang tidak disangka. Ya ada saja akibat," ungkap JK di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (22/12/2014).
"Saya setuju bahwa Hotasi mengajukan PK," tegas dia.
JK menjelaskan, kasus yang menimpa Hotasi terjadi karena kesalahan penipuan dan penggelapan dana Security Deposito PT MNA yang dilakukan Cooper dan Messner. Cooper dihukum 18 bulan penjara dengan pengawasan 36 bulan setelah itu. Sementara, Messner divonis 12 bulan penjara dengan pengawasan 36 bulan. Keduanya juga wajib membayar US$1 juta kepada PT MNA.
"Sama dengan kita percaya orang di luar negeri tapi kemudian dia salah. Ya, memang harus dipertimbangkan dari sisi itu," tutur JK.
Hotasi Tak Terima Putusan MA
Majelis kasasi MA diketuai Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan Moh Askin telah memberikan keputusan vonis 4 tahun dan denda Rp 200 juta.
Hotasi tidak menerima putusan itu sehingga melakukan PK. Ia beralasan telah mendapatkan vonis bebas murni dari Pengadilan Negeri.
Hotasi Nababan pun menilai, keputusan MA itu sama dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Karena itu, ia menilai majelis kasasi yang diketuai oleh Artidjo Alkostar tidak memperdulikan keseluruhan persidangan.
Ia menambahkan ada beberapa pertimbangan Artidjo yang keliru. Hal itu antara lain Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah memberikan kewenangan direksi fleksibilitas untuk memilih tipe pesawat yang menguntungkan perusahaan.
Kedua, penempatan security deposit (SD) itu dilakukan di Law Firm Hume di Washington sebagai custodian, dan tidak boleh diambil sepihak sesuai peraturan di AS. Ketiga, sudah ada letter of intent (LOI) antara Merpati dan TALG yang menjadi dasar penempatan security deposit yang mengikat.
"LOI ini dianggap sebagai perjanjian mengikat yang menjadi dasar menangnya gugatan Merpati terhadap TALG di pengadilan Washington pada 2007," tutur Hotasi.
Keempat, circular board of director (BOD) merupakan keputusan kolektif direksi Merpati. "Bukan keputusan sendiri," kata Hotasi.
Kelima, legal opinion yang dibuat oleh biro hukum menjadi bukti yang tidak relevan oleh Hakim di Pengadilan Negeri karena tertanggal setelah penempatan SD. Keenam, kedua warga negara AS yang telah menipu Merpati mengambil SD itu sedang diadili pengadilan di Washington DC atas tuntutan kejahatan tingkat tinggi.
Hukuman ini juga diberikan kepada Tony Sudjiarto sebagai General Manager pengadaan pesawat PT Merpati Nusantara Airlines. Adapun kasus ini bermula dari rencana Merpati melakukan pengadaan dua pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 pada 2006. (Mvi/Yus)
Advertisement