Liputan6.com, Semarang - Jam menunjukkan pukul 16.27 WIB, saat Dukuh Rejosari RT 07/RW III, Desa Mororejo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah usai diguyur hujan deras disertai angin kencang. Rintik hujan masih tersisa. Saat itulah Sujari (75) terbaring menggigil kedinginan di atas dipan bambu.
Di tengah gerimis sisa hujan itu, seorang perempuan tua terlihat berjingkat menghindari lumpur dan genangan air. Sutri (65) adalah tetangga Sujari. Tangannya yang keriput itu terlihat berada di dalam kebaya yang dikenakannya, terlihat ia melindungi sesuatu dari terpaan gerimis.
Setiba di bilik berdinding anyaman bambu dan plastik, tangan Sutri dikeluarkan. Tergopoh-gopoh ia mengangsurkan sebuah sarung untuk menyelimuti Sujari.
"Matur nuwun bu (terima kasih bu)," kata Sujari pelan dengan suara bergetar.
"Mangkih nek awake pun rodo anget, dhahar rumiyin mbah (nanti kalau badannya sudah agak hangat, makan dulu kek)," kata Sutri sambil mengangsurkan sebuah tempat bekal anak sekolah.
Sepenggal kisah di atas, bukanlah cerita fiksi. Kisah nyata itu tak sengaja terlihat saat Liputan6.com melintas di pedukuhan tepi hutan perbatasan Semarang-Kendal.
Sujari adalah seorang kakek sebatang kara yang menderita kelumpuhan setelah kecelakaan menimpanya 4 tahun lalu. Untuk buang air besar dan kecil serta mandi, lelaki tua renta yang sudah 7 tahun ditinggal mati istrinya itu, harus merangkak. Sedangkan untuk kebutuhan makan dan minumnya, ia dibantu oleh Sutri (65) tetangganya, yang sama-sama miskin.
Sujari bercerita bahwa sewaktu sehat ia bekerja serabutan. Pada 2010, sebuah kecelakaan menimpanya. Ia terserempet mobil saat menyeberang jalan.
"Sejak saat itu saya tak bisa apa-apa. Saya lumpuh. Saya pikir saya akan menyusul istri saya, ternyata Tuhan masih memberi kesempatan bertobat lebih lama," ujar Sujari.
Sementara itu Sutri bercerita apa yang telah ia lakukan itu, semata-mata didasari rasa kemanusiaan saja.
"Mbah Sujari, hidupnya sangat menderita. Ia tidak punya apa-apa. Setiap hari, hanya terlentang di dipan yang terbuat dari kayu," tutur Sutri, yang juga tinggal sendirian di rumah papan berlantai tanah, ukuran 3 x 3,5 meter ini.
Sutri mengaku, dirinya membantu memberi makan dan minum kepada Sujari, sejak lelaki sebatang kara itu kecelakaan ditabrak kendaraan saat menyeberang mau beli makan.
"Kecelakaannya pada tahun 2010. Sejak itu, dia tidak bisa jalan. Saya yang memberinya makan dan minum. Tapi ya, sebatas kemampuan saya. Kalau saya masak nasi ikan asin, ya saya kasih nasi ikan asin. Kalau nasi krupuk, ya saya kasih makan nasi krupuk," kata Sutri.
Tak Diperhatikan Pemerintah
Persahabatan Sutri-Sujari ini ternyata belum mampu mengusik rasa kemanusiaan pemerintah, termasuk pemerintahan paling bawah, yaitu pemerintahan desa. Sutri adalah buruh tani yang mengandalkan hidupnya dari buruh menanam, menyiangi dan memanen padi.
"Selama ini baik saya maupun Mbah sujari belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah," ucap Sutri.
Sedangkan Sujari mengaku tidak pernah tahu jika pemerintah pernah mempunyai program bantuan untuk rakyat miskin. Baik itu Jamkesmas, BLT ataupun PSKS dan aneka Kartu Sakti era Jokowi sekarang ini.
"Kalau ditanya mengharap, tentu saja saya mengharap. Tapi saya ini orang kecil, nggak bisa apa-apa. Jangan-jangan malah dianggap beban negara kalau saya minta," kata Sujari.
Sujari mengaku, jika ia mendapatkan bantuan, rencananya akan ia pasrahkan semua kepada Sutri agar dikelola untuk membantu kebutuhan dirinya. Sutri juga berpendapat sama, ia tak mempersoalkan siapapun yang mendapat bantuan. Baik dirinya maupun Sujari, jika ada sedikit uang, akan ia gunakan untuk membantu Sujari.
"Sayangnya, kami sama-sama miskin. Jadi bisanya ya, begini ini. Untuk listrik penerangan mbah Sujari, diberi tetangga. Tapi kalau lampunya putus, saya yang membelikannya," kata Sutri.
Persahabatan 2 manusia renta miskin ini, entah akan berlangsung sampai kapan. Namun dipastikan mereka tinggal di dua bangunan berbeda. Sujari tinggal di bilik berukuran 3x3 meter berlantai tanah berdinding anyaman bambu dan plastik, sementara Sutri tinggal kurang lebih 20 meter dari bilik Sujari.
Bilik Sutri berukuran lebih besar yakni 4 x 3,5 meter dan lebih rapat karena terbuat dari anyaman bambu dan papan kayu.
Sementara gerimis belum reda, Sutri berpamitan akan membereskan biliknya. Sujari hanya mengangguk, namun tatapan matanya seperti mengucap terima kasih, sedangkan mulutnya terkunci.
Bersamaan dengan berpisahnya Sujari-Sutri, hari juga mulai gelap. Lampu penerangan 5 watt di bilik Sujari juga sudah menyala. Sujari diam, matanya menerawang di langit-langit rumahnya yang terbuat dari seng yang juga sudah mulai berlubang di beberapa tempat. (Ans/Mut)