Liputan6.com, Jakarta - Kejanggalan demi kejanggalan terus terungkap dalam kasus dugaan kekerasan seksual oleh guru Jakarta International School (JIS). Dalam sidang dengan terdakwa Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong‎, 2 guru JIS yang jadi terdakwa itu, 2 saksi korban yang dihadirkan memberikan keterangan yang tak lazim.
Hotman Paris, kuasa hukum kedua terdakwa mengatakan salah satu korban AL mengaku dirinya senang bermain bersama teman-temannya di sekolah TK JIS. AL juga mengungkapkan bahwa orangtuanya ikut mengajar di kelasnya dan sering berada di sekolah. Bahkan AL tiap hari diantar dan dijemput orangtua atau pengasuhnya.
"Jadi mustahil jika diantar jemput oleh ayah dan ibunya tiap hari, mereka tidak mengetahui ada sodomi terhadap si anak," ujar Hotman, Jakarta, Rabu (24/12/2014).
Hotman menegaskan 2 hal, pertama kasus sodomi tidak pernah terjadi. Kedua, tuduhan ini hanya sebuah cerita yang direkayasa. Keterangan anak tidak bisa dijadikan alat bukti berdasarkan KUHAP. Apalagi pada saat menjawab pertanyaan dari jaksa di persidangan, AL banyak mengatakan lupa, tidak tahu, dan tidak ingat.
Pengacara kondang itu mengungkapkan, AL ketika diperiksa kepolisian terkait tersangka petugas kebersihan --yang juga disaksikan si Ibu-- menyampaikan bahwa dia tidak pernah mengalami kekerasan seksual.
Menurut Hotman, cerita guru ini muncul belakangan. Sejak awal kasus kekerasan seksual JIS ini muncul pada Maret lalu, tidak pernah ada penyebutan guru-guru terlibat kejahatan seksual di sekolah bertaraf internasional itu. Baru ketika mediasi antara ibu AL, TPW dan JIS menemukan jalan buntu, kasus guru muncul dengan cerita tuduhan fantastis.
"Dengan menyeret guru, ibu pertama menaikkan gugatannya hingga hampir Rp 1,5 triliun. Fakta-fakta seperti ini harus bisa diungkap pengadilan untuk tahu apa motif sebenarnya dari kasus ini," ucap Hotman.
Ciri-ciri Berbeda
Baca Juga
Sebagai gambaran, pada April lalu melalui pernyataan yang dikutip media, pengacara OC Kaligis dan Kepala Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengatakan, orang yang dicurigai melakukan kejahatan asusila adalah orang berambut panjang, pirang, dikuncir kuda, bermata biru dengan badan atletis.
Advertisement
Sementara ciri-ciri ini sangat bertentangan dengan 2 guru yang ditahan dan dijadikan terdakwa saat ini. Neil botak, sedangkan Ferdi berambut pendek. Keduanya tidak ada yang bermata biru.
Karena itu, menurut Hotman, AL dari pernyataan awal ketika BAP sudah mengatakan ia tidak mengalami kekerasan seksual. "Menjadi pertanyaan bagi kami ketika cerita anak ini berubah belakangan, dan tempat tuduhan kejadiannya terus berubah-berubah."
"Selain kesaksian anak yang tegas menyatakan tak ada sodomi dan kekerasan seksual lain, kasus ini menjadi aneh lantaran jaksa tak menyebut waktu dan tempat kejadian di surat dakwaan," sambung Hotman.
Hal itu, kata Hotman, seperti yang terlihat dalam dakwaan kasus yang melibatkan 2 guru itu. Dalam dakwaan yang mengenai waktu dan terjadinya kejadian pidana berbunyi "terjadi pada waktu yang tidak dapat diingat lagi dengan pasti antara Januari 2013 sampai Maret 2014 bertempat... (tidak jelas)".
Artinya, lanjut Hotman, dakwaan pidana oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) itu tidak menyebutkan kapan peristiwa ini terjadi, di mana, dan dengan bukti-bukti apa. Dakwaan tersebut tidak memenuhi ketentuan dalam KUHAP, khususnya Pasal 143 ayat 2 huruf B yang mengharuskan disebutkan uraian yang jelas dan cermat atas waktu terjadinya pidana.
"Setelah kita diperlihatkan banyak keanehan dan akrobat hukum dalam kasus pekerja kebersihan, kini kita harus menjalani sebuah kasus di mana jaksanya sendiri tak tahu pasti lokasi dan waktu kejadiannya. Semoga keadilan dan kebenaran masih bisa terungkap dalam kasus Neil dan Ferdi ini," ujar Hotman Paris. (Riz/Rmn)