Sukses

Nandong, Budaya Simeulue Aceh yang Selamatkan Warga dari Tsunami

Meski tak punya teknologi peringatan dini tsunami, warga Pulau Simeulue, Aceh mampu membaca tanda-tanda alam melalui budaya nandong.

Liputan6.com, Simeulue, Aceh - Bersahabatlah dengan alam, maka alam akan ramah padamu. Ungkapan itu tepat seperti apa yang telah dilakukan masyarakat di Pulau Simeulue, Aceh, secara turun temurun sejak berabad-abad lalu.

Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Jumat (26/12/2014), melalui budaya Nandong atau Nanga-nanga yaitu bersyair, orangtua di Kabupaten Simeulue mengajarkan kepada anak-cucunya tentang kearifan melihat gejala bencana alam.

Terlebih bencana alam kerap menghampiri daerah pesisir atau kepulauan tempat mereka tinggal. Seperti gempa bumi dan gelombang laut besar yang kini disebut tsunami. Sedangkan dalam Nandong, tsunami dikenal dengan nama smong.

Pengalaman mengalami smong atau gelombang tsunami tahun 1907 di daerah Salur, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue diturunkan melalui syair nyanyian Nandong dari generasi ke generasi agar cermat membaca tanda alam.

Dalam syair juga dijelaskan ciri-ciri gejala bencana alam, seperti guncangan gempa yang kuat, air laut yang tiba-tiba surut, dan gelombang besar yang melanda setelahnya.

Dan terbukti, pada saat gempa dan gelombang tsunami melanda pantai barat Aceh dan Sumatra Utara pada 26 Desember 2004 silam, warga Simeulue yang tinggal di kawasan pesisir justru tercatat sebagai wilayah dengan jumlah korban jiwa paling sedikit.

Dari 78 ribu penduduk Pulau Simeulue yang sebagian besar adalah nelayan dan tinggal di kawasan pesisir, korban jiwa tercatat 7 orang. Jauh lebih kecil dibanding daerah lain yang dilanda gempa dan tsunami 10 tahun lalu.

Meski tak mempunyai teknologi peringatan dini terjadinya tsunami, masyarakat Simeulue mampu membaca tanda-tanda alam. Kerifan lokal yang diwariskan turun-temurun ini pula mampu menghindari jatuhnya banyak korban saat bencana tsunami. (Nfs/Mut)