Liputan6.com, Jakarta - AirAsia QZ850 rute Surabaya-Singapura sempat berusaha menghindari awan cumulonimbus sebelum menghilang pada 28 Desember 2014. Dan hingga kini posisi pesawat berpenumpang 155 itu masih dalam proses pelacakan.
Awan yang dimaksud bukan awan biasa, melainkan cumulonimbus. Cumulonimbus merupakan awan dengan massa besar. Kepala Sub Bidang Informasi Meteorologi BMKG Hary Tirto Djatmiko menuturkan, bentuk awan ini seperti bunga kol besar berwarna abu-abu yang menggantung di langit.
Awan ini terbentuk sebagai hasil ketidakstabilan atmosfer. Gesekan partikel-partikel di dalamnya dapat menimbulkan muatan listrik. "Biasanya lebih banyak terjadi di masa transisi atau pancaroba," tutur Hary.
Saat masa pancaroba, biasanya cuaca pagi hari cerah dan terik dengan kelembaban tinggi yang memicu rasa gerah. Pada waktu-waktu ini, proses pembentukan awan tengah berlangsung. Awan terus berkumpul semakin lama semakin besar.
Advertisement
Lalu seberapa berbahayakah awan ini bagi penerbangan?
Executive Advisor Asosiasi Pilot Garuda (APG) Kapten Shadrach M Nababan menjelaskan, awan ini menjadi ancaman bagi proses penerbangan jika berada pada lintasan pendaratan pesawat. Karena awan jenis ini bisa memicu terbentuknya wind shear dan microburst.
Wind shear merupakan perubahan arah dan kecepatan angin yang terjadi tiba-tiba. Sementara microburst adalah angin yang menghempas ke bawah dan turun ke tanah yang menyebabkan perbedaan atau penyimpangan angin yang kuat. Microburst mampu menghasilkan angin lebih dari 100 mph dan bisa menyebabkan kerusakan yang signifikan.
"Awan cumulonimbus adalah salah satu jenis awan yang paling besar," jelas Nababan kepada Liputan6.com di Jakarta, Senin (29/12/2014).
"Dia (awan cumulonimbus) berbahaya apabila berada pada posisi lintasan mau mendarat, karena dia bisa membuat wind shear atau paling parah microburst. Sudah beberapa kecelakaan di Amerika karena microburst," imbuh dia.
Selanjutnya: Cara Menghindari Awan Cumulonimbus...
Cara Menghindari Awan Cumulonimbus
Cara Menghindari Awan Cumulonimbus
Lalu bagaimana cara menghindarinya awan ini? "Kalau di tengah perjalanan tinggal menghindari saja. Kita ke kiri atau ke kanan, tergantung pilihan yang terbaik," ujar Nababan.
Menurut Nababan, yang terpenting saat menghadapi awan ini adalah menghindar ke arah angin. Jika angin berbelok dari kiri, maka pesawat harus dibawa berbelok ke arah kiri. Dan sebaliknya.
"Jangan malah di belakang angin," ucap ayah 2 anak tersebut.
Nababan menuturkan, munculnya awan cumulonimbus ini sebenarnya bisa dimonitor lewat pantauan mata dan radar cuaca yang terdapat di ruang kokpit. Melalui radar tersebut, pilot dapat melihat celah yang terdapat di antara kumpulan awan cumulonimbus. Lalu melesat menjauh lewat celah-celah tersebut.
"Kalau banyak ada celah-celah, yah arahkan ke celah di antara 2 awan atau 3 awan," tutur dia.
"Tak mungkin tak ada celah. Intensitas awan pada radar itu direpresentasikan dengan warna, hijau, magenta, hitam. Maka kita cari yang tak ada warna atau gelap. Itu berarti tak ada awan (ada celah). Kalau tak ada (warna hitam) cari yang hijau, itu yang lunak tak terlalu padat," papar Nababan.
Sebelum terbang pun, sambung dia, selalu ada prakiraan cuaca. Dalam prakiraan tersebut terdapat informasi seputar kondisi awan di langit, ketinggiannya, dan intensitasnya.
Tak cuma awan cumulonimbus saja yang harus diwaspadai para penerbang. Nababan memaparkan, ada sederet faktor cuaca lain yang juga mesti diperhatikan. Seperti hujan es dan kabut saat pendaratan.
Namun Nababan enggan berspekulasi mengenai kaitan awan cumulonimbus dan hilangnya AirAsia QZ850. Menurut dia, ada banyak faktor yang turut mempengaruhi penerbangan. "Tak hanya 1 penyebab." (Ndy/Sss)
Advertisement