Liputan6.com, Jakarta - Peluit panjang dibunyikan tepat pada pukul 22.00 WIB, Senin 29 Desember 2014 Kapal Republik Indonesia (KRI) Banda Aceh angkat jangkar dan berlayar menjauh dari Pelabuhan Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Keberangkatan kali itu membawa misi mulia: mencari keberadaan pesawat AirAsia QZ8501 yang mengangkut 162 orang.
Bahan bakar, logistik dan berbagai keperluan sudah lengkap. Apel kelengkapan prajurit pun sudah dilaksanakan 1 jam sebelum kapal diberangkatkan ke titik pencarian AirAsia di antara Laut Bangka dan Jawa.
KRI Banda Aceh memang bukan satu-satunya kapal pencarian pesawat yang hilang kontak pada Minggu 28 Desember 2014 itu. Ada 7 lainnya.
"Rencana kita adalah menyusul 7 KRI lainnya di titik lokasi pencarian AirAsia. Maksimal 20 hari, tapi situasional. Bisa saja setelah 3 hari ketemu dan kondisi sudah kondusif, bisa saja pulang," ujar Komandan KRI 593 Letkol Laut (P) Arief Budiman saat berbincang dengan awak media, Selasa kemarin.
"Tapi kita tidak akan pulang sebelum pesawat AirAsia ditemukan. Intinya kita siap saja, tergantung penugasan," tegas dia.
Kapal buatan Indonesia pada 2011 adalah kapal perang yang berfungsi mengangkut berbagai peralatan dan perlengkapan perang seperti tank ampibi, skoci, helikopter, hingga LCO atau kapal kecil berkapasitas 150 orang.
Kapal berkapasitas tampung 7.286 ton ini akan difungsikan sebagai pangkalan saat pencarian AirAsia. Sekaligus sebagai tempat menginap bagi para tim pencarian yang diperkirakan tiba di lokasi pada malam hari.
"Helikopter yang kehabisan bahan bakar bisa mengisi di sini," kata sang komandan. "Kapal ini dimungkinkan bisa untuk singgah para perwira yang datang ke lokasi pencarian, atau mungkin presiden saat berkunjung ke lokasi. Atau bisa juga untuk mengevakuasi korban."
Pada misi pencarian, KRI Banda Aceh juga membawa puluhan pasukan. Di antaranya pasukan katak atau Paskas, kru pesawat, kru kapal, tim kesehatan, tim penerangan, tim pengamanan, dan sejumlah awak media.
"Jadi kalau ada korban selamat yang membutuhkan pertolongan medis, di kapal ini disediakan ruang medis. Atau jika memang butuh pencarian korban di dalam laut dengan kedalaman yang memungkinkan, bisa kita turunkan Paska untuk menyelam," jelas perwira yang juga pernah menjadi penerbang selama 17 tahun itu.
Misi pencarian pesawat dan korban AirAsia di perairan Belitung Timur ini menyediakan bahan bakar solar 200.000 liter untuk 20 hari.
"Maksimal pengisian bahan bakar kapal ini bisa mencapai 700.000 liter," ujar Wakil Kapten Mayor Laut (P) Priyo Dwi Saputro.
Sepanjang perjalanan dari Tanjung Priok, suasana keakraban cukup terasa. Seperti saat waktu salat tiba, sebagian prajurit dan awak media salat berjamaah yang beberapa kali bahkan diimami sang komandan kapal, Lekol Laut (P) Arief.
Obrolan pengalaman-pengalaman prajurit selama berlayar atau latihan perang, menambah suasana keakraban antara awak media dan prajurit. Begitu juga keakraban antara awak media dan perwira, pun jauh dari kesan serius dan banyak diselingi gurauan.
Setelah menempuh waktu 2 hari 2 malam atau H+3 jatuhnya AirAsia, perjalanan KRI Banda Aceh akhirnya tiba di lokasi jatuhnya AirAsia di perairan selatan Pangkalan Bun, atau berjarak sekitar 10 kilometer dari Pangkalan Bun. Atau jika ditempuh menggunakan helikopter sekitar 45 menit.
Gozilla
Menyebut nama Gozilla, yang terbesit dalam pikiran kita adalah sosok monster seperti dalam film dengan judul yang sama. Monster yang bisa memporakporandakan kota dalam hitungan menit. Tapi Gozilla yang dimaksud di sini adalah sebuah penghargaan kepada KRI Banda Aceh.
Siapa sangka dengan keterbatasan alutsista yang dimiliki sekarang ini, TNI bisa memenangkan penghargaan di ajang latihan perang dunia dari 24 negara di Swiss beberapa bulan lalu. Penghargaan tersebut bernama Gozilla. Barangkali sesuai karakter TNI yang bisa mengalahkan musuh dalam waktu singkat.
"Itu penghargaan buat kita. Siapa yang jadi pemenang akan dapat Gozilla, cuma satu doang. Latihan perang ini 2 tahun sekali. Kita datang saja sudah bikin sensasi dengan KRI Banda Aceh ini. Jadi waktu kita datang jam 01.00 malam sampai pangkalan laut AS berjarak 1 mil, kita lempar jangkar dan nyalakan lampu," ujar dia.
Seketika, alarm ratusan kapal di lokasi latihan perang tersebut berbunyi. "Mereka seperti kecolongan, kaget, kok tiba-tiba datang. Padahal kita udah kasih tahu sebelumnya mau datang jam sekian," sambung Arief.
Saking banyaknya aktivitas dibanding KRI lainnya, kapal yang sanggup mengangkut 20 truk dan 13 tank ampibi berkecepatan 16,72 knot ini mendapat penghargaan kapal tersibuk 2014.
"Juara I operasional tugas laut TNI paling lama, ada yang 3 bulan, setelah itu tugas lagi dibanding rata-rata kapal yang nggak pulang. Jadi ini kapal jarang pulang. Selama sejarah Indonesia baru kirim kapal perang yang notabene kapal buatan Indonesia," ujar Arief.
Dalam kurun yang sama, KRI memiliki panjang 125 meter ini juga menyabet peringkat II penghargaan KRI Teladan dari Kepala Staf Angkatan Laut Laksmana TNI Marsetio. (Rmn/Ein)