Sukses

Pesan Terakhir Jelang Ajal Menjemput di Nusakambangan

Presiden Jokowi memutuskan menolak grasi terpidana mati kasus narkotika. Kini, 6 terpidana menghitung waktu menjemput ajal mereka.

Liputan6.com, Jakarta - Menghitung hari. Inilah mungkin yang dilakukan para terpidana mati kasus narkotika. Dalam waktu yang tak lama lagi, mereka akan menjemput ajal atas perbuatan mereka, menjadi bandar dan mengedarkan narkoba di Indonesia.

Kepastian eksekusi mati ini telah diumumkan Jaksa Agung HM Prasetyo, Kamis 15 Januari 2015 sore. "Kami tidak main-main dalam penegakan hukum narkotika, tidak ada ampun bagi para pengedar narkotika," tegas Prasetyo di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta.

Terhitung ada 6 terpidana mati yang akan dieksekusi. Tidak seperti eksekusi mati teroris yang bersifat rahasia, Jaksa Agung mengumumkan eksekusi mati para bandar dan pengedar narkoba akan berlangsung pada Minggu, 18 Januari 2015, di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Tempat ini dipilih karena alasan keamanan. "Saya sudah meninjau secara langsung tempatnya, sudah siap semua di sana," ujar Jaksa Agung.

Namun satu dari 6 terpidana mati itu yakni Warga Negara  Vietnam yang mendekam di lapas Semarang, akan dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah, karena masalah psikologi.

Saat ini 5 dari 6 terpidana mati sudah berada di Nusa Kambangan. Dua terpidana mati berasal dari penjara Tangerang, Banten, dipindahkan Selasa 13 Januari lalu.

"Tanggal 14 Januari kemarin para terpidana mati sudah diberi tahu sesuai perundangannya, bahwa 3 hari sebelum eksekusi sudah diberi tahu untuk menyiapkan mental dan permintaan terakhir," ucap Prasetyo.

Dia menambahkan, saat ini keluarga para terpidana mati sudah berada di Cilacap, bertemu dan berbincang untuk terakhir kalinya dengan para terpidana.

Untuk mengakhiri kehidupan 6 terpidana itu, 2 di antaranya perempuan, Kejaksaan Agung telah menyiapkan regu tembak. Satu regu eksekutor terdiri dari tujuh penembak yang berasal dari satuan Brimob.

Menjaga fisik dan mental para eksekutor, Kejaksaan Agung telah menyiapkan tenaga kesehatan dan  rohaniawan. Langkah ini dilakukan, karena para eksekutor kemungkinan mengalami tekanan kejiwaan sebelum dan setelah mengeksekusi mati para terpidana mati.

Penuhi Janji

Jokowi

Keputusan mengeksekusi mati 6 terpidana mati kasus narkotika bukanlah hal mudah bagi Kejaksaan Agung. Keputusan ini sempat mengalami tarik ulur dan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Banyak yang mendukung, tapi banyak juga yang menolak.

Apalagi ada di antara terpidana yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK), hingga membuat Kejaksaan Agung sempat mengundur pelaksanaan eksekusi.

Namun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan, tetap mendukung langkah pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi untuk tidak memberi ruang kebebasan kepada terpidana mati kasus narkoba. Bahkan Ketua PBNU Said Aqil Siradj menegaskan, PBNU berada di belakang Jokowi terkait keputusan eksekusi terpidana narkoba itu.

"Untuk hal ini PBNU berada di belakang Jokowi. Begitu juga soal terorisme, ISIS, dan koruptor‎," kata Said Aqil, Kamis 25 Desember 2014 lalu.

"Siapa pun yang melakukan kerusakan di muka bumi, maka hukumannya, sesuai Alquran, harus dibunuh. Kita tidak mungkin mengharapkan kebaikan dari mereka. Kalau pengguna (narkoba) kan korban, ini kalau produsen, bandar, kalau orang yang bisnisnya narkoba, itu niatnya menghancurkan bangsa. Itu harus dibunuh," tegas Said Aqil.

Adapun yang menolak, yakni Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo, beralasan menolak eksekusi mati karena dalam ajaran gereja, hukuman mati bagi para terpidana tidak pernah ada.

"Saya kira, pertama menurut ajaran gereja, hukuman mati itu ditiadakan. Bahwa tidak ada seorang pun berhak atas hidup orang lain," kata Ignatius, Kamis 25 Desember 2014 lalu.

Namun, Ignatius tak menampik jika ada sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati bagi para terpidana. Tetapi menurut dia, di setiap negara yang menerapkan hukuman mati mempunyai aturan selektif. Sementara, lanjut Ignatius, penegakan hukum di Indonesia sendiri tertinggal dengan negara-negara lain.

"Menurut para pembela (pengacara), sistem interogasi di pengadilan kita belum begitu maju, masih ada penyiksaan dan sebagainya. Itu tidak adil. Kalau mau buat jera, tidak harus seperti itu (eksekusi mati)," jelas Ignatius.

Lepas dari pro-kontra itu, hukuman mati terhadap terpidana kasus narkotika sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU disebutkan, hukuman mati dijatuhkan kepada produsen dan pengedar narkoba. Selain itu, tindak pidana korupsi.

Bertekad melaksanakan UU dan menyelamatkan generasi bangsa, Presiden Jokowi menegaskan menolak grasi terpidana mati narkoba. Dengan penolakan ini, maka 6 dari 64 terpidana mati kasus narkoba yang vonisnya sudah memiliki kekuatan hukum, harus dieksekusi mati.

"Presiden memerintahkan kepada aparat untuk melaksanakan proses hukum secara benar. Hal-hal yang sudah in kracht atau berketetapan hukum tetap harus dilaksanakan," jelas Menko Polhukam Tedjo Edy Purdjianto di Kantor Presiden, Jakarta, 4 Desember 2014 lalu.

Menurut Menko Polhukam, Jokowi ingin memenuhi janjinya bahwa pemerintah akan tegas dalam menerapkan hukum. Tedjo mengungkapkan, di antara 6 orang tersebut, beberapa di antaranya warga negara asing.

Mengacu pada keputusan ini, Jaksa Agung HM Prasetyo pun tidak bimbang lagi untuk mengeksekusi para terpidana mati kasus narkoba itu.

"Kita akan langsung eksekusi. Intinya sepanjang mengajukan grasi dan ditolak, maka kita akan langsung mengeksekusinya," ujar Prasetyo, Jumat 9 januari 2015 lalu.

Pesan Terakhir



Jaksa Agung telah mengumumkan nama-nama 6 terpidana mati yang akan dieksekusi. Mereka adalah Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brazil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), dan Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WNI).

Salah seorang terpidana mati, Rani Andriani alias Mellisa Aprillia, dalam permintaan terakhirnya menginginkan agar jasadnya nanti dimakamkan di samping makam ibundanya di Cianjur, Jawa Barat.

"Saya mengunjungi (terpidana mati) yang perempuan, kondisinya sehat. Dia puasa 40 hari," kata rohaniawan pendamping terpidana mati, KH Hasan Makarim di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Kamis 15 Januari 2015.

"Yang paling penting dia dimakamkan di sebelah ibunya di Cianjur, Jawa Barat," kata Koordinator Pesantren Warga Binaan Pemasyarakatan se-Nusakambangan itu.

Hasan mengaku hanya mendampingi 2 terpidana mati yang beragama Islam, yakni Rani Andriani dan Namaona Denis yang berkewarganegaraan Nigeria. Kondisi Namaona juga dalam keadaan sehat, namun yang bersangkutan belum menyampaikan keinginannya sebelum menjalani eksekusi.

Rani Andriani merupakan terpidana kasus penyelundupan 3,5 kilogram heroin yang divonis mati Pengadilan Negeri Tangerang pada 22 Agustus 2000.

Dalam kasus tersebut, Rani ikut jaringan peredaran narkotika yang dikendalikan sepupunya, Meirika Franola alias Ola, serta melibatkan seorang lurah di Cianjur, Deni Setia Marhawan, yang juga sepupu Ola. Tapi, baik Ola maupun Deni yang juga divonis mati justru mendapat grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2012. Hukuman mereka berganti dari hukuman mati menjadi seumur hidup. Saat ini Deni Setia Marhawan menghuni Lapas Batu, Nusakambangan. (Sun/Ans)