Liputan6.com, Jakarta - Pada Minggu 18 Januari 2015, Belanda dan Brasil memutuskan memanggil pulang Duta Besarnya. Hal itu dilakukan untuk melakukan konsultasi terkait eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Kekhawatiran lain muncul setelah penarikan kedua dubes tersebut, yakni potensi dibekukannya kerja sama billateral.
Timbulnya potensi kekhawatiran ini didasari dengan apa yang dilakukan Indonesia, saat memanggil pulang Dubesnya dari Australia 2013 lalu. Kala itu bukan hanya menarik pulang pemerintah, tetapi juga memutuskan memberhentikan sementara sejumlah kerja sama dengan Negeri Kangguru.
Menanggapi potensi kekhawatiran tersebut, Juru Bicara Kemlu Arrmantha Nasir angkat bicara. Dia menegaskan, pemanggilan dubes yang dilakukan Indonesia dengan Brasil dan Belanda memiliki latar belakang berbeda.
"Kita harus lihat ini konteks berbeda, ini adalah bentuk penegakan hukum. Kita telah jalankan hukum yang berlaku secara nasional dan sesuai dengan prinsip hukum internasional," sebut Arrmantha di kantor Kemlu Jakarta, Senin (19/1/2015).
Pria yang kerap dipanggil Tata itu menyebutkan perbedaan paling mendasar terlihat dari pemicu penarikan. Saat Indonesia memanggil pulang dubesnya disebabkan adanya diplomatic incident.
Direktur Jenderal Amerika Eropa Dian Triansyah Djani menyatakan saat ini dia tak mau berspekulasi banyak terkait efek yang akan muncul terkait pemanggilan pulang dubes dari kedua negara tersebut. Namun, ia berharap tak akan ada efek yang merugikan bagi hubungan diplomatik.
"Kita lihat saja dulu bagaimana perkembangannya, namun kita harap tidak akan berdampak pada hal-hal seperti perdagangan, investasi dan semacamnya," ujar Dian.
"Hubungan kita dengan Brasil dan Belanda sudah sedemikian kuat dan terjalin bertahun-tahun. Harapan saya ke depannya semakin sejahtera," pungkas Dian.
Dua terpidana mati kasus narkoba dari Brasil dan Belanda itu adalah Marco Archer Cardoso Moreira dan Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya. (Tnt/Sss)