Liputan6.com, Jakarta - Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara terkait kemelut puncak pimpinan Polri. SBY menilai apa yang terjadi saat ini mirip seperti pada 14 tahun lalau yang disebutnya 'Kapolri kembar'.
"Empat belas tahun yang lalu, terjadi pula kemelut dengan apa yang disebut sebagai 'Kapolri kembar'. Kini krisis semacam itu terjadi lagi, meskipun tidak sama persis," kata SBY yang dikutip dari akun Facebook-nya, Selasa (20/1/2015).
Sebenarnya, imbuh dia, penggantian pimpinan Polri dan juga TNI bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Undang-Undang dan perangkat peraturan yang berlaku telah mengaturnya. Khusus untuk Kapolri dan Panglima TNI, setelah Presiden memutuskan siapa calonnya, selanjutnya calon itu dimintakan persetujuannya kepada DPR.
"Penunjukan siapa yang menjadi calon Kapolri dan Panglima TNI adalah menjadi prerogatif Presiden. Sungguhpun demikian, Presiden tidak asal tunjuk dan putuskan, tetapi melalui norma dan aturan yang lazim berlaku," ujar dia.
SBY mencontohkan, untuk memilih calon Kapolri, biasanya Kapolri incumbent mengajukan sejumlah nama kepada Presiden yang dianggap layak dan memenuhi syarat. Undang-Undang itu juga meminta Kompolnas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden.
"Di situ Presiden bisa memutuskan. Bisa saja Presiden tidak meminta saran dan masukan dari Kapolri, tetapi pertimbangan dari Kompolnas tetap dipersyaratkan," kata SBY.
SBY berharap situasi yang sangat mengganggu keutuhan dan kekompakan Polri ini segera bisa diatasi, sehingga Polri segera bisa berfungsi secara normal dan tetap dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik.
"Kita perlu memberikan dukungan yang penuh, baik kepada Presiden maupun pimpinan Polri untuk mengatasi permasalahan ini, agar kemelutnya tidak berlarut-larut," tukas SBY.
Presiden Jokowi sebelumnya menunda pengangkatan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri. Hal ini lantaran KPK telah menetapkan Budi sebagai tersangka dalam dugaan rekening tak wajar.
Jokowi juga memberhentikan Jenderal Pol Sutarman dari jabatan Kapolri. Lalu mengangkat Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri.
'Polri Kembar' Era Gus Dur
Baca Juga
Saat menjadi presiden, Gus Dur meminta Jenderal Suroyo Bimantoro untuk mundur dari jabatan Kapolri. Namun, Bimantoro tidak bersedia mundur, bahkan menantang Presiden Gus Dur untuk mencopot jabatannya. "Sekali lagi Gus, saya tidak mau mengundurkan diri. Tapi kalau Gus mau mengganti saya, silakan," kata Bimantoro, saat itu.
Penolakan itu dinilai Gus Dur sebuah tindakan pembangkangan. Kemudian Gus Dur mencopot jabatan Bimantoro pada 1 Juli 2001 dan menunjuk Chairudin Ismail lulusan AKPOL 1971 sebagai penggantinya.
Ternyata, tindakan Gus Dur mendapat perlawanan dari sejumlah perwira tinggi Polri, dengan alasan tidak sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000 yang mensyaratkan pengangkatan dan pergantian Kapolri harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Para perwira tinggi dan menengah yang menolak pencopotan Kapolri. Mereka meminta Bimantoro tidak menyerahkan tongkat komando kepada Kapolri Jenderal Chairudin Ismail yang telah diangkat Gus Dur.
Sehingga dalam sejarah Polri, pada masa Gus Dur, institusi Bhayangkara ini memiliki dua pemimpin yakni Bimantoro dan Chairudin. (Ali/Mut)
Advertisement