Liputan6.com, Jakarta - Mantan wakil menteri hukum dan HAM (wamenkumham) Denny Indrayana ikut berkomentar terkait penangkapan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto atau BW oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. BW ditangkap dan dijadikan tersangka oleh Bareskrim atas dugaan pengaturan saksi-saksi untuk memberi kesaksian palsu terkait sengketa Pilkada Kotawaringin Barat 2010 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Denny Indrayana, penangkapan BW itu merupakan sebuah kriminalisasi oleh Polri. "Apa yang terjadi dengan Bambang itu kriminalisasi," kata Denny di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (23/1/2015).
Denny mengatakan, upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK mendapat serangan balik dari pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan institusi kepolisian. Mengingat KPK belum lama ini menjadikan Jenderal Bintang 3 Kepolisian, Budi Gunawan, sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau gratifikasi.
"Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK berhadapan dengan serangan balik. Ini adalah kriminalisasi. Kita sayangkan Kepolisian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang loyal pada BG (Budi Gunawan). Ini jelas, clear, walaupun dilihat dari sisi hukum ada perdebatan," ucap dia.
Denny mengungkapkan, penangkapan BW itu juga merupakan bagian dari pembelaan membabi buta terhadap Budi yang berpangkat Komisaris Jenderal tersebut. Bagaimana kesalahan BW dicari-cari untuk kemudian dipidanakan. Tujuannya, untuk melemahkan KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi.
"Ini upaya lemahkan KPK, tapi KPK semakin kuat. Rakyat anti-korupsi ada di belakang KPK. Satu orang BW ditangkap, kita semua jadi BW-BW yang lain," tandas Denny.
Kadiv Humas Polri Irjen Ronny Franky Sompie mengatakan penangkapan terhadap Bambang Widjojanto berdasarkan 3 alat bukti yakni dokumen, keterangan saksi, dan keterangan ahli. "Dari proses penyidikan telah menemukan 3 alat bukti sah untuk pemeriksaan tersangka BW guna melengkapi pemeriksaan berikutnya," kata Ronny.
Bambang Widjojanto ditangkap Jumat pagi dan saat ini masih menjalani proses pemeriksaan di Bareskrim Polri. Salah satu pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia itu dijerat dengan Pasal 242 Juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atas dugaan menyuruh memberikan keterangan palsu dalam pengadilan. Dia terancam hukuman pidana 7 tahun penjara. (Riz/Sun)