Liputan6.com, Jakarta - Jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 masih meninggalkan duka dan tumpukan masalah. Satu di antara masalah paling disorot adalah siapa yang patut bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Terkait hal itu, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai kejadian tersebut tak harus dicarikan kambing hitamnya. Sebab, hal yang patut direformasi ialah regulator penerbangan. Regulator di sini adalah Kementerian Perhubungan.
"Saya katakan tak perlu cari kambing hitam. Karena ini masalahnya di regulator ditjen (Direktorat Jenderal Perhubungan Udara) dan Kementerian Perhubungan," ucap Agus dalam dialog bertajuk 'Bukan Cari Kambing Hitam, Selamatkan Penerbangan Nasional' di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (25/1/2015).
Apalagi, menurut Agus, hingga saat ini beberapa maskapai dari Indonesia belum diizinkan mengudara di atas langit negara-negara anggota Uni Eropa.
"Sekarang kenapa regulatornya. Indonesia satu dari tiga negara yang dilarang terbang di UE. Itu karena regulator, bukan maskapainya," imbuh Agus.
Agus menjelaskan, insiden-insiden yang melibatkan penerbangan seharusnya bisa terhindari. Hal ini dapat terjadi jika lembaga usaha atau pelaku bisnis penerbangan taat pada regulator.
Pada Minggu 28 Desember 2014, pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak di perairan antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan dengan titik koordinat 03.22.46 Lintang Selatan dan 108.50.07 Bujur Timur dengan membawa 155 penumpang dan 7 awak. Pesawat itu berangkat dari Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur pukul 05.12 WIB menuju Singapura.
Sekadar mengingatkan, pada Juni 2007, Komisi Uni Eropa telah menetapkan larangan terbang bagi 51 maskapai di Indonesia. Namun 2 tahun kemudian, tepatnya Juli 2009, Uni Eropa mencabut larangan terbang terhadap 4 maskapai Indonesia, termasuk Garuda. (Ans)
Pengamat: Larangan Terbang di UE, Bukan Faktor Maskapai, Tapi...
Hingga saat ini beberapa maskapai dari Indonesia belum diizinkan mengudara di atas langit negara-negara anggota Uni Eropa atau UE.
Advertisement