Sukses

Bibit Samad: Hak Imunitas Pimpinan KPK Itu Tak Ungkit Masa Lalu

Mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto menegaskan penyusunan perppu tersebut perlu disusun secara matang.

Liputan6.com, Jakarta - ‎Presiden Joko Widodo atau Jokowi diminta mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang mengatur pemberian hak imunitas bagi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto menegaskan penyusunan perppu tersebut perlu disusun secara matang.

"Imunitas kayak apa? Apa pimpinan KPK nggak boleh buat salah," kata Bibit di Jakarta, Senin (26/1/2015).

Bibit menjelaskan, tidak boleh bila hak imunitas menjadikan seorang pimpinan KPK tidak bisa ditindak sama sekali. Bila diberikan kekuasaan berlebihan, maka penyelewengan bisa saja terjadi. "Kalau hak imunitas artinya nggak boleh ditindak itu berlebihan," tegas Bibit.

Bibit memberi saran terhadap penyusunan Perppu Hak Imunitas tersebut, yaitu kesalahan masa lalu tak diungkit sampai masa jabatannya selesai, supaya tak menghalangi proses pemberantasan korupsi.

"Apakah imunitas selama ini kesalahan masa lalu tidak diungkit saat jadi pimpinan KPK lalu ditangani setelahnya," tandas Bibit.

Adapun mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana memiliki strategi agar upaya pelemahan KPK melalui pemidanaan pejabat KPK aktif sulit dilakukan. Alasannya, tugas KPK sangat berat dan rentan serangan balik dari pihak lain. Dengan demikian, ia meminta agar pimpinan KPK mendapatkan hak imunitas antipidana selama menjabat.

"Jadi 4 tahun misalnya Abraham Samad menjabat, maka 4 tahun dia mendapat kekebalan dari persoalan pidana. Dengan demikian kriminalisasi terhadap pimpinan KPK akan stop," tukas Denny.

Sementara, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menilai permintaan komisioner KPK agar pimpinan dan pegawai lembaga antirasuah tersebut diberikan hak imunitas justru melanggar konstitusi jika direalisasikan. Sebab, semua orang harus sama kedudukannya di depan hukum.

"Kita kan ada konstitusi, semua orang sama di mata hukum dan pemerintahan. Itu potensial untuk melanggar konstitusi," ujar Yasonna. (Ans/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini