Liputan6.com, Jakarta - Keluarga para pekerja kebersihan PT ISS, terpidana kasus dugaan rekayasa kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS), terus mencari keadilan. Didampingi lembaga swadaya masyarakat yang berfokus terhadap hak asasi manusia (HAM), The Human Rights Monitor (Imparsial), keluarga dari 6 pekerja PT ISS meminta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menginvestigasi penyiksaan selama proses penyidikan di Polda Metro Jaya.
Aktivis Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan, bukti-bukti berupa foto dan keterangan dari keluarga serta istri pekerja kebersihan, menunjukkan adanya tindak kekerasan dan pelanggaran HAM dalam kasus dugaan kekerasan seksual anak ini.
Menurut Ghufron, kematian salah satu pekerja kebersihan PT ISS Azwar dengan wajah bengkak, mata lebam biru dan bibir robek saat penyidikan kasus ini di Polda Metro Jaya, menjadi indikasi kuat kasus ini diduga penuh rekayasa. Apalagi ada tuntutan uang hingga mencapai sekitar Rp 1,5 triliun dari pelapor kasus ini, yaitu TPW.
"Bukti-bukti berupa foto dan keterangan dari keluarga korban memperlihatkan adanya penyiksaan yang luar biasa selama penyidikan. Karena itu kami meminta Kompolnas investigasi secara independen untuk mengungkap kasus ini. Sekarang momentum yang tepat untuk membersihkan kepolisian dari pelanggaran HAM," kata Gufron di Jakarta, Rabu (28/1/2015).
Laporan Imparsial ke Kompolnas baru dilakukan beberapa hari lalu. Namun dalam waktu dekat, pihaknya akan melakukan pertemuan dengan Kompolnas. "Kompolnas sebagai pengawas kinerja kepolisian harus dapat mengungkap pelanggaran yang dilakukan terhadap pekerja kebersihan ISS di JIS selama proses penyidikan," tegas Ghufron.
Ghufron menjelaskan, kekerasan yang dialami pekerja kebersihan PT ISS sudah di luar batas kemanusiaan. Berdasarkan foto yang diserahkan keluarga, tampak wajah jenazah Azwar penuh lebam, membiru dan penuh luka.
Sedangkan pekerja kebersihan PT ISS lainnya, lanjut Ghufron, mengalami penyiksaan seperti disundut rokok, jarinya dijepit kaki kursi, dipaksa minum sambal 2 botol, muka ditendang, mata, mulut serta hidung diplester dan dilakban.
Â
Para pekerja kebersihan yang mengalami penyiksaan itu adalah Virgiawan Amin, Agus Iskandar, Syahrial dan Zainal Abidin. Adapun Afrischa yang didampingi pengacara selama penyidikan lolos dari dugaan penganiayaan di Unit PPA Polda Metro Jaya tersebut.
Sementara salah satu anggota Kompolnas, Andrianus Mailala mendukung langkah keluarga terpidana mengumpulkan bukti-bukti kekerasan dan penyiksaan selama proses penyidikan kasus JIS di Polda Metro Jaya.
"Silakan mereka melaporkan ke kami, nanti kita lihat bukti-buktinya," kata kriminolog Universitas Indonesia ini.
Menurut dia, bukti-bukti tersebut bisa berupa bekas luka akibat sundutan rokok, bekas pukulan dan tindak kekerasan selama proses penyidikan polisi. "Kita bisa teruskan hasil uji laporan kita ke polisi," ucap dia.
Sementara Aktivis HAM dari KontraS, Alex Argo Hernowo menegaskan, kasus dugaan pelecehan seksual terhadap murid TK di JIS memunculkan sensitifitas publik. Namun bukan berarti proses hukumnya dijalankan dengan asal-asalan.
"Keterangan keluarga mereka dan foto-foto bisa menjadi bukti untuk melaporkan ke Propam, Ombudsman dan Kompolnas. Kalau saat persidangan mereka mencabut keterangan di BAP, itu bisa menjadi pintu masuk," jelas Alex ketika diminta pendapatnya terkait kasus JIS.
Dalam persidangan sebelumnya dengan terdakwa 2 guru JIS, terungkap adanya fakta baru terkait kasus JIS. Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta mengatakan bahwa hasil pemeriksaan medis terhadap MAK, salah satu siswa JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual ini, bukanlah visum yang konklusif, hanya sementara.
Sebab, pemeriksaan terhadap MAK hanya dilakukan di UGD dan tidak melalui mekanisme visum yang benar. Pada saat pemeriksaan awal, Dr Lutfi menjelaskan, di lubang pelepas MAK ditemukan adanya nanah. Untuk mengetahui penyebabnya, Dr Lutfi meminta TPW, ibu MAK melakukan pemeriksaan lanjutan mengenai kondisi si anak. Tetapi hal itu tak pernah dilakukan ibu MAK.
Dr Lutfi juga mengungkapkan, pihaknya tidak pernah melakukan swap atau pengujian terkait dengan nanah di lubang pelepas MAK.
Sementara Patra M Zen, kuasa hukum Agun Iskandar mengatakan, semua keterangan Dr Lutfi merupakan fakta baru dan sangat penting untuk mengungkap kebenaran dalam kasus ini. Sebab, dalam sidang yang melibatkan para pekerja kebersihan, majelis hakim menjadikan hasil visum RSPI ini sebagai dasar pertimbangan menjatuhkan vonis.
"Dr Lutfi sebagai pihak yang memeriksa korban tidak pernah dihadirkan sebagai saksi atau ahli dalam sidang pekerja kebersihan. Sementara hasil pemeriksaannya dijadikan dasar untuk menghukum orang. Keterangan Dr Lutfi dalam sidang guru kemarin kembali menegaskan bahwa sesungguhnya kekerasan seksual itu tidak pernah ada," tegas Patra pada pekan lalu. (Rmn)