Sukses

Tim 9, Diminta Jokowi Ditolak Parpol

Belum lagi Presiden Jokowi mengeluarkan keputusan, penentangan terhadap rekomendasi yang diberikan Tim 9 mulai berdatangan.

Liputan6.com, Jakarta - Langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi membentuk Tim Independen atau Tim 9 telah menambah tekanan dari partai politik. Tim yang bertugas memberikan masukan kepada Presiden untuk menuntaskan perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menjadi 'musuh' baru kelompok yang ingin Komjen Pol Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri.

Namun, sulit untuk menyepelekan rekomendasi Tim 9, karena nama-nama yang ada di tim ini layak untuk didengar. Selain diisi oleh tokoh-tokoh yang diakui integritasnya, 9 tokoh yang ada di tim ini bukan dari kalangan partai politik, sehingga diyakini sangat kecil kecenderungan untuk bisa dipengaruhi oleh kepentingan sesaat.

9 Anggota tim tersebut adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, mantan Wakapolri Komjen Pol (Purnawirawan) Oegroseno, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, mantan pimpinan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dan Erry Riyana Hardjapamekas, sosiolog Imam Prasodjo dan mantan Kapolri Jenderal Purn Sutanto.

Ketika baru dibentuk, tim ini tidak begitu dipermasalahkan. Semuanya berubah ketika Tim 9 bertemu Jokowi di Istana Negara pada Kamis 28 Januari kemarin untuk menyampaikan rekomendasi mereka. Penolakan dan tudingan bahwa keberadaan tim ini ilegal mulai mengemuka. Padahal, Jokowi sendiri selaku Presiden belum bereaksi apa-apa atas rekomendasi itu.

Ketegangan di Wajah Jokowi

Rekomendasi sendiri disampaikan Tim 9 saat memenuhi panggilan Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu 28 Januari 2015. Salah satu anggota Tim 9, Imam Prasodjo membeberkan apa yang terjadi dalam pertemuan tersebut.

"Pada siang itu, melalui Mensesneg Pratikno, kami datang ke Istana Negara memenuhi undangan Presiden berdialog dan bertukar pikiran tentang upaya mengatasi kemelut yang mendera negeri ini," ungkap Imam dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com di Jakarta, Kamis (29/1/2015).

Kemelut yang tengah menjadi perhatian publik itu, ungkap dia, terkait konflik antarlembaga penegak hukum, KPK dan Polri, yang kini terlihat semakin rumit, saling menyandera dan kait mengait melebar ke mana-mana. Masalah itu menjadi rumit karena memasuki ranah hukum, politik, moral, etika, dan nurani rakyat yang menginginkan Indonesia bersih dan bebas dari korupsi.

"Hari menjelang siang itu, sekitar jam 10.30 kami menunggu di suatu ruang di Istana. Hadir Pak Syafii Maarif, Jimly Asshiddiqie, Oegroseno, Erry Riana Harjapamekas, Bambang Widodo Umar, dan Tumpak Hatorangan Panggabean," papar Imam.

Saat itu, sambung dia, telah ada di ruangan sejumlah anggota Wantimpres yang rupanya juga tengah menunggu untuk bertemu dengan Presiden. Mereka dijadwalkan bertemu terlebih dahulu. "Saya terpikir, kehadiran Watimpres ini jelas merupakan jawaban Presiden Jokowi terhadap pihak yang mengkritik mengapa Presiden Jokowi terkesan mengedepankan Tim Independen daripada Wantimpres dalam mencari solusi untuk mengatasi permasalah ini. Karena itu, bisa jadi Presiden kemudian juga meminta saran dari Watimpres."

Sekitar jam 11.30, lanjut Imam, akhirnya tim memasuki ruangan pertemuan. Hanya dengan ditemani Mensesneg Pratikno, Presiden Jokowi menemui tim di ruang tertutup.

"Dalam pertemuan itu, setelah menyalami kami satu per satu, Presiden Jokowi mencoba basa basi dengan berceritera kegiatan yang ia lakukan akhir-akhir ini yang tentu sangat melelahkan. 'Untung saya mudah tidur. Di manapun saya pargi, setelah 30 menit saya dapat tidur pulas,' kata Presiden. Ia tampak mencoba relaks walau pun saya melihat dari raut mukanya ada ketegangan yang tersembunyi dalam pertemuan ini," beber Imam.

Imam Prasodjo melanjutkan, akhirnya Syafii Maarif membuka pembicaraan sesuai dengan tujuan kehadiran kami. Syafii memulai dengan menanyakan apa yang menjadi pikiran Presiden sebenarnya akhir akhir ini dan apa yang bisa tim bantu.

"Dengan sedikit menarik nafas panjang, Presiden menjelaskan duduk soal yang menjadi bahan pemikirannya. Ini terkait dengan dilemma yang tengah ia hadapi terkait Calon Kapolri yang telah ditetapkan tersangka oleh KPK, dan masalah yang tengah dihadapi KPK. Dalam upaya Presiden mencari jalan keluar, jelas sekali komitmen Presiden bahwa apa pun yang akan ia putuskan akan tetap mengacu koridor hukum," ungkap dia.

Namun pada saat yang sama, sambung Imam, Jokowi juga tak dapat mengabaikan realitas politik yang ia harus hadapi, baik dari kalangan internal partai pendukung maupun partai di parlemen pada umumnya.  Dialog mulai berjalan menghangat dan intensif, dan masing-masing dari kami mencoba sumbang saran. Seperti ngobrol biasa, arus komunikasi berjalan timbal balik. "Saya merasakan perbedaan jelas jika dibanding dengan pola komunikasi semasa Presiden SBY yang lebih formal, agak kaku, dan searah," imbuh dia.

5 Rekomendasi Tim 9

Pada pertemuan itu, Tim 9 menyerahkan 5 rekomendasi kepada Jokowi terkait kisruh Polri dan KPK. Rekomendasi itu adalah:

a. Presiden seyogyanya memberikan kepastian kepada siapapun penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri demi menjaga marwah baik Polri maupun KPK.

b. Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri sebagai tersangka dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri, agar institusi Polri segera mendapat calon Kapolri yang definitif.

c. Presiden seyogyanya menghentikan segala upaya yang diduga kriminalisasi personel penegak hukum siapa pun, baik Polri maupun KPK dan masyarakat pada umumnuya

d. Presiden seyogyanya memerintahkan kepada Polri maupun KPK menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan personel Polri atau KPK.

e. Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas.

Jokowi sendiri mengakui telah menerima usulan dan rekomendasi dari Tim 9 terkait solusi menangani kisruh antara KPK dan Polri yang masih memanas. Namun, Jokowi meminta publik bersabar dan menunggu keputusan yang akan diambilnya untuk menyelesaikan kekisruhan tersebut.

"‎Masukan dari Tim 9 ada, dari Wantimpres ada, nanti suatu saat akan diputuskan. Nanti ditunggu. Sabar," ujar Jokowi usai menerima Prabowo Subianto di Istana Bogor Jawa Barat, Kamis (29/1/2015) petang.

‎Jokowi mengaku membutuhkan waktu untuk memikirkan langkah dan upaya yang harus diambil untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sebab, keputusan yang diambilnya harus tepat. "Sudah saya tampung, tapi jangan dikejar-kejar, nanti tunggu waktu," singkat Jokowi.

Penolakan Parpol Penyokong

Namun, belum lagi Presiden mengeluarkan keputusan, penentangan terhadap rekomendasi Tim 9 mulai berdatangan. Bahkan, termasuk dari politisi partai politik penyokong Jokowi, Pramono Anung dari PDIP.

Dalam sarannya kepada Presiden, Pramono meminta Jokowi tidak menjalankan rekomendasi Tim 9 yang dibentuk untuk menyelesaikan konflik antara KPK dan Polri.

"Jangan dengarkan tim independen, mereka (Tim 9) belum punya Keppres, atas dasar apa mereka bekerja? Ini urusan negara, bukan urusan perseorangan," kata Pramono di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (29/1/2015).

Dari pada mendengarkan rekomendasi Tim 9, menurut Pramono, akan jauh lebih baik bila Jokowi mendengarkan rekomendasi dari seluruh pimpinan lembaga tinggi negara. Pramono meyakini para pimpinan lembaga tinggi negara seperti DPR, DPD, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, bisa memberikan masukan yang terbaik.

"Ini persoalan kenegaraan. Presiden sebagai kepala negara gunakan instrumen untuk cari masukan yang benar. Seperti SBY, ketika ada persoalan, lembaga tinggi negara kumpul cari solusi," ujar dia.

Hal tersebut, jelas Pramono, bukan bermaksud untuk tidak menghormati Tim 9. Namun lebih kepada ‎bagaimana Jokowi sebagai Presiden mengedapankan instrumen negara yang ada. "Bukan saya tak respect dengan Tim 9, tapi bagaimana pun dengarkan lembaga tinggi negara," ucap Pramono.

Tak hanya PDIP, Partai NasDem melalui Sekretaris Jenderal Patrice Rio Capella juga menuding Tim 9 yang dibentuk Jokowi sebenarnya telah menekan Presiden.

"Tim Sembilan itu menurut saya sebelum menyatakan kepada publik harusnya disampaikan dulu kepada Presiden, sehingga tidak memberikan tekanan kepada Presiden. Jadi bukan parpol yang menekan dan bukan Pak Surya Paloh yang juga ikut menekan," ujar Rio Capella dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta, Kamis (29/1/2015).

Karena itu dirinya meminta Presiden Jokowi benar-benar diberi ruang agar bisa mengambil tempat terbaik untuk Budi Gunawan. "Seharusnya diberikan ruang ketenangan bagi Presiden dalam mengambil keputusan terkait posisi Budi Gunawan," tegas Rio.

Dirinya juga menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi untuk mengambil keputusan yang terbaik. "Melantik atau tidak melantik itu hak Presiden. DPR sudah tak ada urusannya lagi. Tinggal Presiden mengajukan kembali atau tidak. Jika memang tidak dilantik maka harus memberikan alasannya seperti apa," pungkas Rio.

Kini semuanya terpulang pada Jokowi karena semua pihak telah bicara. Politisi, partai politik, pengamat, tokoh, praktisi hukum, petinggi lembaga hukum, hingga orang awam sudah mengeluarkan buah pikirannya untuk menjadi pertimbangan bagi Presiden mengambil keputusan.

Benar bahwa Presiden harus taat konstitusi dan hukum, namun lebih dari itu Jokowi harus tetap berpegang pada akal sehat dan janji yang pernah dia ucapkan saat kampanye Pipres 2014. Yang diketahui publik serta pemilih Jokowi bukan aturan rumit ketatanegaraan, tapi apakah Presiden sudah menggunakan nurani dalam mengambil keputusan. Karena, kepada publiklah harusnya Jokowi bergantung, bukan kepada politisi yang belum tentu memilihnya. (Ado/Rmn)