Sukses

Kritik 100 Hari Kerja untuk Kementerian Jokowi

Sejumlah kebijakan perlu dilakukan sejumlah kementerian sebagaimana yang disarankan pengamat.

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah menteri di bahwa Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendapat masukan berupa kritik dalam 100 hari kerja pertama. Dua di antaranya yang mendapat kritik adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Luar Negeri.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menilai kedua menteri belum memilih langkah tegas terhadap komitmen dan integrasi standar Internasional HAM dan buruh yang mengimplementasikan konvensi PBB 1990 tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya setelah 3 tahun ratifikasi.

"Langkah implementasi antara lain harmonisasi konvensi ke dalam seluruh kebijakan terkait migrasi," ujar Anis di Cikini, Jakarta, Selasa (3/2/2015).

Selain itu, dijelaskan Anis, belum ada komitmen dan langkah untuk meratifikasi konvensi ILO 189 tentang kerja layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Padahal konvensi tersebut merupakan instrumen internasional yang menjamin hak-hak pekerja rumah tangga.

Menurut dia, ratifikasi konvensi itu akan memberikan perlindungan bagi pekerja rumah tangga di dalam maupun di luar negeri.

"Praktik eksekusi mati terhadap 6 terpidana narkoba membuktikan lemahnya komitmen pemerintah dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia, terutama hak hidup," jelasnya.

Kata Anis, praktik eksekusi tersebut akan menjadi sandera bagi pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri yang saat ini mencapai 380 orang di berbagai Negara tujuan.

Perspektif Gender

Selain itu, Migrant Care juga mengkritik masih lemahnya integrasi perspektif gender dalam birokrasi dan kebijakan di Kemenaker dan BNP2TKI.

"Keadilan gender belum menjadi persektif utama dalam kebijakan migrasi, birokrasi dan pelayanan bagi buruh migran Indonesia," tandas Anis.

Bukan hanya itu, komitmen terhadap perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) juga mendapat rapor merah. Dia mengatakan, komitmen pemerintah Indonesia untuk melindungi PRT sangat lemah.

Meskipun Muhammad Hanif Dhakiri mengeluarkan keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomer 1 Tahun 2015 tentang perlindungan PRT, menurut Anis, isi keputusan itu sama sekali tidak memberikan jaminan hukum bagi terpenuhinya hak-hak PRT di mana gaji, libur, cuti dan jam kerja diserahkan pada kesepakatan antara majikan dan PRT yang relasinya tidak setara.

"Tidak ada inisiatif untuk mengusulkan RUU Perlindungan PRT sebagai inisiatif pemerintah di parlemen. Kemenaker masih terus mengulang-ulang rencana kebijakan zero PRT migran di tahun 2017, yang berpotensi menjadi kebijakan diskriminatif dan menghalangi hak ekonomi perempuan," jelasnya.

Disamping itu, reformasi birokrasi di Kemenakertrans juga dikritik. Menurut dia, belum ada upaya yang komprehensif untuk menuntaskan kerancuaan dan konflik kewenangan antara Kemenaker dan BNP2TKI.

"Pejabat eselon I dan II yang lama, yang selama ini tak memiliki prestasi, bahkan terindikasi terlibat dalam mafia penempatan buruh migran, masih menjabat di BNP2TKI dan Kementerian Ketenagakerjaan," pungkasnya.

Pendidikan

Selain itu, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah yang dipimpin Anies Baswedan juga mendapat masukan berupa kritik dalam 100 hari kerja pemerintahan Jokowi-JK.

"Di agenda nawacita itu ada menyelenggarakan pendidikan 12 tahun yang menerapkan nilai-nilai kesetaraan gender dan penghargaan terhadap keberagaman dalam pendidikan belum terlihat akan dilaksanakan," kata Ketua Pelaksana Harian Institut KAPAL Perempuan, Misiyah.

Menurut Misiyah, kebijakan pendidikan formal perubahan kurikulum di bawah mantan Rektor Paramadina ini belum menyentuh perubahan kurikulum yang mengarah pada kesetaraan gender dan penghargaan terhadap keberagaman.

Kemudian, lanjut dia, kementerian Anies juga tidak merespons situasi pendidikan di Indonesia terkait dengan kesenjangan gender yang diindikasikan dengan rendahnya indeks pembangunan gender (IPG) dibanding dengan indeks pembangunan manusia (IPM) yang diindikasikan rendahnya keualitas hidup perempuan.

Selain itu, Kementerian Pendidikan juga dinilai belum membenahi sumber-sumber penghambat utama dalam pendidikan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang melegalisasi perempuan menikah di usia 16 tahun. Kementerian Anies disebut tidak memberi dukungan terhadap judicial review UU perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK). (Riz)