Liputan6.com, Jakarta - Mengenakan seragam oranye, dan masker yang menutupi hidung dan mulutnya, Titin Hartini menyapu aneka macam sampah di tepi jalur busway, di depan kawasan Monas. Ia tak menghiraukan rintik hujan yang mulai membasahi area dekat Istana Presiden dan kantor Gubernur DKI Jakarta itu.
Sesekali perempuan 42 tahun asal Bojong Gede, Bogor itu menyeka keringat di keningnya, dan menengok kanan-kiri, mawas pada kendaraan yang berlalu lalang.
Titin merupakan salah satu petugas sapu jalanan Pemprov DKI. Pekerjaan itu telah dilakoni ibu 3 anak tersebut sejak 1,5 tahun lalu. Suaminya masih ada, tapi tak bekerja. Karena itu, ia pun menjadi tulang punggung keluarga.
Advertisement
Setiap hari, dia memulai aktivitas sejak pukul 03.00 pagi. Mulai dari memasak untuk keluarganya, dan kemudian bergegas menuju Stasiun Kereta Api Bojong Gede untuk berangkat bekerja, membersihkan jantung ibukota dari serangan sampah.
"Saya dapat shift pagi, dari jam 05.00 subuh sampai 13.00 siang. Jadi memang harus bangun pagi untuk urusan rumah tangga. Jam 15.00 masak nasi sama tempe atau apa aja untuk makan mereka (keluarga)," ujar Titin sembari terus menyapu, Kamis 5 Februari lalu.
Meski harus memulai aktivitas sejak pagi buta, tapi Titin bersyukur. Upahnya sebagai petugas sapu DKI Jakarta, Rp 2,4 juta per bulan, mampu menopang kebutuhan hidup keluarganya. Penghasilan ini jauh lebih besar ketimbang saat ia masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga, yang hanya mendapat upah Rp 300 ribu per bulan.
"Walaupun gaji saya Rp 2,4 juta sekarang, tapi ngga ada pikiran untuk beli barang mewah seperti kipas angin, kulkas, atau televisi. Yang penting anak saya yang SD bisa kuliah. Lagipula angin alami lebih sehat," candanya sambil tersenyum.
Rasa syukur Titin semakin bertambah setelah mendengar dari sesama petugas sapu DKI, bahwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan menaikkan gaji mereka Febuari ini, menjadi Rp 2,7 juta.
"Saya syukuri, yang naik nggak cuma yang kedudukannya tinggi, tapi kita yang di bawah juga ikut dinaikkan (gajinya)," ucap Titin yang mengaku menyukai gaya kepemimpinan Ahok yang adil, meski tak pernah sekalipun bertemu sang gubernur.
Tak hanya Titin yang bakal naik gaji...
Mulai tahun ini, Ahok mengumumkan, akan menaikkan gaji semua pegawai, khususnya PNS, di lingkungan Pemprov DKI. Kenaikannya tidak tanggung-tanggung, dua sampai 3 kali lipat dari gaji sebelumnya.
Untuk pegawai biasa, mereka bisa membawa pulang gaji kotor (take home pay/THP) Rp 9 juta per bulan. Sementara setingkat lurah mendapat THP Rp 33 juta per bulan. Besaran gaji itu sudah termasuk gaji pokok, tunjangan jabatan, Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) statis, TKD dinamis, dan tunjangan transportasi bagi para pejabat struktural seperti lurah atau kepala dinas.
Kenaikan ini sangat fantastis. Sebab tahun sebelumnya gaji seorang lurah di DKI 'hanya' Rp 13 juta. Sedangkan camat dari Rp 22 juta menjadi Rp 44 juta.
Kenaikan gaji setingkat kepala biro, kepala dinas, dan kepala badan lebih fantastis lagi. Kenaikannya Rp 30 juta hingga Rp 40 juta dari gaji tahun sebelumnya. Kepala biro bisa membawa pulang gaji Rp 70.367.000 per bulan, kepala Dinas Rp75.642.000, dan Kepala Badan Rp 78.702.000.
Untuk jabatan pelayanan, besaran take home pay maksimal Rp 9.592.000 meningkat 5 juta. Jabatan operasional Rp 13.606.000 meningkat sekitar 8 juta. Jabatan administrasi Rp 17.797.000 meningkat 10 juta, dan jabatan teknis Rp 22.625.000 meningkat 15 juta.
Menurut Ahok, peningkatan jumlah gaji ini karena Pemprov DKI menghapus anggaran honorarium senilai Rp 2,3 triliun dalam APBD 2015. Sehingga anggaran dialihkan menjadi Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) yang dibayar berdasarkan prestasi kerja.
"Yang TKD itu saya kira nggak semua orang bisa dapat. Makanya sekarang PNS di DKI berlomba-lomba buat kerja. Kalau kamu nggak ada kerjaan, bisa nggak dapat tunjangan dinamis," ujar Ahok, Senin 2 Februari lalu.
Tujuan Ahok memberikan gaji fantastis ke bawahannya tak lain memang untuk menggenjot kinerja mereka. Selain itu, sistem TKD juga dipakai Ahok untuk mengeliminasi satuan kerjanya. "Bisa ketahuan ini, unit mana yang bisa ditutup," kata dia.
Dijelaskan Ahok, jika seluruh pegawai negeri dalam 1 kantor, misalnya kantor lurah, tak bisa melayani masyarakat dengan baik, maka kantor tersebut bisa ditutup dan digabungkan dengan unit lainnya.
"Kalau 1 kantor sepi, nggak bisa ngisi pekerjaannya, dinamisnya kecil. Jadi kantor ini nggak dibutuhin lagi, ya dibubarin. Kantor lurah misalnya. Kalau dia nggak bisa ngisi, masyarakat nggak suka datang ke kantor lurah ini, ya tutup aja, gabungin," tandas Ahok.
Di lokasi berbeda, di Kantor Camat Tebet, Jakarta Selatan. Mungkin hujan lebat yang mengguyur ibukota, termasuk pada Senin (9/2/2015) yang membuat kantor ini terlihat sepi dari aktivitas.
Pada pukul 11.00 WIB, hanya terlihat 3 pegawai berseragam hijau di beranda depan kantor. Mereka mengobrol sambil menghisap rokok.
Tak lama, satu di antara mereka masuk ke dalam ruangan. Tinggallah dua orang yang masih merokok di sisi ujung beranda depan kantor, tepatnya di depan ruang layanan Pusat Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang ada di lantai dasar kantor.
Di dalam ruangan PTSP sendiri, terlihat 4 orang pegawai. Tiga di antaranya melihat komputer, sedangkan satu lainnya meletakkan kepala di atas meja. Dua kursi lainnya kosong.
Di lantai dua kantor, tepatnya di ruang staf kecamatan yang diisi sekitar 20 kursi staf, hanya terlihat tiga pegawai perempuan. Beberapa pegawai lainnya, lalu lalang membawa dokumen di tangan. Di Kecamatan Tebet, total jumlah PNSnya 29 orang.
Camat Tebet Mahludin mengatakan, suasana kantor terlihat sepi karena sebagian staf ke lapangan untuk meninjau titik-titik banjir. Tapi ada juga yang sedang tidak masuk karena cuti dan sakit.
“Pak Ahok meminta kita untuk jangan di kantor terus, jadi kita harus keluar,” ujar Mahludin yang mengatakan, akan berangkat ke kantor Walikota Jakarta Selatan.
Selanjutnya: Mirip Poin Game...
Mirip Poin Game
Mirip Poin Game
Menurut Gubernur Ahok, sistem penggajian PNS DKI tak ubahnya seperti sistem poin dalam sebuah permainan atau game. Semakin banyak poin yang dikumpulkan seorang pegawai, semakin besar pula nilai TKD yang bisa diterima.
"Jadi poin kami di DKI itu Rp 9 ribu. Jadi kayak main game aja. Kamu dapat 3.000 poin ya kali 9.000, dapat 1.000 kali 9 ribu. Modelnya kayak gitu," jelas Ahok usai bertemu Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) Yuddy Chrisnandi di Balaikota Jakarta, Selasa 3 Februari 2015.
Namun, lanjut Ahok, jumlah poin untuk 1 pekerjaan tergantung jabatannya. Semakin tinggi jabatan, maka poinnya juga makin banyak. Ia mencontohkan, satu pekerjaan yang dilakukan seorang staf biasa dinilai 1 poin. Berbeda dengan lurah, yang untuk satu pekerjaan poinnya lebih dari 1.
"Nilai poinnya sama tapi jumlah poinnya beda, tergantung jabatan. Jabatan tambah tinggi poinnya lebih tinggi. Jabatan lebih rendah poinnya lebih rendah," tutur Ahok.
Untuk pegawai golongan paling rendah, maksimal poinnya 1.000-2.000. Sedangkan golongan tinggi, maksimal poinnya lebih dari 4.000-5.000. Tunjangan itu tidak diberikan setiap bulan melainkan per 3 bulan.
Untuk bisa mendapatkan poin, Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Agus Suradika mengatakan, PNS DKI harus harus mencatat setiap pekerjaan yang telah dikerjakan selama satu hari.
Catatan aktivitas kantor itu mulai diisi dari jam 15.00 sore sampai 08.00 pagi. Di luar jam itu tidak bisa. Pegawai bisa menginput daftar aktivitasnya dari rumah.
Input dari staf kemudian diperiksa atau verifikasi oleh kepala seksi. Untuk tingkat eselon IV, eselon III yang mengecek. Sementara, kinerja eselon III dicek oleh eselon II. Namun untuk TKD eselon II atau kepala dinas, dilihat berdasarkan kinerja bawahannya.
"Eselon II tidak perlu mengisi, TKD eselon II itu TKD-nya sundulan. Kalau PP-nya sudah turun maka kita buat kan Pergubnya tahun ini," jelas Agus.
Untuk sementara, PNS mencatat aktivitasnya secara manual, menunggu sampai sistem online-nya siap. Agus mengatakan, PNS yang mau mendapatkan gaji besar harus mengisi form itu setiap hari. Sebab kalau tidak, impian mendapat gaji besar tidak akan tercapai. Pegawai diberi waktu maksimal 3 hari setelah hari kerja untuk mengisi form tersebut.
Pemberian TKD ini menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri PAN-RB nomor 63 tahun 2011 tentang pedoman penataan sistem tunjangan kinerja pegawai negeri.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi sebelumnya menyatakan mendukung langkah Ahok menaikkan gaji PNS DKI Jakarta.
"Intinya tidak salah, tinggal nomenklaturnya disesuaikan Undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN)," kata Yuddy, Selasa 3 Februari lalu. Yuddy berharap, gaji fantastis tersebut akan mampu meningkatkan kinerja dan kompetisi pegawai.
"Dia kan dijadikan positif, DKI mendapatkan SDM yang unggul, hanya orang-orang memiliki kompetensi tinggi di DKI," imbuh dia.
Adanya restu Menteri PAN-RB, Ahok menegaskan, Pemprov DKI siap menjadi contoh provinsi yang menerapkan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) dinamis atau tunjangan berdasarkan besar kecilnya kinerja PNS.
Namun Ahok tak menutup kemungkinan, kenaikan gaji PNS DKI ini akan menimbulkan gesekan di masyarakat. "Satu tahun ini saya perkirakan akan terjadi gesekan. Tahun depan pasti mulus. Saya kira juga seluruh Indonesia baru bisa 2016. Karena 2015
APBD udah disusun, APBD P nggak bisa. DKI lakukan dulu di 2015. Kita tahu gesekannya apa, baru nanti kita bantu pusat," jelas Ahok.
Advertisement
‘Bom Waktu’
‘Bom Waktu’
Meski tujuannya positif, tapi sistem penggajian fantastis ala Pemprov DKI ini menuai protes. Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran (Fitra) menilai, sistem penggajian ala Pemprov DKI ini bisa menjadi bom waktu bagi daerah lain di Indonesia.
"Jakarta itu mengandalkan pendatapan asli daerah yang terus meningkat di mana 39,5 triliun dari tahun 2013 meningkat menjadi 64,7 triliun pada 2014. Sedangkan di daerah rata-rata mengandalkan DAK dan DAU. Jelas hal ini bisa menjadi bom waktu bagi daerah. Jika diikuti, menambah problematika keungan daerah dengan tuntutan birokrasi daerah," jelas peneliti Fitra, Apung Winadi.
Karena itu, dia meminta Menteri Yuddy segera membuat aturan terkait strandarisadi remunerasi dan mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang aturan gaji tunjangan dan lainnya sesuai amanat UU ASN 2014.
Apung juga menuntut Pemprov DKI untuk membatalkan kenaikan gaji pejabat tinggi tanpa proses bertahap tersebut. "Agar tidak terjadi kesenjangan antar daerah dalam hal gaji dan remunerasi," tandas dia.
Penolakan juga disuarakan kelompok buruh di Jakarta. Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai, langkah Ahok meningkatkan gaji PNS berkali-kali lipat sebagai tindakan diskriminatif dan tidak adil.
"Ahok adalah gubernurnya rakyat DKI bukan PNS. Maksudnya setiap kebijakan yang dikeluarkan beliau harus mempertimbangkan aspek masyarakat DKI yang bukan hanya PNS, tapi pegawai swasta termasuk buruh," kata Said, Kamis 5 Februari lalu.
Said berdalih, kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta, tidak hanya disumbang dari produktivitas PNS tapi juga pegawai swasta. Keduanya, menyumbang tingkat produktivitas yang sama.
"Buruh akan minta gaji fantastis ke Ahok agar produktivitas kami juga naik. Sama dengan gaji PNS, kebijakan UMP kan di tangan gubernur juga," ungkap dia.
Kenaikan gaji PNS DKI ini juga disorot Indonesia Corruption Watch. Meski merespon positif kenaikan gaji tersebut, namun ICW mengingatkan agar Pemprov DKI segera memperketat aturan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Selain memperketat LHKPN, ICW juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera memverifikasi data tersebut untuk mengukur tingkat kejujuran pengisian LHKPN. Jika KPK menemukan harta kekayaan yang tidak wajar, KPK diminta harus segera menindaklanjutinya ke proses hukum.
Langkah ini disuarakan, karena menurut peneliti ICW Nida Zidny Paradhisa, dari 197 orang pejabat di lingkungan Pemprov DKI dan BUMD, baru 104 pejabat yang melaporkan LHKPN-nya hingga akhir 2014 lalu.
Kendati Pemprov DKI gencar mensosialisasi kenaikan gaji tersebut, termasuk cara mendapatakannya dan bagaimana konsekuensinya, namun masih ada saja pegawai yang mengaku belum memahami aturan main TKD tersebut.
Salah seorang PNS, Budi mengatakan, dirinya belum mendapat manfaat dari TKD dinamis. Hingga kini, dia belum mengetahui apa yang didapat dari TKD dinamis itu.
"Saya belum tahu. Sampai sekarang belum kelihatan jadi belum bisa komentar apa-apa," jelas Budi, Kamis 5 Februari lalu.
Pegawai golongan IIIB itu mengatakan, sejauh ini memang sudah ada perubahan dalam hal pencatatan kerja. Dia harus mengisi form, pekerjaan apa saja yang telah dikerjakan selama sehari. Selain itu, tidak ada yang berubah dalam kesehariannya sebagai PNS.
"Iya cuma ngisi-ngisi form gitu. Itu juga masih manual, katanya yang online masih disiapin," ungkap dia. Budi mengaku, tidak begitu ambil pusing dengan adanya TKD dinamis ini. Dia mengaku hanya bekerja seperti biasanya. Kalau pun nanti ada tambahan gaji dari hasil kerjanya, itu akan dianggap sebagai rezeki tambahan.
"Nggak terlalu ambil pusinglah, saya mah kerja kerja saja. Mau ada atau nggak ya nggak masalah. Kalau memang nambah anggap saja rejeki tambahan,” tandas dia.
Hal senada diutarakan salah seorang Petugas Keamanan Dalam (Pamdal). Pria yang tidak mau menyebutkan namanya ini mengaku tidak ada yang berubah dari tugasnya sehari-hari. Hanya saja, dia harus mengingat lalu mencatat apa yangdikerjakan selama seharian.
"Bedanya, kalau pulang ya nyatet dulu, jam sekian ngapain. Jam sekian ada siapa datang. Misalnya, pukul 14.00 WIB Pak Wagub masuk, dicatat semua nanti di pos," ungkap dia.
Ditanya tentang TKD dinamis, PNS golongan IIB itu mengatakan belum merasakkan manfaat TKD tersebut. "Belum ketahuan hasilnya karena kita belum nerima juga," tandasnya. (Ein)