Sukses

Jokowi Diminta Pertimbangkan Kembali Grasi Terpidana Mati

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (kontras) menyarankan Jokowi untuk menimbang kembali penolakan grasi.

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Biro Riset Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (kontras) Puri Kencana Putri meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar mengkaji ulang berkas-berkas kasus narkoba dua terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan Dan Myuran Sukumaran.

Puri menyarankan Jokowi untuk menimbang kembali penolakan grasi, mengingat dua terpidana ini telah benar-benar menjalani proses rehabilitasi selama 10 tahun di penjara dan telah menunjukkan perubahan sikap yang signifikan.

"Selama berada di lapas, keduanya menunjukkan perubahan positif yang diakui semua orang. Mereka menjadi guru untuk napi lainnya, mengajar di penjara," terang Puri di kantor Kontras Jakarta, Jumat 13 Februari 2015.

Menurut Puri, Pemerintah tak bisa memukul rata semua terpidana pengedar narkoba dengan hukuman mati. Ia menilai masing-masing kasus memiliki perbedaan, sebagai contoh kasus Mary Jane Fiesta Veloso.

Puri menceritakan Mary adalah warga negara Filipina yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mempunyai 2 anak berusia dini. Menurut Puri, sejak ditangkap oleh Kepolisian hingga saat ini, Mary belum bertatap muka lagi dengan kedua buah hatinya yang tinggal di Filipina.

"Setiap kasus berbeda-beda. Dan Pak Jokowi harus meningkatkan kemampuannya untuk menganalisis, mengevaluasi dokumen-dokumen para terpidana hingga dapat memutuskan dengan bijaksana," ungkap Puri.

Selain itu, Puri yang mengaku telah mendengar kesaksian langsung dari orang-orang kredibel, mengkritik cara eksekusi mati di Indonesia beberapa pekan lalu.

"Tata cara eksekusi mati dengan menyiapkan 12 penembak, dengan 3 peluru aktif di senapan ternyata tak langsung menewaskan terpidana. Terpidana harus merasakan siksaan selama 10 sampai 15 menit. Hal itu terjadi pada enam terpidana mati yang dieksekusi 18 Januari 2015 lalu. Ini bertentangan dengan Pasal 281 ayat 1 UUD 1945," ujar Puri.

Dijelaskan dia, Pasal 281 ayat 1 UUD 1945 menuliskan setiap orang memiliki hak untuk tidak disiksa dan hak atas hidup yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apapun.

Selain itu, Puri juga menilai bahwa pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menodai hak beragama terpidana. Misalnya yang terjadi pada kasus Marco Archer Cardoso Moreira, salah satu terpidana yang sudah di eksekusi 18 Januari lalu di Nusa Kambangan.

Kata dia, Marco yang menganut agama Katolik tidak diberi kesempatan menerima sakramen ketujuh yaitu pengurapan orang sakit, sebagaimana orang Katolik pada umumnya menerima sakramen tersebut sebelum menjemput ajal.

Dampak Narkoba

Presiden Jokowi memastikan akan menolak semua grasi yang diajukan dalam kasus narkoba. Langkah ini atas dasar pertimbangan bahwa dampak negatif narkoba merugikan bangsa akibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

"Ada 64 yang sudah diputuskan (hukuman mati), mengajukan grasi, saya pastikan semuanya saya tolak, tidak akan," ucap Jokowi dalam Munas II Partai Hanura di Solo, Jawa Tengah, Jumat 13 Februari malam.

Jokowi pun menyatakan tidak gentar meskipun mengaku mendapatkan tekanan dari berbagai pihak. Termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga swadaya masyarakat (NGO), hingga mendapatkan surat amnesti internasional.

Namun menurut Jokowi, Indonesia harus tegas dalam penegakan hukum terkait narkoba. "Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan hancurlah kita," tegas Jokowi. (Riz/Tnt)