Sukses

Persembahan Terakhir Sindikat Bali Nine untuk Presiden Jokowi

Di Australia, keluarga Myuran Sukumaran dan Andrew Chan terus memohon agar keduanya diampuni. Pemerintah Australia ancam boikot Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Mata Edith Visvanathan basah. Ia tak kuasa menahan air mata saat sejumlah media di Australia menanyakan nasib cucunya, Myuran Sukumaran.

Dengan suara yang diliputi kesedihan, Edith hanya bisa memohon agar Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi memaafkan cucunya, dan membebaskan dari ancaman timah panas regu tembak.

"Saya minta kepadanya (Presiden Jokowi) untuk memberi maaf dan berikanlah maaf itu," kata Edith seperti dikutip dari Japan Times, Minggu 15 Februari 2015). "Mereka (Myuran dan Andrew Chan) berhak diberikan kesempatan kedua."

Myuran Sukumaran dan Andrew Chan adalah 2 dari 9 anggota sindikat narkoba yang terkenal dengan julukan Bali Nine. 9 Gembong narkoba yang merupakan warga negara Australia ini kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan Kelas II A, Denpasar, Bali, karena tersangkut kasus penyelundupan narkoba.

Mereka tertangkap pada 17 April 2005 di Bali, saat berusaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram dari Indonesia ke Australia. Oleh kepolisian, Andrew Chan disebut sebagai 'godfather' kelompok tersebut.

Sebagai orang yang dianggap paling bertanggung jawab, Andrew dan Myuran dijatuhkan hukuman mati. Sedangkan 7 anggota Bali Nine lainnya yakni Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush dan Martin Stephens divonis hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Andrew dan Myuran kini tinggal menghitung hari, menunggu datangnya waktu menyerahkan nyawa mereka kepada regu tembak.

Presiden Jokowi beberapa kali menegaskan, Indonesia saat ini sedang perang melawan narkoba. Barang haram itu telah mengakibatkan 50 nyawa warga negara Indonesia melayang setiap harinya, sehingga presiden memutuskan tak memberikan ampunan kepada para gembong narkoba.

"Ada 64 yang sudah diputuskan (hukuman mati), mengajukan grasi, saya pastikan semuanya saya tolak. Tidak akan (mengabulkan grasi)," ucap Presiden Jokowi, Jumat 13 Februari lalu. Pernyataan Presiden Jokowi ini sekaligus menegaskan, Myuran dan Andrew akan tetap di eksekusi mati menyusul 6 terpidana mati narkoba lainnya yang sudah lebih dulu dieksekusi.


Melukis Jokowi

Terpidana Mati 'Bali Nine' Lukis Wajah Jokowi

Menjelang kematiannya, Myuran yang merupakan WN Australia keturunan India, menghabiskan hari-harinya dengan melukis. Pada Minggu 15 Februari 2015, Myuran dilaporkan melukis wajah Presiden Jokowi.

Lukisan itu dipasang oleh media Australia News.com.au dalam artikel bertajuk 'Why Indonesia doesn’t care about Australia’s objection to the death penalty' Sabtu 14 Februari 2015. Pada deskripsi di bawah foto lukisan wajah Jokowi, media Negeri Kanguru itu menuliskan 'Talented ... A painting Myuran Sukumaran did of President Joko Widodo.'

Dalam lukisan dengan perpaduan warna coklat, putih, hitam, krem, dan kuning tersebut terlihat wajah Jokowi. Tak diketahui pasti, kapan dan di mana pemuda 34 tahun itu membuat lukisan tersebut. Juga tak diketahui apa makna dari lukisan wajah Presiden ke-7 RI tersebut.

Selain melukis wajah Jokowi, pekan lalu seorang sahabat bernama Lizzie Love membeli 2 lukisan karya Myuran. Lukisan pertama menggambarkan wajah Myuran sendiri dan lukisan kedua mendeskripsikan wajah seorang terpidana bernama Maria.

Kabarnya, dana hasil penjualan lukisan itu disumbangkan Myuran untuk biaya pengobatan napi bernama Maria yang menderita kanker.

Kepala Lapas Kerobokan Sudjonggo mengaku tidak mengetahui apa saja yang dilukis Myuran di penjara tersebut. Dia juga belum bisa memastikan apakah Myuran melukis wajah Jokowi di Lapas Kerobokan atau tidak.

"Saya tidak tahu, tapi bukan berarti tidak ada (lukisan wajah Jokowi), karena saya tidak pantau," ujar Sudjonggo saat dikonfirmasi Liputan6.com di Denpasar.

Berbeda dengan Myuran, sang godfather yakni Andrew Chan, berusaha mengisi sisa-sisa hidupnya dengan menebarkan pesan positif kepada banyak orang. Andrew dilaporkan membuat film pendek di Lapas Kerobokan. Film berdurasi 20 menit itu bercerita tentang harapan warga negara Australia itu kepada para generasi muda agar menjauhi narkoba.

Film berjudul 'Dears Me' tersebut telah diputar di sebuah sinema kawasan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali. Pembuatan film itu dilakukan 2 bulan lalu selama kurang lebih sepekan.

Salah satu kolega Andrew Chan, Arif M Midjaja menuturkan, dalam film itu Andrew berbicara pada dirinya sendiri yang telah salah pergaulan sehingga menyebabkan terjerumus ke lembah hitam narkoba. Pesan penting Andrew tujukan kepada generasi muda agar tidak mudah terjebak dalam kubangan narkoba.

"Jika kamu beranggapan narkoba bisa membuatmu lebih merasa keren, itu salah besar," kata Arif mengutip pesan Andrew di Denpasar.

"Pesannya lebih ditujukan kepada anak-anak sekolah serta generasi muda. Jika sudah terjebak bisa dihukum mati seperti dirinya," ujar Arif.

Boikot Indonesia

Kendati eksekusi mati pertama gembong narkoba pada 18 Januari 2015 lalu berjalan sesuai rencana, bukan berarti eksekusi tahap dua (dengan terpidana Myuran dan Andrew) ikut berjalan mulus.

Pada eksekusi mati tahap dua, yang disebut-sebut akan dilangsungkan Februari ini, tekanan terhadap Pemerintahan Jokowi semakin kuat. Tak hanya pemerintah Australia, Uni Eropa dan bahkan Perseritakan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan mengecam hukuman mati yang diterapkan Pemerintah Indonesia.  

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan hukuman mati. Desakan Ban Ki-moon itu disampaikan oleh juru bicara PBB Stephane Dujarric. Menurut dia, Ban sudah berbicara dengan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi soal hal itu.

"Ban telah mengungkapkan keseriusannya atas hukuman yang dilakukan di Indonesia. PBB dengan tegas menolak eksekusi mati," ujar Stephane, seperti Liputan6.com kutip dari Reuters, Minggu 15 Februari 2015.

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Olof Skoog sebelumnya menyatakan, Uni Eropa keberatan dengan hukuman mati karena dinilai tidak akan efektif mencegah dan memerangi kejahatan narkoba.

"Kami keberatan dengan hukuman mati yang diterapkan Indonesia, bukan karena (yang akan dihukum) warga Eropa atau lain, tapi ini karena prinsip," ujar Skoog di Kantor Kedutaan Uni Eropa Jakarta, Rabu 3 Februari 2015.

"Kami percaya setiap negara tidak punya hak untuk membunuh warga negaranya sendiri atau warga negara lain," sambung dia.

Menurut Skoog, Uni Eropa sudah mendiskusikan hal tersebut dengan beberapa lembaga negara dan pemangku kepentingan di Indonesia. Namun, Skoog kecewa karena upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Meski demikian, diakui Skoog, masalah penyelundupan narkotika adalah kejahatan berat yang harus diperangi secara serius. Namun, ujar dia, hukuman mati bukan solusi.

Australia sendiri, tekanannya luar biasa besar terhadap Pemerintah Indonesia. Perdana Menteri Australia Tony Abbott meminta agar Presiden Jokowi lebih 'responsif' dalam menanggapi 'desakan' yang belakangan ini dilakukan pihaknya.

"Jutaan warga Australia sangat kecewa dengan apa yang akan terjadi pada 2 warga kami di Indonesia," ujar Abbott, seperti dimuat News.com.au, Sabtu 14 Februari 2015.

Kepala [Pemerintahan Australia](/2175879 "") itu menyinggung soal apa yang terjadi jika ada warga Indonesia yang terancam hukuman mati di negara lain. Dia berharap Pemerintah Indonesia memikirkan hal itu.

Sementara Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop mengatakan, kementeriannya menerima banyak surat dari warga Australia yang berisi protes terhadap eksekusi mati Myuran dan Andrew. "Jadi apakah eksekusi harus diteruskan bila masih ada opsi lain?" ujar dia.

Menlu Negeri Kanguru itu juga mengatakan, pihaknya bisa memboikot pariwisata Indonesia jika memang eksekusi tersebut tetap dilakukan.

Toh, Pemerintah Indonesia bergeming dengan semua desakan dan tekanan itu. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Armanatha Nasir mengatakan, pihaknya menyadari bahwa pelaksanaan eksekusi mati merupakan suatu isu yang sejak dulu hingga kini masih diperdebatkan di dunia internasional.

Para lembaga penegak hak asasi manusia (HAM) mendesak agar hukuman mati tidak diberlakukan. Namun menurut Armanatha, langkah Indonesia dalam menerapkan hukuman mati itu sejatinya tak melanggar hukum internasional.

Dia menjelaskan, Indonesia menerapkan hukuman mati ini dengan catatan hanya dilakukan untuk kasus yang dianggap besar, termasuk kasus narkoba kelas kakap. Jika tidak, pemerintah tidak akan melakukan hal tersebut.
"Jadi ini untuk kejahatan serius, kita tidak melanggar hukum internasional," tegas pria yang karib disapa Tata itu saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta.

Armanatha menjelaskan, landasan hukum atas hukuman mati terhadap pelaku kejahatan berat itu tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik Pasal 6. "Kemudian, Mahkamah Konstitusi pada 2007 menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak melanggar hukum," tandas Tata.

Terkait ancaman Pemerintah Australia memboikot pariwisata Indonesia, Armanatha menegaskan, Pemerintah Indonesia tidak takut. Sebab pariwisata Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dengan keindahan dan lokasinya yang strategis. Jadi dia meyakini jumlah turis tak akan berkurang.

"Kami tidak takut karena Indonesia memiliki keunggulan di bidang pariwisata. Jadi kami tak terlalu khawatir," tegas Armanatha.
Namun, kata Armanatha, dia tak percaya apabila tokoh sekelas Bishop mengeluarkan pernyataaan tersebut. Menurut dia, mungkin maksud Bishop tidak sekeras itu. "Mungkin dia meminta warganya untuk mempertimbangkan kembali bila ingin ke Indonesia," ujar pria yang karib disapa Tata tersebut.

Sikap tak gentar telah ditegaskan Presiden Jokowi sebelumnya. Presiden mengaku mendapatkan tekanan dari berbagai pihak. Termasuk dari PBB, lembaga swadaya masyarakat, hingga mendapatkan surat amnesti internasional.

"Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan, hancurlah kita," jawab Preseden Jokowi. "Kalau pas (ada) yang ketangkap, tidak ada lagi yang gram, semuanya kilo (gram) atau ton."

Menurut Presiden Jokowi, peredaran narkoba tidak bisa terus-menerus dibiarkan karena menyangkut moralitas dan mentalitas. "Yang terjadi justru yang di dalam (penjara) mengatur dan me-manage peredaran narkoba," tegas presiden.

Terkait sikap tegas pemerintah ini, Di Canberra, Australia, juru bicara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Sade Bimantara mengimbau, warga negara Indonesia (WNI) maupun diaspora asal Indonesia yang berada di Negeri Kanguru meningkatkan kewaspadaaan berkenaan dengan situasi akhir-akhir ini.

KBRI juga meminta WNI tetap tenang dan menjalankan aktivitas sehari-hari dengan meningkatkan kewaspadaan, dan selalu mencermati perkembangan situasi keamanan di sekitarnya melalui berbagai sarana.

WNI di Australia juga diminta selalu membawa tanda pengenal yang masih berlaku, seperti paspor, kartu mahasiswa, bukti identitas lainnya. KBRI juga mengingatkan agar WNI selalu mengindahkan peraturan setempat, tidak terpancing tindakan-tindakan yang bersifat provokatif dan menghindari ikut campur dalam politik dalam negeri Australia baik secara verbal, tulisan di media sosial seperti Facebook, Twitter, dan situs jejaring lainnya.


Minta Pengampunan

Di Bali, menjelang detik-detik eksekusi mati, puluhan mantan narapidana Lapas Kelas II A Kerobokan, menggalang tanda tangan agar eksekusi Myuran dan Andrew dibatalkan.

Selain menggalang tandatangan, para eks napi itu juga membagikan bunga mawar dan stiker kepada pengguna jalan yang melintas di perempatan Jalan Raya Renon Denpasar, Bali.

"Sebagai mantan napi kami merasa iba atas apa yang akan segera dialami Myuran dan Andrew yang menunggu waktu eksekusi mati," ujar Jevry Atgo Damanik mantan napi narkoba, Sabtu 14 Februari  malam.

Sementara di Australia, keluarga Myuran dan Andrew terus memohon agar Presiden Jokowi mengampuni dua gembong narkoba itu. Mereka mengatakan, Andrew saat ini terus berdoa agar dapat lolos dari hukuman.

"Di mana hidup di situ ada pengharapan, biarkan mereka hidup," demikian pernyataan resmi keluarga Andrew Chan kepada media Negeri Kanguru.

Meski belum diketahui pasti kapan Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dieksekusi, namun dipastikan keduanya tidak akan dihukum mati di Bali. Keduanya akan dieksekusi di luar Pulau Bali atas permintaan pemerintah, tokoh masyarakat, dan warga Bali. Kejaksaan Agung telah menyanggupi permintaan tersebut dan siap mengeksekusi mati kedua gembong narkoba itu di luar Pulau Dewata.

Terkait hal ini, Kementerian Luar Negeri memanggil dubes dari sejumlah negara yang warganya kemungkinan segera dieksekusi mati di Indonesia pada Senin, 16 Februari 2015. Juru bicara Kemlu, Armanatha Nasir mengatakan, pihaknya mengundang para dubes asing datang ke Kantor Kemlu RI untuk mendapatkan penjelasan soal pelaksanaan eksekusi mati. "Rencananya, para perwakilan negara asing berkumpul, briefing di Kemlu untuk mendapatkan informasi, mekanisme bagi pihak keluarga yang ingin bertemu terpidana," ujar Armanatha. (Sun/Rmn)