Liputan6.com, Jakarta - Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)Â Abraham Samad (AS) sebagai tersangka dugaan pemalsuan dokumen rekannya, Feriyani Lim. Samad pun terancam hukuman maksimal 8 tahun penjara.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sulselbar Komisaris Besar Polisi Endi Sutendi menjelaskan, penetapan Abraham sebagai tersangka berdasarkan pengembangan dari laporan LSM Lembaga Peduli KPK dan Polri terhadap Feriyani Lim yang diduga memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
Â
"Kemudian, Feriyani Lim yang ditetapkan menjadi tersangka melaporkan Abraham Samad ke Bareskrim Polri. Kasus ini lalu dilimpahkan kepada Polda Sulselbar," jelas Endi saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (17/2/2015).
Dugaan pemalsuan itu terjadi pada 2007 lalu. Saat itu, Feriyani yang merupakan warga Pontianak, Kalimantan Barat, mengajukan permohonan pembuatan parpor di Makassar. Nama Feriyani pun dimasukkan ke dalam Kartu Keluarga Abraham Samad yang beralamat di Boulevard, Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang, Makassar. Kemudian, pada 29 Januari 2015 lalu Ketua LSM Lembaga Peduli KPK dan Polri, Chairil Chaidar Said, melaporkan Feriyani ke Bareskrim Polri.
Tak terima, Feriyani Lim pun turut melaporkan Abraham Samad terkait dugaan pemalsuan yang dituangkan dalam Laporan Polisi Nomor: TBL/72/II/2015/Bareskrim tertanggal 1 Februari 2015. Kasus tersebut lalu dilimpahkan kepada Ditreskrimun Polda Sulselbar. Gelar perkara pertama dilakukan pada 5 Februari, selanjutnya gelar perkara kedua pada 9 Februari sekaligus menetapkan Abraham Samad sebagai tersangka.
"Dari pemeriksaan 23 saksi diperoleh hasil bahwa AS diduga keras melakukan pengurusan surat urus paspor Feriyani yakni KTP dan KK. Surat panggilan sudah kami layangkan hari ini untuk diperiksa 20 Februari nanti. Tidak akan dilimpahkan lagi ke Bareskrim Polri. Kita tangani sendiri," jelas Endi.
Abraham Samad dijerat Pasal 93 UU RI Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang telah diperbaharui dengan UU nomor 24 tahun 2013 dengan ancaman hukuman 8 tahun. Juga Pasal 264 ayat 1 KUHP yang menyebutkan bahwa 'Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap akta-akta otentik'.
Serta pasal 266 ayat 1 juncto 5526 KUHP yang menyebutkan, "Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun." (Mut)