Liputan6.com, Jakarta Komisioner Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus mengaku sampai saat ini pihaknya belum menggelar pleno terkait putusan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan oleh Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan. Sebab, KY belum menerima laporan atau aduan dari masyarakat terhadap kepemimpinan Hakim Sarpin Rizaldi yang mengeluarkan putusan tersebut.
"Di meja saya itu belum ada (informasi), apakah ada pleno atau tidak. Prosesnya, kalau ada laporan pelanggaran kode etik hakim, ada tahapan. Pemberkasan, dibentuk panel, apakah di panel diberikan sanksi atau tidak, kalau diberi sanksi maka dibentuk pleno," ujar Jaja di ruang kerjanya, Gedung KY, Selasa (17/2/2015).
Terkait putusan itu, Jaja menjelaskan, secara teknis KY tidak menangani substansi putusan seorang hakim. Tetapi lebih kepada pelanggaran kode etik hakim itu sendiri selama persidangan. "Kalau substansi putusan KY tidak berwenang. Tapi KY bertugas pada ranah kode etik hakim," ucap Jaja.
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, memutus menerima sebagian permohonan praperadilan yang diajukan Komjen Pol Budi Gunawan kepada KPK. Majelis Hakim Sarpin Rizaldi mengatakan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh KPK tidak sah.
Sarpin memutus KPK tidak bisa mengusut kasus yang menjerat Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol) karena tidak termasuk dalam kualifikasi seperti diatur dalam UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Selain menganggap Budi bukan termasuk penegak hukum dan bukan penyelenggara negara saat kasus yang disangkakan terjadi, Sarpin juga menilai penetapan tersangka Budi masuk sebagai objek gugatan praperadilan.
Rusak Sistem Hukum
Banyak pihak yang menilai janggal dalam putusan yang diketuk palu oleh Sarpin tersebut. Salah satu penilaian itu datang dari mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Andi Tumpa‎ yang menilai ada yang aneh dalam putusan tersebut.
Salah satu yang dianggap aneh oleh Harifin adalah penetapan tersangka Budi oleh KPK masuk ke dalam objek praperadilan. Di mata Harifin‎, Sarpin menafsirkan sendiri objek praperadilan tersebut. Padahal jelas tertera dalam Pasal 77 KUHAP, bahwa penetapan tersangka bukan masuk ke dalam objek praperadilan.
Hakim sudah memperluas kewenangan praperadilan. Dia menyatakan bahwa karena tidak diatur dalam KUHAP maka hakim boleh memasukkannya (menjadi obyek praperadilan). Pendapat hakim tersebut tidak benar sebab praperadilan mengatur jelas obyek dan kewenangan. Itu sudah diatur dengan jelas, diatur limitatif, artinya selain disebutkan dalam Pasal 77 KUHAP tidak boleh," sambung dia.
Menurut Harifin, Sarpin sebagai hakim sudah memperluas kewenangan praperadilan. Sebab, dengan tafsiran sendiri, Sarpin menyatakan bahwa karena tidak diatur dalam KUHAP, maka seorang hakim boleh memasukkan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Dalam hal ini penetapan tersangka Budi.
"Pendapat hakim tersebut tidak benar, tidak boleh, sebab praperadilan mengatur jelas objek dan kewenangan. Itu sudah diatur dengan jelas, diatur limitatif, artinya selain disebutkan dalam Pasal 77Â KUHAP itu tidak boleh," ujar Harifin. Karena itu, putusan hakim Sarpin itu dikhawatirkan Harifin dapat merusak sistem hukum di Indonesia. (Tya/Yus)
KY: Kami Tak Berwenang Urus Substansi Putusan Praperadilan BG
KY belum menerima laporan atau aduan dari masyarakat terhadap kepemimpinan Hakim Sarpin Rizaldi yang mengeluarkan putusan tersebut.
Advertisement