Liputan6.com, Jakarta - Bak gelombang tsunami. Kepingan-kepingan uang logam mengucur deras di atas spanduk biru besar yang diletakkan di jalan pagi tadi.
Di bundaran Hotel Indonesia (HI), warga yang berkerumun tak ragu melemparkan recehan yang mereka punya. Ada Rp 100, Rp 200, Rp 500, juga kepingan Rp 1.000.
Ini memang penggalangan dana. Tapi bukan untuk kegiatan sosial.
Advertisement
Koin-koin itu adalah ungkapan ketersinggungan si penyumbang atas pernyataan seorang pemimpin di negeri tetangga, Perdana Menteri Australia Tony Abbott. Jika diperhatikan, wajah tokoh yang dimaksud terpampang di spanduk besar itu di antara kepingan-kepingan uang logam.
“Coin for Australia.” Begitu tulisan di spanduk biru yang digagas Koalisi Pro-Indonesia tersebut.
Gelombang Tsunami
Hingga Minggu sore (22/2/2015), koin yang terkumpul sudah sekarung besar. Rencananya, uang logam tersebut akan diserahkan ke Kedutaan Besar Australia di Jakarta beberapa hari mendatang.
“Ini simbol harga diri,” ucap salah satu penggagas aksi, Tatat Utami.
Bukan tanpa alasan kata-kata itu meluncur dari mulut Tatat. Masyarakat Indonesia memang tengah kecewa dengan sikap PM Australia Tony Abbott.
Beberapa waktu lalu, Abbott mengungkit bantuan senilai A$ 1 miliar yang diberikan Australia kepada RI saat tsunami meluluhlantakkan Aceh pada 2004. Dengan mengingatkan soal bantuan itu, dia berharap pemerintah Indonesia membatalkan keputusan untuk mengeksekusi mati 2 warga Australia yang terlibat dalam sindikat narkoba ‘Bali Nine’.
Tsunami pun terjadi tak lama setelah pernyataan Abbott itu. Namun bukan gelombang tinggi air laut. Melainkan tsunami koin. Terjadi hampir di seantero negeri. Tak cuma Jakarta.
Di Aceh, warga Serambi Mekah tak kalah tersinggung. Warga Aceh di bawah koordinasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menggalang koin sebagai aksi protes.
Mereka menuntut permintaan maaf dari PM Abbott.
“Kami tuntut Abbott minta maaf ke warga Indonesia. Kami juga meminta Abbott menarik ucapannya tersebut,” ucap Koordinator penggalangan koin, Martinus di Banda Aceh, Aceh kepada Liputan6.com di Jakarta.
Sementara di jagat maya, penggalangan dana ini juga ramai dibahas oleh warga media sosial dengan menggunakan hashtag atau tanda pagar (tagar) #KoinUntukAustralia dan #CoinForAustralia.
Kecaman demi kecaman mengalir deras. Seperti diungkapkan politisi Risman Rachman. Menurut dia, diplomasi PM Tony Abbott layak dibalas dengan tagar tersebut.
“Bantuan tdk layak dipolitikkan. Politik bantuan wajib ditolak. Jgnkan dari asing, dari politisi Indonesia sendiri juga menjijikkan,” tulis Risman Rachman melalui akunnya, @atjeh01.
Hal senada juga diungkapkan pengguna Twitter, Mahyiddin Daud. Dia berkicau dengan me-mention langsung akun Twitter resmi PM Abbott.
“@TonyAbbottMHR Acehnese People will payback all u aid.We never ask for australia aid after tsunami #CoinForAustralia,” kicau Mahyiddin melalui @MahyiddinDaud.
Selanjutnya: Hukuman Mati Itu...
Hukuman Mati Itu...
Hukuman Mati Itu...
Aksi ungkit bantuan untuk Aceh ini bukanlah yang pertama. PM Australia Tony Abbott dan jajarannya sudah berkali-kali mengajukan protes atas rencana eksekusi mati 2 warganya yang terlibat dalam sindikat narkoba 'Bali Nine', yakni Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.
Namun keputusan sudah dibuat. Indonesia teguh ingin memberantas narkoba yang telah merajalela.
Meski begitu, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran masih berharap pemerintah Indonesia membatalkan keputusan untuk menghukum mati mereka.
Hal ini diungkapkan oleh saudara Andrew dan Myuran yang baru-baru ini menjenguk keduanya di Lapas Kerobokan, Bali. Mereka menyampaikan, Andrew dan Myuran ingin terus melanjutkan program rehabilitasi yang sudah mereka jalankan selama ini.
“Saudara-saudara kami berharap, Presiden Jokowi mengizinkan mereka untuk melanjutkan bantuan ini, untuk membangun kembali hidup lebih banyak warga Indonesia hingga tahun-tahun yang akan datang,” ujar kakak Andrew Chan, Michael.
Tak cuma itu. Adik dari Myuran, Chinthu Sukumaran mengklaim, 2 tahanan yang eksekusi matinya ditunda itu juga sangat mencintai Indonesia. Baik masyarakatnya ataupun budayanya.
Di negara tempat mereka menyelundupkan 8,2 kilogram heroin ke Australia inilah Andrew dan Myuran mengubah lembaga pemasyarakatan menjadi lembaga pembelajaran.
“Myuran dan Andrew mencintai Indonesia,” ucap Chinthu.
Di sisi lain, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyarankan Kejagung mempercepat pelaksanaan hukuman mati, daripada menundanya. Hal ini agar tidak membebani Indonesia dan pemerintahan Presiden Jokowi.
Menurut dia, semakin lama Kejagung menunda, semakin banyak tekanan dari luar negeri yang akan dihadapi Indonesia. Sedangkan bila pelaksanaan hukuman mati dipercepat harapannya adalah tidak ada lagi manuver-manuver yang akan dilakukan oleh negara asing.
“Indonesia perlu menegaskan tidak seharusnya para gembong narkoba mendapat perlindungan dari negaranya yang pada saat bersamaan justru mengecam Indonesia atas pelaksanaan kedaulatan hukumnya agar terselamatkan dari bahaya narkoba,” papar Hikmahanto.
Setidaknya, Kejagung akan mengeksekusi 11 terpidana mati yang sudah ditolak permohonan grasinya. 11 Terpidana mati itu adalah:
1. Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana
2. Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina) kasus narkoba
3. Myuran Sukumaran alias Mark (WN Australia) kasus narkoba
4. Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana
5. Sargawi alias Ali bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana
6. Serge Areski Atlaoui (WN Prancis) kasus narkoba
7. Martin Anderson alias Belo (WN Ghana) kasus narkoba
8. Zainal Abidin (WNI) kasus narkoba
9. Raheem Agbaje Salami (WN Cordova) kasus narkoba
10. Rodrigo Gularte (WN Brazil) kasus narkoba
11. Andrew Chan (WN Australia) kasus narkoba.
(Ndy)
Advertisement