Liputan6.com, Jakarta - Bambang Widjojanto (BW) menolak menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri pada Selasa 24 Februari 2015 lantaran merasa keberatan atas sejumlah hal terkait kasus dugaan mengarahkan keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat pada 2010 yang tengah membelitnya.
Wakil Ketua non-aktif KPK itu pun melayangkan surat protes terkait Surat Panggilan Bareskrim Polri Nomor: S. Pgl/266/II/2015/Dit Tipideksus yang ditujukan ke Wakil Kepala Polri Komjen Pol Badrodin Haiti. Dalam surat tersebut, ada 5 poin yang disampaikan.
Pertama, menurut kuasa hukum BW, domisili surat panggilan tersebut didasarkan atas kecacatan administrasi, di mana alamat yang tertera pada surat tersebut tidak sesuai dengan alamat yang tertera pada kartu identitas BW (NIK: 3276051810590003) yang masih berlaku sampai saat ini
"Kedua, Pekerjaan. Bahwa Keputusan Presiden yang dibacakan pada Senin, 23 Februari 2015 adalah tentang pemberhentian sementara klien kami Saudara Bambang Widjajanto sebagai Wakil Pimpinan KPK. Frase 'pemberhentian sementara' memiliki makna dan konsekuensi hukum yang jelas berbeda dengan pemberhentian. Dengan menuliskan pekerjaan klien kami sebagai Mantan Wakil Ketua KPK, maka hal ini menunjukkan bahwa penyidik dalam membuat surat panggilan tidaklah cermat. Klien kami saat ini merupakan 'Pimpinan KPK non-aktif sementara," ujar tim kuasa hukum BW dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Rabu (25/2/2015).
Ketiga, kata pengacara BW, pasal yang disangkakan pada klien mereka berubah-ubah. Dalam Surat Perintah Penangkapan pertama kali dinyatakan bahwa BW disangka melakukan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 242 KUHP jo. Pasal 55 KUHP, tetapi penyidik tidak mampu menjelaskan apa perbuatan dan kualifikasi perbuatan yang disangkakan. Misalnya apakah 242 ayat (1) atau 242 ayat (2), apakah pasal 55 itu sebagai penyertaan yang mana yang disangkakan. Apakah turut serta, menyuruh melakukan atau menggerakkan/menganjurkan.
"Pada saat pelapor bertanya apa kualifikasi pasal dan perbuatan yang disangkakan, penyidik menjawab yang intinya bahwa melalui pemeriksaan ini akan dicari kualifikasinya."
Selain itu, lanjut tim advokat BW, pada Surat Panggilan Nomor: S. Pgl/146/I/2015/Dit Tipideksus, tanggal 30 Januari 2015, pasal yang disangkakan kepada BW mengalami pengubahan menjadi pasal 242 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP. Dalam panggilan ini, pihak penyidik Bareskrim menyangkakan kepada BW 2 buah tindak pidana yang berbeda: (1) sebagai pelaku tindak pidana pada pasal 242 ayat (1) dan (2) sebagai penganjur tindak pidana pada pasal 242 ayat (1).
"Walaupun demikian, klien kami tetap memiliki itikad baik untuk menghadiri pemeriksaan. Namun kami menyesalkan tindakan penyidik yang tidak profesional karena tidak dapat menjelaskan perihal penambahan pasal tersebut. Bahkan ketika klien kami meminta penjelasan kepada Penyidik saat pemeriksaan, Penyidik tidak menjalankan aturan yang dimuat dalam Pasal 66 Perkapolri No. 14 Tahun 2012 di mana dinyatakan bahwa: 'Tersangka wajib diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti tentang hak-haknya dan perkara yang dipersangkakan pada saat pemeriksaan akan dimulai'."
"Sedangkan dalam Surat Panggilan terbaru dengan Nomor: S. Pgl/266/II/2015/Dit Tipideksus, tanggal 18 Februari 2015, pasal yang disangkakan kepada klien kami kembali mengalami pengubahan atau penambahan. Klien kami disangka sebagai pembantu kejahatan tindak pidana memberikan keterangan palsu di bawah sumpah sebagaimana dimaksud dalam pasal 242 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP Jo Pasal 56 KUHP. Terjadinya pengubahan pasal yang berkali-kali ini kami simpulkan sebagai ketidakprofesionalan Penyidik dalam melakukan tugasnya. Ketidakprofesionalan demikian, seharusnya dapat dihindari bilamana Penyidik dalam memulai melakukan Penyidikan ini telah memiliki bukti permulaan yang cukup yang juga merupakan prasyarat dilakukannya penangkapan terhadap klien kami.
Protes keempat yang diajukan tim kuasa hukum BW adalah terkait Nota Kesepahaman antara Polri dengan Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi. Pasal 3 Nota Kesepahaman tersebut mengatur secara khusus mekanisme pemanggilan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap Advokat, baik sebagai saksi maupun tersangka. Di mana Kepolisian harus terlebih dahulu mengirimkan surat tersebut kepada organisasi Peradi sebagai organisasi Advokat yang diakui secara hukum oleh Negara.
"Dalam hal ini, penyidik sama sekali tidak menunjukkan ketaatannya dalam menjalankan nota kesepahaman tersebut. Hal ini menunjukkan adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh penyidik dalam memproses klien kami. Untuk hal ini kami dan klien kami telah melakukan pengaduan secara langsung kepada Peradi untuk ditindaklanjuti. Dan oleh karenanya, saat ini kami menghormati setiap proses yang sedang dilakukan oleh Peradi terkait pelanggaran nota kesepahaman yang ada."
Terakhir, pengacara BW memprotes terkait konflik kepentingan sebagai advokat. Dijelaskan bahwa Bambang Widjojanto, sebagaimana tindak pidana yang disangkakan kepadanya terjadi pada saat beliau berprofesi sebagai advokat aktif, maka dalam hal ini jelas dinyatakan dalam Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat dinyatakan bahwa 'advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam maupun di luar sidang pengadilan.'
"Serta Pasal 4 huruf f Kode Etik Advokat yang menyatakan bahwa 'Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara advokat dan klien itu." Demikian surat ini kami buat, besar harapan kami penyidik segera merespon permintaan kami. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih," tandas tim kuasa hukum Bambang Widjojanto.
Â
Isi Surat Protes Bambang Widjojanto ke Wakapolri
Bambang Widjojanto melayangkan surat protes terkait Surat Panggilan Bareskrim Polri terkait kasus dugaan mengarahkan keterangan palsu.
Advertisement