Liputan6.com, Jakarta - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Teguh Setya Bhakti menangis saat membacakan amar putusan terkait gugatan kubu Suryadharma Ali atau SDA kepada Kementerian Hukum dan HAM terhadap pengesahan kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Romahurmuziy. Gugatan itu diajukan oleh SDA, mantan Ketua Umum DPP PPP.
Terkait itu Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Hakim Agung, Suhadi menilai, seharusnya hakim tidak boleh menangis saat membacakan putusan.
"Harus dipertanyakan dulu kenapa dia sampai menangis. Karena ini menyangkut kode etik, makanya sebaiknya ini ditanyakan ke Komisi Yudisial (KY)," ucap Suhadi di Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Apalagi, imbuh Suhadi, perkara itu perkara biasa. Yakni, hanya sengketa kepengurusan partai politik.
"Kalau ini kan tidak ada yang sedih, kok bisa nangis. Kan cuma sidang sengketa saja? Ini yang harus dipertanyakan. Kecuali kalau perkaranya itu menggugah emosi kita, ya tidak apa-apa sedih," ucap Suhadi di Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Sebelumnya, ‎Ketua Majelis Hakim Teguh Setya Bhakti beberapa kali meneteskan air mata ‎saat membacakan amar putusannya terkait gugatan mantan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali dari kubu Djan Faridz kepada Kementerian Hukum dan HAM soal pengesahan kepengurusan DPP PPP kubu Romahurmuziy atau Romi. Dengan melampirkan beberapa surat di Alquran, Teguh mengatakan, seharusnya dua kubu bisa bersatu bukan justru terpecah belah.
"Umat Islam harusnya bersatu. Tidak bercerai-berai‎," ujar Teguh sambil menangis saat membacakan amar putusan di Gedung PTUN, Jakarta Timur, Rabu ini.
‎Dalam amar putusannya, Teguh menyatakan menerima permohonan gugatan tersebut. Majelis juga menyatakan pengesahan kepengurusan DPP PPP kubu Romi oleh Kemenkumham tidak sah. Dengan begitu, surat pengesahan kepengurusan PPP versi Muktamar VIII Surabaya yang diterima dari Kemenkumham juga dinyatakan batal.
"Mengabulkan gugatan penggugat diterima seluruhnya. Kemudian membatalkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014," kata Teguh saat membacakan amar putusannya.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, Kemenkumham selaku pihak tergugat mengintervensi konflik internal atau dualisme kepengurusan PPP, sehingga dianggap tidak menimbulkan kepastian hukum. Selain itu, pengadilan juga tidak bisa membiarkan Kemenkumham menerbitkan SK dan kemudian membiarkan masalah ini dengan melemparnya ke PTUN. (Ans)