Liputan6.com, Jakarta - Sikap pemerintah Brasil dan Australia yang memprotes keras kebijakan eksekusi mati bagi terpidana ‘Bali Nine’ dinilai tidak akan memberikan dampak besar terhadap perekonomian Indonesia. Hanya sektor pariwisata yang kemungkinan bakal terdampak. Itu pun tak lama.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, mengatakan Indonesia merupakan negara besar. Karena itu, hubungan bilateral Indonesia tak hanya dengan Brasil dan Australia namun dengan banyak negara lain.
Pemerintah seharusnya tidak perlu khawatir jika Brasil maupun Australia memutuskan hubungan bilateralnya dengan Indonesia. "Sekarang Anda lihat, siapa yang neraca perdagangannya defisit? Kan kita, itu bisa terjadi karena perdagangan mereka banyak masuk ke kita," ujarnya pekan lalu.
Menurut Suryo, posisi Indonesia saat ini bisa dibilang di atas angin karena nyatanya tidak tergantung pada kedua negara tersebut.
"Kalau produk dia tidak masuk ke sini, ya kita cari saja alternatif lain, yang penting pemerintah menjaga agar jangan sampai terjadi inflasi," tandasnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Institude for Development of Economic Finance (INDEF), Enny Sri Hartati. Ia menilai, ancaman boikot yang selama ini didengung-dengungkan oleh kedua negara hanya gertak sambal.
"Saya yakin Australia tidak akan serius untuk betul-betul akan memboikot Indonesia, karena Australia investasi di Indonesia itu cukup besar," katanya.
Enny melanjutkan, posisi geografis Indonesia juga menjadi kunci sebagai pintu keluar Australia. Baik dalam hal perjalanan wisatawan hingga ke jalur perdagangan. "Kalau mereka memutuskan hubungan bilateral, mereka mau lewat mana coba?" kata dia.
Baca Juga
Selanjutnya: Australia dan Brasil yang Merugi...
Advertisement
Australia dan Brasil yang Merugi
Australia dan Brasil yang Merugi
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel pun juga meyakini hal yang sama. Kerja sama perdagangan dan bisnis Indonesia dengan Brasil dan Australia akan tetap berjalan dengan baik meski muncul protes dari pemerintah kedua negara tersebut. "Kita bisnis tetap jalan, tentu kita lihat apa yang mereka lakukan untuk Indonesia," jelasnya.
Bahkan menurut Rachmat, jika Brasil maupun Australia memutuskan kerja sama perdagangan dengan Indonesia, maka kedua negara tersebut yang akan merugi. Pasalnya selama ini produk-produknya banyak masuk ke Indonesia. "Saya kira kalau mereka setop, mereka yang rugi," tandasnya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada tahun lalu Brasil mendominasi perdagangan ke Indonesia sebesar US$ 2,55 miliar lebih tinggi daripada ekspor Indonesia ke Brasil yang hanya US$ 1,51 miliar.
Begitu pun dengan Australia. Ekspor dari negeri kangguru tersebut ke Indonesia mencapai US$ 5,65 miliar atau lebih tinggi sekitar 12 persen dari ekspor Indonesia ke Australia yang hanya sebesar US$ 5,03 miliar.
Sikap lebih berani dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Untuk membalas sikap Presiden Brasil Dilma Rousseff yang menolak surat kepercayaan Duta Besar Indonesia, untuk sementara, Indonesia saat ini sedang mempertimbangkan pembatalan impor pesawat Super Tucano yang digunakan untuk mengawasi garis pantai dari Brasil.
"Lagi dipertimbangkan pembatalan impor pesawat. Tapi kita periksa dulu seperti apa komitmennya, kontraknya," tutur Kalla.
Sementara sikap pemerintah Indonesia kepada Australia lebih halus. Jusuf Kalla mengaku kerjasama perdagangan antara Australia dan negara ini tetap berlangsung walaupun diwarnai ancaman boikot dari Negeri Kanguru itu.
"Dengan Australia biasa-biasa saja, jalankan hukum saja. Hukum, ekonomi dan politik tetap jalan, jadi jangan dicampur aduk. Karena kalau kita nggak impor sapi, bagaimana mereka. Kita juga perlu makan daging kan," papar dia.
JK memandang perbedaan sikap yang ditunjukkan pemerintah Indonesia terhadap Australia dan Brasil karena perlakuan kedua negara tersebut dalam menyikapi eksekusi mati juga berbeda. "Kalau Brasil sudah menghina kita, tapi kalau Australia minta-minta ke kita. Jadi lainlah," tukasnya.
Bahkan calon investor dari Australia pun juga masih semangat untuk menanamkan investasinya ke Indonesia. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengungkapkan, sampai saat ini belum ada calon investor Australia yang menunda untuk mencabut modal dari Indonesia.
"Kalau dilihat dari investasi minat Australia masih tinggi. Ini saya garis bawahi, situasi terakhir belum sampai pada tahapan calon investor, belum atau menunda investasi," kata dia. Investor Negeri Kanguru tersebut menaruh minat pada bidang industri seperti listrik dan pabrik gula.
Salah satu yang dilihat oleh calon investor Australia dari Indonesia adalah reformasi birokrasi yang berjalan dengan baik. “Mereka tidak melihat hukuman mati. Mereka lebih melihat birokrasi yang sudah,” tambahnya.
Dia pun menambahkan, di bawah pemerintahan Presiden Jokowi dengan penyederhaan izin memberikan angin segar bagi investasi. "Australia kecenderungannya meningkat, Brasil tidak terlalu banyak," jelasnya.
Selanjutnya: 'Gertak Sambal' Paling Tahan Sebulan...
Advertisement
'Gertak Sambal' Paling Tahan Sebulan
'Gertak Sambal' Paling Tahan Sebulan
Sektor yang kemungkinan bakal terdampak dengan adanya eksekusi tersebut adalah sektor pariwisata terutama Bali. Pengusaha muda Made Mudarta mengatakan apabila ancaman boikot yang dilontarkan oleh Australia terjadi, tentu sangat merugikan Bali.
Australia adalah penyumbang turis terbanyak yang datang ke Bali. "Turis terbanyak yang datang ke Bali dari Australia. Bali sangat tergantung pada sektor pariwisata. Jika mereka boikot tidak berkunjung ke Bali akan merugikan masyarakat Bali," Kata Mudarta kepada Liputan6.com
Pria yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Bali ini meminta pemerintah Indonesia jangan menganggap remeh dan memandang sebelah mata peringatan keras PM Australia agar warga jangan pergi ke Bali jika eksekusi mati itu dilakukan.
"Urat nadi masyarakat Bali adalah pariwisata. Membunuh dua orang dampaknya bisa menimpa 5 juta penduduk Bali," papar pria yang juga Ketua DPD Partai Demokrat Bali itu.
Namun, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo memperkirakan pengaruh tersebut tidak akan berdampak lama. Menurut Sasmito, boikot pariwisata Indonesia oleh Australia diperkirakan hanya bersifat sementara. Artinya tidak akan berlangsung lama. "Ini mungkin temporary antara 1 bulan sampai 3 bulan selama periode hukuman mati," lanjutnya.
Dari data BPS, dia menyebut, rata-rata kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) asal Australia ke Indonesia mencapai 11 persen atau sekitar 800 ribu sampai 950 ribu per tahun.
Diakuinya, angka tersebut lebih tinggi dibanding basis kunjungan wisman dari China dan Jepang yang masing-masing sekira 9 persen dan 5 persen.
Meski sangat besar, namun Sasmito meyakini imbas dari rencana hukuman mati terpidana Bali Nine terhadap pariwisata Indonesia dari turis asal Australia tidak akan signifikan atau kemungkinan kehilangan 950 ribu wisman kecil.
"Saya pernah hidup dan tinggal bersama bangsa Barat, tepatnya di Amerika Serikat. Walau nasionalismenya tinggi, tapi faktor individualnya lebih kuat. Jadi sangat sedikit yang batal (berkunjung) ke Indonesia," tegas dia. (Ein)