Sukses

Mereka Memilih untuk Melawan

Dalam orasinya, pegawai KPK menolak disebut kalah dalam penanganan perkara Budi Gunawan. "Hanya ada satu kata, lawan!" tegas mereka.

Liputan6.com, Jakarta - Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, sudah biasa menjadi lokasi unjuk rasa. Baik itu yang mendukung langkah penegakan KPK atau yang mengecam langkah lembaga antirasuah itu dalam menyidik sebuah kasus.

Namun, pemandangan pada Selasa 3 Maret 2015 sungguh berbeda. Pagi itu KPK sama sekali tak kedatangan 'tamu' pengunjuk rasa meski tetap ada keramaian di depan lobi Gedung. Sebab, yang berunjuk rasa kali ini adalah pegawai KPK, seperti para penyidik dan staf.

Ratusan pegawai KPK yang tergabung dalam Wadah Pegawai KPK melakukan protes‎ terkait pelimpahan kasus dugaan rekening gendut Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Pimpinan KPK memang telah memutuskan melimpahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung.

‎"Hari ini, esok, lusa atau nanti, sejarah akan mencatat kita sebagai pendukung koruptor atau pejuang pemberantasan korupsi," teriak salah satu orator di lobi Gedung KPK, pada Selasa pagi.

Aksi yang dimulai sejak pukul 08.00 WIB itu dihadiri sekitar 300 orang. Mereka membawa sejumlah poster dan melakukan orasi.

Dalam orasinya antara lain para pegawai KPK menolak disebut kalah dalam penanganan perkara Budi Gunawan. "Hanya ada satu kata, lawan!" tegas mereka.

Penegasan ini tak lain untuk membantah pernyataan Ketua sementara KPK Taufiequrachman Ruki yang menyatakan dilimpahkannya kasus Budi Gunawan ke Kejagung adalah kekalahan insitusinya.

"Buat saya pribadi hari ini bukan akhir dunia. Belum kiamat, langit belum runtuh. Pemberantasan korupsi harus berjalan. Untuk satu kasus ini, kami KPK terima kalah, tapi tidak berarti harus menyerah," ujar Ruki di KPK, Jakarta, Senin 2 Maret.

Karena itu, dalam aksi ini para pegawai KPK meminta Pimpinan KPK menjelaskan kenapa kasus Budi Gunawan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.‎

"Meminta pimpinan menjelaskan secara terbuka strategi pemberantasan korupsi KPK kepada pegawai KPK," kata Faisal yang membacakan petisi pegawai kepada pimpinan KPK.

Penasihat Wadah Pegawai KPK Nanang Farid Syam menambahkan, kasus Budi Gunawan bukan masalah antara KPK melawan Polri. Melainkan KPK versus koruptor‎. Atas dasar itu, para pegawai KPK ini menyatakan tidak akan mundur dan akan terus menggelar aksi sampai Pimpinan KPK merealisasikan tuntutan mereka tersebut.

‎Tak cuma itu, para pegawai KPK juga mengancam akan mengadukannya ke Presiden Joko Widodo seandainya tuntutan mereka tak digubris. "Kami akan ke Presiden. Nanti akan dibicarakan lagi. Aksi ini pun spontan dan baru dibicarakan tadi malam," kata Nanang.

Nanang menjelaskan lebih jauh bahwa para pegawai selama ini tidak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan melimpahkan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan. Padahal, ada opsi lain yang dapat ditempuh pimpinan KPK terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam gugatan ‎praperadilan yang diajukan Budi Gunawan.

"Praperadilan yang diputuskan hakim Sarpin adalah kecelakaan hukum, dan hari ini [hukum tidak berdaya]( 2184637 "")," kata Nanang.

Pada saat bersamaan, Ketua Sementara KPK Taufiequrachman Ruki ikut hadir di tengah-tengah aksi ratusan pegawai KPK. Ruki yang mengenakan kemeja biru muda garis-garis itu tampak santai. Bahkan, Ruki ikut bernyanyi ketika para pegawai KPK menyanyikan lagu 'Maju Tak Gentar'.

"Maju tak gentar, membela yang benar," begitu Ruki ikut bernyanyi sambil mengepalkan tangan ke atas.

‎Selain pensiunan Polisi itu, Pimpinan Sementara KPK Indriyanto Seno Adji juga tampak hadir [dalam aksi protes itu]( 2184584 "").

"Saya senang, saya terharu, karena mereka jadi begini adalah bentukan kami (KPK) Jilid I. Saya pimpinan (KPK) Jilid I yang diminta turun kembali untuk menutup kekosongan Jilid III. Karena itu dengan senang hati saya simak, saya dengar, saya tanda tangan, itu suara saya. Saya dan Pak Indriyanto (Indriyanto Seno Adji) adalah bagian dari pegawai dan saya tidak mau berpisah dengan mereka," kata Ruki.

Ancaman Sanksi

Namun, tidak semua kalangan menerima aksi para pegawai KPK. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yuddy Chrisnandi menegaskan bakal memberi sanksi kepada para pegawai KPK tersebut. Namun, ia belum memastikan bentuk sanksinya.

"Sanksi. Ancaman saya berikan peringatan agar bekerja dengan baik," tegas dia usai hadir dalam acara Rapat Pimpinan TNI-Polri di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan.

Yuddy mengaku tidak sepakat dengan sikap ratusan pegawai KPK tersebut. Menurut Yuddy, seharusnya pegawai menghormati keputusan Pimpinan KPK.

"Tidak boleh tolak menolak, ikuti prosedur institusi. Semua ada prosedur hukumnya, semua saling menghormati tugas masing-masing dan diikuti kesepakatan para pimpinan dan [tidak boleh pembangkangan]( 2184642 "")," kata Yudi.

Menanggapi ancaman sanksi itu, KPK balik bertanya, siapa Menteri Y‎uddy? Mengingat atasan para pegawai KPK adalah Pimpinan KPK, bukan politikus Partai Hanura tersebut.

"Setahu saya yang pegang putusan tertinggi adalah Pimpinan KPK‎," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Gedung KPK.

Menteri Yuddy disebut Priharsa tidak mempunyai kewenangan‎ untuk memberi sanksi kepada KPK. Apalagi para pegawai KPK diatur sendiri dalam peraturan pemerintah (PP) dan Undang-Undang KPK.

"KPK ini pegawainya ada PP-nya sendiri. PP Nomor 63 yang kemudian diperbaruhi dengan PP Nomor 103. Di Undang-Undang juga disebutkan keputusan tertinggi ada di tangan KPK," kata dia.

Priharsa ‎menambahkan para Pimpinan KPK sendiri tidak ada pernyataan akan memberi sanksi terkait aksi protes para pegawai KPK. Apalagi, 2 pimpinan KPK, yakni Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adji juga turut ikut aksi.

‎"Setahu saya pas pertemuan tidak ada pembicaraan soal (sanksi) itu‎," kata Priharsa.

Tanggapan berbeda datang dari Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdjiatno yang meyakini KPK akan tetap solid di bawah kepemimpinan Ruki. "Saya rasa (KPK) di bawah kepemimpinan Pak Ruki solid karena ini sudah melalui pemilihan presiden," ujar Tedjo di Jakarta.

Menurut Tedjo, keputusan untuk mengalihkan kasus yang melibatkan Budi Gunawan itu telah menjadi kesepakatan antara pihak KPK, Kejaksaan Agung, Polri dan telah disetujui oleh Presiden Jokowi. Karena itu, ia tak yakin, tuntutan para pegawai KPK agar pengalihan kasus dibatalkan akan disetujui oleh KPK.

"Kalau memang ada pengalihan kasus itu sudah dibicarakan bertiga. Antara Kapolri, KPK, dan Kejaksaan. Ini sudah dibicarakan sama mereka. Jadi saya tidak ikut dengan pembicaraan itu dan itu sudah melalui pembicaraan yang intens," kata dia.

Lalu, apakah aksi yang dilakukan oleh KPK tersebut dapat dibenarkan dan dianggap sebuah penentangan terhadap keputusan negara? Tedjo enggan memberi penilaian tersebut. "Saya serahkan pada pimpinan KPK lah. Untuk menyelesaikan masalah itu," kata Tedjo.

Pimpinan KPK Harus Terbuka

Sedangkan Ketua DPD Irman Gusman menanggapi unjuk rasa ini dengan mengatakan pimpinan KPK memang harus menjelaskan secara terbuka kepada pegawainya tentang apa yang terjadi.

"Pertama tentu harus di-clear-kan masalahnya. Tentu pimpinan baru harus jelaskan secara terbuka kenapa ini terjadi. Terutama (menjelaskan) kepada stake holder termasuk pegawainya, apa alasannya," kata Irman di Gedung DPD, Senayan, Jakarta.

Irman berujar, meskipun antara KPK, Polri dan Kejaksaan memiliki sinergitas dalam menangani kasus korupsi, menurutnya bukannya saling melemparkan kasus di mana kasus tersebut sudah atau pernah ditangani oleh salah satu dari 3 lembaga hukum tersebut. Apalagi, kasus Budi Gunawan sudah dipantau publik sejak pertama kali mencuat.

"Yang dimaksud sinergi itu bukan memundurkan kasus yang sudah dipantau publik. Jadi sinergi ini meluruskan (perkara kasus korupsi), sebagaimana visi pemerintahan Jokowi-JK," ujar dia.

Lebih jauh Irman menilai, dengan adanya pelimpahan kasus tersebut sengaja atau tidak sengaja ada upaya pelemahan KPK.‎ "Kita katakan ada kondisi pelemahan KPK, (mungkin) tidak disengaja, tapi ini tak boleh terjadi. Sinergi penting tapi dalam penegakan hukum dan memberantas korupsi, bukan malah melepaskan bola panas," cetus dia.

Irman Gusman menuturkan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi harus ikut mengawasi soal pelimpahan Kasus Budi Gunawan dari KPK ke Kejaksaan Agung, agar publik dan pegawai KPK tidak ‎merasa resah.

"Kenapa saling lempar, ada apa sebenarnya. Harusnya Presiden harus mengawasi ini. Ada pembangkangan terhadap Presiden dalam memberantas korupsi. Jangan ada anggapan saling lempar. Ini soal wibawa negara," kata Irman.

Dia menegaskan, meskipun kasus Budi Gunawan telah dilimpahkan dari KPK, namun harus tetap diusut secara tuntas karena menjadi perhatian publik.

"Penyidik dan stake holder KPK serta pimpinan harus jelaskan. Tentu tak boleh hentikan kasus ini karena sudah sangat diperhatikan publik. Intinya harus jelaskan kenapa bisa terjadi. Ini harus dituntaskan," ujar dia.

‎Masih kata Irman, kini sistem hukum Indonesia kembali disorot khususnya menyangkut pemberantasan korupsi yang sudah laten. Dimana menurut dia, kepastian hukum terganggu karena persoalan tersebut.

"Masalah kepastian hukum terganggu. Harus clear. Jangan ada anggapan kita tak serius berantas korupsi. Demokrasi yang kita kembangkan penegakan hukum kuat dan berantas korupsi yang sistematis. Dan harus mengawal proses ini dengan baik. Publik melihat dan menyangkut wibawa Presiden," tandas Irman.

Tanggapan juga datang Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan tak ada yang kalah dan menang dalam pelimpahan kasus transaksi mencurigakan Budi Gunawan. Menurut JK, patokan kasus hukum adalah keputusan pengadilan.

"Jadi ini bukan pertarungan di mana ada yang menang dan kalah," kata JK di Istana Wakil Presiden.

JK mengatakan, kalau KPK saat ini dinilai melemah, itu karena ada faktor yang melemahkan dari dalam. "Kalau yang sekarang ini karena faktor dari dalam," kata JK.

Menurut dia, melemahnya KPK disebabkan oleh faktor internal. Dia mencontohkan cerita tentang manuver politik Abraham Samad yang dikenal dengan 'rumah kaca'. "Juga ada cerita lainnya, dan faktor politik," kata mantan Ketua Umum Partai Golkar ini.

Belum ada tanggapan dari Jokowi atas aksi pegawai KPK inoi. Namun, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan Jokowi telah mengetahui adanya protes dari para pegawai KPK itu. Namun, tidak memberikan pernyataan mengenai hal tersebut.

‎"Tidak ada komentar dari Presiden soal itu, tadi arahannya cari penyelesaian yang sifatnya komprehensif (utuh) dan tidak parsial," ujar Andi di Istana Kepresidenan.

Menurut Andi, saat ini presiden masih mempelajari mengenai pengalihan penanganan kasus tersebut. Andi juga mengatakan, Jokowi akan kembali meminta pertimbangan mengenai hal tersebut.

"Itu yang sedang dipelajari, saya katakan di awal, Presiden minta pertimbangan supaya solusi yang diberikan tidak parsial. Di antaranya berkaitan dengan pejabat, komisioner di instansi tertentu," ucap dia.

Lalu, apakah Presiden akan kembali memanggil para pimpinan KPK, terkait keputusan mengalihkan kasus BG? Andi mengaku kalau selama ini Jokowi terus melakukan komunikasi intensif dengan para pimpinan KPK. ‎"Sering kok berkomunikasi dengan Pak Ruki (Taufiequrahman Ruki)," kata dia.

‎Andi juga mengatakan Jokowi akan segera menyiapkan solusi penanganan kasus BG. Namun, saat ditanya kapan tenggat waktu bagi presiden menyampaikan solusi tersebut, Andi enggan menyebutkannya. "Nanti akan dikatakan, pokoknya sesiapnya," tandas Andi.

Yang jelas, bagi KPK ini bukan sesuatu yang biasa. Sejak KPK berdiri, baru kali ini ada perlawanan dari dalam atas langkah yang diambil pimpinannya. Sehingga boleh dikatan saat ini merupakan masa paling kritis bagi KPK untuk terus mengupayakan pemberantasan korupsi.

Jika selama ini perlawanan dari eksternal KPK sempat menyulitkan lembaga itu, maka ketika perpecahan terjadi di internal, bisa dibayangkan kondisi lebih buruk yang akan terjadi. Ketidakpuasan dan perasaan tidak dihargai yang dirasakan para pegawai KPK bisa menjadi titik balik bagi prestasi lembaga antirasuah itu.

Maka, sudah saatnya untuk memperbaiki 'kerusakan' yang ada. Tak bisa diserahkan kepada KPK semata dan perlu juga keterlibatan Kepala Negara, dalam hal ini Presiden Jokowi, untuk mengembalikan lembaga ini kepada marwahnya. Dan kali ini harus tuntas, tak lagi menyisakan masalah yang tindih-menindih. (Ado)