Sukses

Fitra: Hak Angket APBD DKI Kental Nuansa Politis

DPRD DKI Jakarta memutuskan tetap melanjutkan hak angket terkait APBD 2015 kepada Pemprov DKI Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - DPRD DKI Jakarta memutuskan tetap melanjutkan hak angket terkait APBD 2015 kepada Pemprov DKI Jakarta. Dewan mengklaim menemukan beberapa fakta pelanggaran hukum yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok atas permasalahan APBD 2015.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai langkah hak angket yang dilakukan DPRD bukan semata-mata untuk melakukan investigasi. Justru, nuansa politik lebih kental terasa dalam upaya pemecahan masalah ini.

"Hak angket prosesnya, nuansa politis lebih kuat dibanding nuansa mengungkap yang salah. Sampai sekarang tidak solid. Karena tidak rasional hanya beberapa belit saja yang kekeh," ujar Manajer Advokasi Fitra, Apung Widadi di kantor Seknas Fitra, Jakarta, Jumat (6/3/2015).

Apung menilai, seluruh tudingan pelanggaran yang dituduhkan kepada Ahok belum memiliki dasar hukum. Hanya sebatas penyampaian saja. Pola kerja panitia angket pun dinilai belum jelas.

"Pola kerja panitia angket, belum jelas. Hanya seolah kemarin akumulasi personal hingga muncul hak angket. Lebih banyak mudhorotnya daripada manfaatnya," imbuh dia.

Dewan juga dianggap Apung hanya mementingkan ego dirinya sendiri. Hal itu terlihat pada proses mediasi yang dilakukan Kemendagri. Tidak terlihat anggota dewan yang membawa berkas untuk dilakukan kroscek bersama dalam rangka musyawarah.

"Tapi lebih pada forum bertemu untuk berkonfrontasi. Bukan musyawarah. Seolah DPRD sudah lupa janji kampanye. Bukan mewakili rakyat tapi kepentingan pribadi," jelas dia.

"Kepentingan kita bisa lihat aktor dan pimpinan sangat kuat. Kalau basic partai lainnya berbeda. Seolah hanya kepentingan elit pimpinan yang menggebu. Parpol bertolak belakang dengan sikap elit," tandas Apung.

Kewenangan DPRD

Perdebatan soal APBD 2015 berkutat pada adanya dugaan dana siluman Rp 12,1 triliun. DPRD DKI Jakarta berkeras memiliki hak budgeting untuk mengubah mata anggaran saat pembahasan bersama pemprov DKI Jakarta.

Namun, Fitra menilai DPRD salah menafsirkan undang-undang dan aturan. Tindakan mereka yang mengubah mata anggaran dinilai melanggar undang-undang dan tatib.

"Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemda Pasal 101 ayat 1 menyebutkan tugas kewenangan DPRD membahas dan menyetujui Raperda APBD. Dia tidak berhak mengusulkan," ujar Sekjen Fitra Yenny Sucipto.

Yenny menilai, pengusulan yang dilakukan DPRD juga melanggar tatib DPRD tahun 2014. Dalam tatib juga dinyatakan, kewenangan DPRD dalam hal anggaran hanya sebatas membahas dan menyetujui.

"Sehingga tidak perlu ada Rp 12,1 triliun. Kenapa kekeh dengan mediasi ini tidak ditemukan dengan titik temu pembahasan," imbuh dia.

Seharusnya, menurut Yenny DPRD dapat melakukan pengusulan dalam perencanaan awal anggaran. DPRD dapat mengusulkan pokok pikiran yang didapat saat reses pada saat musrembang tingkat kota. Sehingga pengusulan tidak muncul lagi di tingkat raperda.

Sementara, Manajer Advokasi Fitra, Apung Widadi mengatakan, DPRD seharusnya melakukan fungsi pengawasan terhadap APBD DKI Jakarta. Bukan seperti saat ini justru mengelola keuangan.

"Sekarang yang terjadi DPRD bukan mengawasi pembahasan tapi Ahok. DPRD yang mengelola anggaran dalam konteks Rp 12,1 triliun itu," ungkap Apung.

Dia menjelaskan, fungsi pengawasan seharusnya dapat ditunjukan DPRD pada anggaran yang terkait TKD Dinamis yang memakan anggaran Rp 10 triliun. Fitra sejak awal mendorong DPRD untuk mengoreksi itu.

"Tapi pengawasan itu tidak dilakukan DPRD. Ada kesalahan ketatanegaraan di DKI Jakarta," tandas Apung. (Mut)

Video Terkini