Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Hak Angket yang digunakan DPRD DKI bukan sekadar untuk menginvestigasi kisruh APBD 2015. Tapi juga terkait urusan perut.
"Pertempuran hak angket ini bukan sekedar etika politik (Ahok), cara bicaranya, hubungan dengan eksekutif dan legislatif. Ini hanya perebutan periuk nasi semata. Jika memang benar ingin mempermasalahkan, maka harusnya gunakan hak interplasi, bertanya dulu," ujar Peneliti ICW, Firdaus Iliyas di kantornya, Jakarta, Senin (9/3/2015).
ICW, sambung dia, meminta semua pihak fokus pada penyelesaian dugaan adanya dana siluman di APBD 2015. Berdasarkan penelusuran ICW terkait mata kegiatan siluman dalam APBD DKI pada dinas dan Sudin Pendidikan tedapat alokasi anggaran sebesar Rp 2,068 trilun dengan nilai realisasi sebesar Rp 1,194 trilun.
"Dari realisasi kegiatan yang diduga bermasalah (siluman) terdiri 454 paket kegiatan," ungkap dia.
Menurut Firdaus, adanya masalah APBD tersebut harus menjadi pintu utama dalam hal memperbaiki pengelolaan anggaran daerah.
"Dengan adanya masalah ini, jelas menjadi pintu masuk dalam memperbaiki sistem pengelolaan uang daerah. Karena itu perlu dicermati bersama, apapun langkah politik yang terjadi, ini harus menjadi ajang perbaikan tata kelola dana daerah," tegasnya.
Jangan Hanya Ahok
Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam melihat perseteruan DPRD DKI dan Gubernur DKI Jakarta Ahok merupakan hal yang positif, sehingga publik dapat melihat mekanisme penentuan anggaran.
Roy mengatakan perseteruan itu terjadi karena selama ini DPRD DKI Jakarta sudah merasa nyaman dengan mekanisme penentuan anggaran. Ketika, Gubernur dipimpin oleh Ahok yang ingin ada perubahan DPRD panik sehingga muncul perseteruan tersebut.
"DPRD terlalu nyaman selama ini sehingga tidak siap menghadapi perubahan saat ini," ujar Roy Salam.
Selain itu, Roy melihat dana siluman yang dipermasalahkan oleh Ahok lantaran DPRD melampaui kewenangan karena telah mengajukan anggaran APBD juga. Padahal, menurut Roy tugaa DPRD hanya mengesahkan saja anggaran yang ditawarkan oleh Eksekutif.
"DPRD melampaui kewenangan yang sudah ditentukan UU yaitu dengan mengajukan anggaran karena yang berwenang hanya eksekutif sehingga muncul dana siluman tersebut," jelas Roy.
Untuk itu, dia meminta agar Hak Angket yang diajukan DPRD tetap dijalankan agar bisa mengetahui siapa yang sebenarnya bermain dalam APBD 2015 ini.
"Angket itu jangan memeriksa eksekutif saja, tapi juga anggota DPRD harus diperiksa," pungkas Roy.
Kisruh APBD DKI
Kisruh APBD DKI bermula ketika Ahok mengungkapkan adanya dugaan anggaran siluman sebesar Rp 12,1 triliun yang dimasukkan ke dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI 2015 usai disahkan oleh DPRD DKI dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada tanggal 27 Januari 2015.
Dalam pembahasan APBD di tingkat komisi sebelum rapat paripurna itu, Ahok menyebut salah satu wakil ketua komisi di DPRD memotong 10 hingga 15 persen anggaran yang telah disusun oleh Pemerintah Provinsi DKI, kemudian menggantinya dengan anggaran pembelian perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) untuk seluruh kantor kecamatan dan kelurahan di Jakarta Barat.
Setelah dicek, ternyata tak satupun camat atau lurah di sana yang merasa pernah mengajukan penganggaran pembelian UPS yang nilainya bila dibagi rata dengan jumlah kecamatan dan kelurahan yang ada di Jakarta Barat, mencapai Rp 4,2 miliar per 1 unit UPS.
Namun, dari pihak DPRD DKI melalui Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Banggar DPRD) DKI justru menyebut Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov DKI telah mencoba menyuap dalam penyusunan APBD DKI 2015 sebesar Rp 12 triliun. (Mut)
ICW: Hak Angket APBD DKI Sekadar Ributkan Periuk Nasi
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Hak Angket yang digunakan DPRD DKI bukan sekadar untuk menginvestigasi kisruh APBD 2015.
Advertisement