Liputan6.com, Jakarta - "Setuju...!" seru 86 anggota DPRD DKI Jakarta, 27 Januari lalu. Mendengar itu, Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi pun mengetok palu 2 kali, tok.. tok.. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2015 senilai Rp 73 triliun pun disahkan.
Usai pengesahan, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menuju podium. Dalam pidato singkatnya, Ahok menyampaikan terima kasih atas disahkannya APBD 2015.
Baca Juga
"Berbagai saran, komentar, dan rekomendasi Dewan yang disampaikan selama proses penyelesaian dan persetujuan Raperda tentang APBD Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2015, akan menjadi acuan eksekutif untuk ditindaklanjuti," ujar Ahok.
Advertisement
Lega sudah, APBD yang seharusnya sudah diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri akhir Desember 2014 itu akhirnya disahkan. Ancaman pegawai Pemrov DKI tak akan menerima gaji selama 6 bulan pun tak lagi menghantui.
Namun dalam paripurna itu, kata Ahok Senin (9/3/2015) di Balaikota Jakarta, tak ada hard copy atau draf APBD 2015 yang dicetak. Juga tak ada berkas usulan anggaran yang diserahkan Ketua DPRD DKI kepadanya saat itu.
Mendapati kondisi ini, Ahok sempat kebingungan dan kemudian mempertanyakannya ke DPRD. Alih-alih mendapat jawaban panjang lebar, pihak DPRD malah hanya menjawab 'gampang, gampang'.
Mendengar jawaban demikian, mantan politisi Partai Gerindra itu pun menganggap draf APBD 2015 sudah selesai dan komisi tak memberikan usulan kegiatan apapun.
Tiga hari setelah pengesahan APBD, tiba-tiba kata Ahok, ada bundelan draf APBD dari DPRD di atas mejanya. Di dalam draft itu tercantum paraf ketua DPRD DKI dan ketua komisi dari A sampai E.
Ahok mengaku heran dengan kedatangan bundelan draft tersebut. Kendati demikian, pada 4 Februari 2015, Ahok menyerahkan draf APBD yang telah disahkan bersama oleh pemprov DKI dan DPRD ke Kementerian dalam Negeri (Kemendagri), tanpa mengikutsertakan draf susulan dari DPRD.
Langkah Ahok ini bukan tanpa alasan. Mantan Bupati Belitung Timur mengatakan, telah mengecek bundelan atau draf APBD versi DPRD tersebut. Ahok memelototi satu per satu kegiatan dan pagu anggaran di dalamnya. Hasilnya? Luar biasa dalam draft APBD versi DPRD itu, ia menemukan anggaran yang tak pernah diusulkan pihaknya. Jumlahnya sangat fantastis, Rp 12,1 triliun.
"Sebelum paripurna itu mereka (DPRD) nggak masukin apapun. Ketika diketuk, nggak ada dana itu," tegas Ahok.
Ahok mengaku merasakan ada yang tidak beres. Di kolom 'tambahan', terdapat angka dengan jumlah mencengangkan, Rp 12,1 triliun. Padahal dalam draf yang disahkan di paripurna tak ada tambahan apapun.
Mantan Anggota DPR itu juga menemukan, anggaran yang diajukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov DKI justru dikurangi hingga 15 persen.
Ahok pun meneliti kejanggalan ini. Berdasarkan laporan dari intelnya, ia mendapat informasi bahwa usai pengesahan, DPRD melakukan penambahan anggaran dengan memotong sejumlah anggaran dari usulan awal.
"Dia (oknum DPRD) yang ketik loh. Kita ada bukti semua. Supaya masuk dananya dia yang Rp 12,1 triliun," ucap Ahok. "Ya setelah paripurna, pengesahan 3 hari mereka sibuk crop sibuk tengah malam, kan kita punya intel nih, masukin excel (program microsoft excel) potong 10-15 persen. Masukin duit versi dia, tanda tangan terus print out kirim ke saya. Dia ingin ini yang saya pakai kirim ke Kemendagri," beber Ahok.
Ahok tak menepis jika ada jajarannya yang mungkin ikut bermain dalam anggaran siluman APBD versi DPRD itu. Tapi, ucap Ahok, hal ini agak sulit dilakukan lantaran masing-masing SKPD telah memasukkan pagu anggarannya dalam sistem e-budgeting, yang berarti setelah masuk angkanya tidak bisa diubah lagi.
Kalau pun diubah, ujar dia, hanya bisa dilakukan oleh dia sendiri dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Sebab, hanya mereka berdua yang memiliki password (kata kunci) untuk masuk ke sistem anggaran e-budgeting.
"Semua SKPD ngisi sendiri keperluan mereka diinput ke e-budgeting. Kalau SKPD itu main ada buktinya di Bappeda," jelas Ahok.
Atas dasar inilah, Ahok hanya menyerahkan draf APBD yang telah disahkan dan telah dimasukan dalam sistem e-budgeting ke Kemendagri.
Belakangan draf itu dikembalikan ke Pemprov dengan alasan dokumen tidak lengkap. Dalam draf tersebut tidak ada ringkasan APBD serta lampiran 1A struktur pendapatan belanja dan pembiayaan. Selain itu, lampiran pembahasan komisi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tak ditandatangani Ketua DPRD.
Draft APBD itu juga dikembalikan karena sistem e-budgeting yang digunakan Pemprov DKI dinilai tidak sesuai PP No 58 Tahun 2005 dan Permendagri No 13 Tahun 2006. (Baca juga: RAPBD DKI Versi Pemprov dan DPRD)
Selanjutnya: Anggaran Cap ‘Nenek Lu’...
Anggaran Cap ‘Nenek Lu’
Anggaran Cap ‘Nenek Lu’
Disinilah masalah mulai muncul. Ahok menduga, ada permainan di balik pengembalian APBD itu. "Oknum DPRD berusaha ganti Rp 8,8 triliun saya nggak mau ngasih," kata Ahok. Dia juga menegaskan tetap menggunakan sistem e-budgeting.
"Tetap e-budgeting. Nggak boleh di-print out keluar. Kalau itu curi duit rakyat saya bilang. Nah kalau alasan itu kita nggak mau dikasih APBD, ya sudah nggak usah. Nggak usah. Orang Jakarta nggak butuh APBD kok. Lu percaya sama saya. Orang Jakarta yang penting urusin sampah," tandas Ahok.
Melihat hal tersebut, DPRD DKI menuding Gubernur Ahok telah menyalahi aturan. Sebab hanya mengirim draf APBD versi Pemprov sendiri dan bukan draf hasil pembahasan dengan DPRD.
Soal tudingan dana siluman di APBD versi DPRD, anggota Badan Anggaran DPRD DKI Bestari Barus justru menuduh Pemprov DKI lah yang telah menawarkan uang senilai Rp 12 triliun agar DPRD tidak lagi mengutak-atik APBD 2015.
"Supaya program anggaran tersebut disetujui dan tidak banyak yang dihilangkan atau dicoret, maka Pemprov DKI melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menyogok kami dengan memberikan anggaran Rp 12 triliun," ujar Bestari di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin 9 Februari 2015.
Politisi Partai Nasdem itu menjelaskan, uang tersebut sudah disebar ke berbagai kegiatan yang dapat dimanfaatkan DPRD untuk mendapatkan sejumlah uang. Misalnya digunakan untuk kegiatan pembelian tanah dan alat berat seperti eskavator. Menurut Bastari, dia terpaksa mengungkapkan hal ini karena terkesan DPRD terus yang disalahkan oleh Ahok dalam hal APBD 2015.
Penolakan juga disampaikan anggota Banggar DPRD lainnya, Fahmi Zulfikar. Ia menegaskan, tuduhan Ahok soal anggaran siluman tidak benar dan tidak ada buktinya.
Sementara wakil Ketua DPRD dari Fraksi Gerindra M Taufik mengatakan, APBD sistem e-budgeting yang diserahkan Pemprov DKI ke kemendagri illegal karena tidak melalui proses pembahasan di paripurna.
"Dia masukkin bulan Mei, Juni, Juli dia ketik-ketik sendiri. Jadi e-budgeting itu tidak masuk ranah hukum pembahasan APBD," tegas Taufik.
Dituding demikian, Ahok geram. Dia tidak terima Pemprov DKI dituding menyogok DPRD agar mengesahkan APBD 2015. Dia juga menegaskan, justru DPRD lah yang berniat memasukkan anggaran siluman Rp 8,8 triliun ke dalam APBD dengan nama 'anggaran visi misi'. Namun akhirnya pengajuan anggaran itu dicoret dan diberi cap 'Nenek Lu'.
"Saya punya berkas (pengajuan anggaran) Rp 8,8 triliun kok. Saya nulis 'nenek lu' itu yang saya coret di Rp 8,8 triliun dikirim ke kita kok," jelas Ahok. Dia menantang DPRD untuk membuktikan siapa sebenarnya yang mempermainkan anggaran.
Saling tuding antara Gubernur DKI Jakarta dan APBD terus berlangsung. Kemarahan Ahok begitu juga Pemprov DKI sulit terbendung. Bahkan DPRD mengancam akan menggulingkan Ahok dengan mengajukan hak interpelasi yakni hak dewan untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait APBD tersebut.
Bukannya gentar Ahok malah menantang DPRD DKI menggunakan hak mereka. Dia juga melawan dengan melaporkan DPRD ke KPK atas dugaan anggaran siluman di APBD 2012-2014. “Biar seluruh masyarakat Indonesia tahu apa yang terjadi," tandas pria berkacamata itu, Senin 16 Februari lalu.
Di tanggal yang sama, DPRD menggelar rapat dan sepakat menggunakan hak angket. Seolah tak peduli atas ancaman DPRD, di hari itu juga Pemprov DKI menyerahkan kembali draft APBD 2015 ke Kemendagri.
Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah mengatakan, draf yang dikirim merupakan versi Pemprov DKI Jakarta. Semua koreksi dari Kemendagri sudah diperbaiki.
Ahok sendiri berusaha membuktikan kebenaran ucapannya dengan memperlihatkan kepada media lembaran pagu anggaran yang diduga telah disusupi anggaran siluman.
Di Dinas Pendidikan terdapat 19 anggaran tambahan yakni: professional development for teacher melalui pelatihan guru ke luar negeri senilai Rp 25,5 miliar, pengadaan alat peraga pendidikan anak usia dini bantuan untuk PAUD senilai Rp 15 miliar; pengadaan peralatan Audio Class untuk SD masing-masing senilai Rp 4,5 miliar, SMP Rp 3,5 miliar, dan SMA/SMK Rp 3 miliar.
Ada juga pengadaan perangkat sains bidang teknologi rekayasa untuk sejumlah SMK di Jakarta yang masing-masing bernilai Rp 3 miliar. Tercatat juga dana untuk pengadaan alat percepatan peningkatan mutu pembelanjaran e-smart teacher education untuk SDN kecamatan Cempaka Putih senilai Rp 4,9 miliar.
Tak hanya itu, anggaran di Sudin Pendidikan II Jakarta Selatan juga mengalami penambahan.Sejumlah sekolah dicatat mendapatkan dana untuk pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) masing-masing senilai Rp 6 miliar.
Total anggaran siluman yang dituding Ahok telah disusupkan DPRD ke dalam pagu anggaran Dinas Pendidikan mencapai Rp 105,876 miliar.
Tak hanya di Dinas Pendidikan, Lurah Kamal, Joko Mulyono, juga menemukan anggaran siluman utuk pembuatan gapura ornamen Betawi kantor Kelurahan Kamal senilai Rp 150 juta. Padahal kata Joko, pihaknya tak pernah mengusulkan anggaran itu.
"Nggak pernah diusulkan ini melalui musrenbang. Jadi saya tulis tidak setuju dengan versi DPRD (DKI) karena nggak pernah kita usulkan," ujar Joko.
Selanjutnya: Deadlock...
Advertisement
Deadlock
Deadlock
Ketegangan antara Pemprov DKI dan DPRD terus meningkat, hingga memaksa Kementerian Dalam Negeri turun tangan untuk mendamaikan keduanya. Pada 5 Maret 2015, Kemendagri mempertemukan Pemprov dan DPRD DKI untuk mencari solusi dari kisruh APBD 2015.
Alih-alih berdamai, program mediasi itu malah menemui jalan buntu (deadlock). Ahok tetap bersikeras menggunakan APBD versi e-budgetting karena di versi DPRD terdapat selisih anggaran sebesar Rp 12 triliun lebih. Apalagi e-budgetting ini sudah mendapat persetujuan Presiden Jokowi.
Sementara itu, pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta menilai Ahok telah melanggar undang-undang karena membuat anggaran tanpa dilaporkan kepada DPRD. Mereka juga mempermasalahkan sikap Ahok yang dinilai tidak santun.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham 'Lulung' Lunggana menyatakan, Ahok telah menghina dan memfitnah DPRD terkait anggaran siluman dalam APBD 2015.
Hingga kini belum ada jalan keluar untuk menyelesaikan sengketa APBD DKI Jakarta 2015. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya tengah mengevaluasi APBD tersebut dan berharap masalah ini sudah selesai setelah 13 Maret 2015.
Tjahjo juga menegaskan, Kemendagri tidak akan melakukan mediasi atau klarifikasi lagi, dan hanya akan menerima anggaran yang datang dari Gubernur DKI Jakarta. Untuk itu, pihaknya memberi waktu satu minggu kepada Pemprov dan DPRD DKI untuk duduk bersama bermusyawarah.
"Kalau tidak ya sudah, ada aturan, ada undang-undang, bisa Peraturan Gubernur dibuat, bisa Peraturan Mendagri, kalau tidak mungkin ini difokuskan, akan kita gunakan mata anggaran 2014," tegas Tjahjo.
Meski ditentang habis-habisan oleh DPRD, namun sikap Ahok untuk melindungi APBD DKI Jakarta dari susupan anggaran siluman telah diapresiasi banyak pihak. Dalam acara car free day di Jakarta, warga ibukota ramai-ramai memberikan dukungan kepada Ahok.
Dukungan mereka buktikan dengan membuat lagu 'Gue Ahok' yang diunggah ke situs Youtube. Muncul juga Gerakan@temanahok dan #SaveAhok.
(Video: Lagu 'Gue Ahok' Bentuk Dukungan Masyarakat Lawan Koruptor)
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyatakan mendukung sikap tegas Ahok melindungi APBD DKI dari 'dana-dana siluman'.
"Sikap Gubernur (Ahok) patut diapresiasi, karena tidak mau kompromi (dengan proyek-proyek titipan). Di daerah lain, kepala daerah cenderung bahkan ada juga yang memberi jatah," kata Ade.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai, dana susupan itu erat kaitannya dengan politik balas budi yang dilakukan DPRD. Melalui beberapa proyek seperti pengadaan UPS yang kini jadi sorotan, para anggota dewan bisa membayar janji dengan pengusaha saat kampanye lalu.
"Dugaan kami ada motivasi yang membuat proyek ini tidak bisa dibatalkan. Dugaan saya, sebelum pemilu sudah ada permainan dengan pengusaha UPS dengan bertemu caleg dan proyek itu harus gol. Jadi ini balas budi bentuknya. Aktor itu siapa harus ditelusuri," ujar Manajer Advokasi Fitra Apung Widadi. (Ein)