Sukses

Kepala Sekolah SMA 3: Saya Siap Dicopot

Kepala Sekolah SMA 3 Retno Listyarti memenuhi panggilan penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Liputan6.com, Jakarta Kepala Sekolah SMA 3 Retno Listyarti memenuhi panggilan penyidik Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Ia diperiksa sebagai terlapor atas kasus dugaan tindakan diskriminatif berupa skorsing terhadap sejumlah murid.

Dalam pemanggilan pertamanya ini, Retno mengaku siap dievaluasi Dinas Pendidikan DKI Jakarta jika dianggap salah dalam memberikan skorsing terhadap 4 muridnya. "Kalau mau di evaluasi silakan. Pagi-pagi dicopot pun silakan," kata Retno di Dirkrimum Metro Jaya, Jakarta, Selasa (10/3/2015).

Meski demikian, Retno mengatakan evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan haruslah sesuai dengan prinsip keadilan dan proporsional. "Jangan hanya mendengar dari keterangan orang tua semata. Yang jelas, kami sudah menerapkan sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Biarlah proses hukum yang membuktikan karena ini sudah dilaporkan polisi," ucap dia.

Menurut Retno, ada peraturan di sekolah yang dipimpinnya dalam Pasal 27 ayat B tentang Tata Tertib SMA mengenai siswa yang dilarang melakukan pemukulan atau penganiayaan terhadap orang lain. Dari peraturan tersebut, ada sanksi yang harus diberikan oleh guru ataupun Kepala Sekolah jika menemukan siswa yang melanggar.

"Dimana siswa tidak boleh memukul atau menganiaya dan sanksinya 100 poin atau dikembalikan ke orang tua," tambah Retno.

Sebelumnya, Retno dilaporkan ke Polda Metro Jaya lantaran diduga melakukan tindakan diskriminatif berupa skorsing terhadap sejumlah murid. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Martinus Sitompul mengatakan laporan itu bermula dari peristiwa dugaan pencabulan yang dilakukan seorang alumni bernama Erick terhadap HJP siswi SMAN 3 Setiabudi.

Kronologi kejadian, bermula ketika Erick mencoba merampas sepeda motor saksi atas nama Alif, di dekat SMAN 3 Setiabudi, tanggal 30 Januari 2015 lalu. Kemudian, korban HJP mencoba membantu saksi. Namun, pada saat mau membantu itu pelaku meraba dada korban.

Lalu, teman-teman korban berinisial PRA, AEM, MRPA, dan PC datang membantu dan akhirnya terjadi perkelahian hingga Erick mengalami luka-luka. "Ternyata E (Erick) melaporkan kejadian perkelahian tersebut ke terlapor (kepala sekolah)," kata Martinus, Jumat 6 Februari 2015.

Ia menyampaikan, kemudian kepala sekolah menerima laporan itu dan memberikan hukuman berupa sanksi skorsing selama 39 hari tidak masuk sekolah, terhadap korban dan saksi-saksi.

"Korban merasa dirugikan karena tidak dapat mengikuti proses belajar mengajar untuk mengikuti ujian akhir sekolah. Hal ini, berakibat para korban mengalami kerugian materil maupun non materil yang menghambat fungsi sosialnya," kata Martinus.

Salah satu orang tua saksi PC yang kebetulan berprofesi sebagai pengacara, atas nama Frans Paulus, akhirnya membuat laporan dugaan tindak diskriminasi terhadap anak yang dilakukan RL dengan nomor laporan LP/466/II/2015/PMJ/Dit Reskrimum 4 Februari 2015. Akibatnya, RL, terancam dijerat Pasal 77 Juncto Pasal 76 A huruf a Undang-undang RI Nomor 35 tahun 2014. (Tya/Mut)