Sukses

Survei ICRW: 84% Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah

Guru dinilai harus punya peran penting dalam menangani kasus kekerasan anak di sekolah.

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan anak di sekolah di berbagai daerah di Indonesia sudah memasuki tahap memprihatinkan. Cukup banyak siswa yang menganggap bahwa kekerasan yang dialami atau yang dilakukan sebagai tindakan wajar. Banyak guru dan orangtua siswa yang cenderung tidak mengadukan kekerasan di sekolah karena khawatir akan menjadi pihak yang disalahkan.

Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesema mengatakan, guru harus punya peran penting dalam menangani kasus kekerasan anak di sekolah. Mereka juga harus berani memberi sanksi tegas pada siswa yang melanggar atau melakukan tindak kekerasan maupun bullying.

"Guru tidak boleh takut memberi sanksi pada siswanya jika berbuat salah. Kalau ada 1 anak melakukan kekerasan atau bullying tidak diberi sanksi, maka besok akan ditiru banyak temannya," ujar Doni dalam diskusi bertema 'Stop Kekerasan dan Ciptakan Sekolah Ramah Anak' yang diselenggarakan Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) di Jakarta, Sabtu (14/3/2015).

Di samping itu, guru juga harus mendapat edukasi tentang kekerasan anak. Guru harus tahu bentuk-bentuk kekerasan anak, ciri-ciri, dan bagaimana menindak.

Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Sejiwa Diena Haryana. Ia mengatakan, salah satu penyebab kekerasan anak marak terjadi di lembaga pendidikan adalah lantaran pihak terkait membiarkan kekerasan sebagai proses kewajaran. Selain itu kurangnya rasa memiliki pada masalah di antara pemangku negeri juga menjadi problem utama.

"Salah satunya pendidik membiarkan dan menganggap kekerasan sebagai proses yang wajar dan biasa. Pemerintah juga tidak bekerja sama dan cenderung bekerja sendiri-sendiri," terang Diena.

Bermula dari Bullying

Diena mengatakan, permasalahan kekerasan berakar dari tindakan bullying. Bullying sendiri hanya bisa dilihat dalam perspektif korban. Karena tidak semua anak ketika diejek akan berdampak serius pada psikologisnya. Namun demikian, bullying tidak bisa dianggap enteng karena bisa berdampak pada tumbuh kembang anak. Bahkan bisa memicu tindak kekerasan, pengeroyokan, hingga pembunuhan.

Sementara aktivis Gerakan Nasional Anti-Bullying (Genab) Mardianto Janna mengatakan, bullying terjadi karena rasa saling menghormati antar-teman, orangtua, guru mulai hilang. Ia mengajak kepada semua pihak baik guru, orangtua, pemerintah maupun masyarakat umum lebih sadar terhadap permasalahan kekerasan anak di sekolah ini.

"Harus dibangun awareness bahwa kekerasan di sekolah sudah menjadi gawat darurat di negara ini. Kita harus mendorong partisipasi aktif terutama sluruh ekosistem pendidikan untuk memutus mata rantai kekerasan di sekolah," ucap Mardianto.

Riset di 5 Negara

Dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan fakta mencengangkan terkait kekerasan anak di sekolah. Terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%.

Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten. Survei diambil pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-17 tahun, guru, kepala sekolah, orangtua, dan perwakilan LSM.

Selain itu, data dari Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan.

Padahal Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan yang melindungi anak dari tindak kekerasan. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti-kejahatan Seksual terhadap anak, dan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Namun penerapan perangkat hukum ini masih terbentur beragam kendala seperti ketidaktahuan masyarakat dan kurangnya komitmen pemerintah daerah. Penerapan yang belum optimal ini membuat anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya terlindungi.

Bahkan menurut Ketua FMGJ Heru Purnomo, tindak kekerasan yang dialami anak di Indonesia tidak menurun, namun justru semakin mengerikan.

"Contohnya pengeroyokan terhadap siswi SD di Padang yang terjadi di jam belajar. Penyekapan dan penganiayaan terhadap siswi SMA di Yogyakarta hanya karena tato Hello Kitty. Siswa di Surabaya menebas lengan temannya karena cemburu. Atau tawuran siswa SMA di Jakarta yang merenggut nyawa, dan masih banyak lagi. Artinya, ini menunjukkan banyak masalah dengan pendidikan di negeri ini. Harus ada revolusi mental di dunia pendidikan," papar Heru Purnomo. (Ans)