Sukses

7 Langkah Membangun Sekolah Ramah Anak

Pertama, sekolah harus terbuka dan mengakui kalau ada kekerasan.

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan anak di Indonesia semakin memprihatinkan. Ironisnya, kekerasan justru banyak terjadi di sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar dan tumbuh kembang anak.

Sebuah riset LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 menunjukkan data yang mencengangkan. Dari survei yang diambil di Jakarta dan Kabupaten Serang, Banten, 84% anak Indonesia mengalami kekerasan di sekolah.

Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan ini, pengamat pendidikan sekaligus Dewan Pertimbangan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Doni Koesoema mengatakan, pihaknya ingin mengembalikan sekolah ke fungsi utama sebagai tempat belajar yang aman bagi anak. Ada 7 langkah membangun sekolah ramah anak.

"Pertama, sekolah harus terbuka dan mengakui kalau ada kekerasan di sana. Selama ini pihak sekolah cenderung menutupi kekerasan di lembaganya dari dunia luar," ujar Doni di Kantor LBH, Jakarta, Sabtu (14/3/2015).

Jika sekolah tidak mau terbuka soal kekerasan yang terjadi maka selamanya akan menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Selain itu, lanjut dia, memutus mata rantai kekerasan di sekolah juga tidak lepas dari peran dan komitmen pemimpinnya.

"Dukungan kepemimpinan juga sangat diperlukan. Harus ada komitmen dari kepala sekolah, kepala dinas, bupati, dan seterusnya hingga tingkat kementerian untuk memberantas kekerasan anak," lanjut dia.

Ketiga, pengembangan kapasitas. Artinya sekolah harus tahu bentuk kekerasan, ciri-cirinya, dan penyelesaiannya. "Guru tidak boleh membiarkan siswa melakukan kekerasan maupun tindakan bullying. Kalau ada 1 anak nakal tidak diberi sanksi, maka besok akan ditiru banyak temannya."

Keempat, lanjut Doni, sekolah juga harus mempunyai tim kerja inklusif. Kekerasan di sekolah ini harus ditangani banyak orang. Kelima, persoalan kekerasan anak di sekolah juga harus dianalisa secara kontekstual. "Kita tidak hanya memberikan sanksi dan punishment terhadap pelaku."
 
"Namun juga harus mengkaji faktor lain yang menyebabkan anak melakukan tindak kekerasan. Misalnya, ketika siswa tawuran apakah ada provokasi dari pihak tertentu yang ingin menjatuhkan nama baik lembaga atau kepala sekolah yang menjabat saat itu. Apakah ada muatan politis di baliknya. Itu juga harus dilihat," sambung Doni.

Kemudian yang keenam, pendekatan rasional-ekologis. Harus ada pendekatan secara individu terhadap anak. Membuat siswa yang menjadi korban terbuka dan jujur terhadap apa yang dialaminya. Selain itu juga membuat pelaku memahami jika yang dilakukan salah dan merugikan orang lain serta tidak akan mengulanginya.

"Yang terakhir harus ada evaluasi berkelanjutan. Jangan menunggu lama sampai pertengahan semester atau akhir semester. Harus segera dievaluasi agar tidak menimbulkan korban (kekerasan anak) lagi," pungkas Doni. (Rmn)