Liputan6.com, Semarang - Kreatifitas MK yang suka mengutak-atik barang elektronik berbuah urusan hukum. Pria berumur 41 tahun ini ditangkap polisi lantaran dinilai melanggar aturan tentang perindustrian.
Warga Desa Jatikuwung, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, tersebut memang gemar mendaur ulang komponen bekas komputer menjadi pesawat televisi (TV). Hobinya itu kini harus berakhir setelah polisi menangkapnya.
Kendati tak ditahan, ia bersama 8 orang yang menjadi karyawannya kini kehilangan mata pencaharian. Polisi menilai MK telah memproduksi televisi dari barang bekas dan menjualnya bebas tanpa izin.
"Pasal 106 Undang-undang RI No 7 tahun 2014 tentang perdagangan karena tidak memiliki izin dan juga melanggar Pasal 62 ayat 1 juncto Pasal 8 ayat 1 undang-undang RI Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen," kata Kabid Humas Polda Jawa Tengah Kombes Pol A Liliek Darmanto di Semarang Selasa (17/3/2015).
Selain itu, MK juga dinilai melanggar peraturan tentang perindustrian karena memproduksi dan mengedarkan barang tidak memenuhi SNI, spesifikasi, dan pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang industri. Ancaman pidananya 5 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 3 milyar.
"Hasil analisa sementara, dalam satu hari keuntungannya Rp 450 ribu dan satu bulan bisa mencapai Rp 11,7 juta," kata Liliek.
Saat penggerebekan rumah MK, polisi menemukan usaha perakitan televisi. Selain merakit TV, MK juga membuka usaha reparasi 'Haris Elektronik'.
Selanjutnya
Lantaran berasal dari komponen elektronik bekas, TV buah tangan MKÂ masih menggunakan tabung. Ukuran yang diproduksinya mulai dari 14 inch hingga 17 inch. Dalam pemeriksaan, MK mengaku tabung yang digunakan dari monitor komputer diperoleh dari pengepul barang bekas elektronik.
"Dalam penjualannya, dia tidak pakai merek terkenal tapi membuat sendiri seperti Veloz, Maxreen, Zener, dan Vitron," kata Liliek.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng Kombes Pol Djoko Purbohadijoyo menyebut MK menjalankan usahanya itu sudah 2 tahun lalu. Bisnis itu berawal saat ada orang yang memintanya untuk merakit TV.
Kemudian, ia menitipkan televisi tersebut di toko-toko elektronik. Terakhir saat ditangkap, MK sudah pasif. Ia hanya menunggu order dari toko elektronik.
"Akhir-akhir ini toko-toko yang pesan. Kalau order banyak dia merakit banyak. Keuntungan tidak lebih dari Rp 100 ribu satu televisi, modal satu televisi antara Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu, tabung bekasnya itu beli antara Rp 50 ribu," kata Djoko.
MK adalah sosok contoh kreatif yang tak mau menyerah karena pendidikan formal yang rendah. Meski hanya lulusan SD dan semua dipelajari otodidak, ia mampu mengubah garis hidupnya. Namun kreativitasnya tak disertai pengetahuan tentang hukum.
Advertisement
Selanjutnya
Pembelajaran
Menurut Kriminolog Universitas Diponegoro Semarang, RB Sularto, polisi menindak MK karena ada kepentingan yang ingin dilindungi. Kepentingan pertama adalah hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang, dalam hal ini televisi.
"Kedua adalah menjaga kelangsungan usaha produksi barang dengan menjaga dan meningkatkan kualitas. Jadi itulah alasan polisi melakukan penyidikan atas tindak pidana pembuatan barang yang tidak ber-SNI," kata Sularto.
Sularto berharap penindakan itu merupakan bagian dari edukasi masyarakat. Harapan itu disebabkan karena amanat UU 3/2014 agar Menteri melakukan pembinaan atas Standardisasi Industri.
"Secara normatif memang pelaku usaha itu memang telah melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana. Namun, penerapan ketentuan pidana UU 3/2014 oleh polisi seharusnya tidak kaku," kata Sularto.
Sularto menambahkan, jika sudah terlanjur ditindak, pelaku usaha bisa saja tak perlu ditahan. Sosialisasi dan edukasi kesadaran hukum bisa melalui putusan pengadilan. (Ali/Yus)