Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham)Â Denny Indrayana lagi-lagi enggan menjelaskan mengapa dirinya tetap ngotot menjalankan program Payment Gateway atau pembayaran paspor secara elektronik di Kementerian Hukum dan HAM. Padahal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Kemenkumham memperkuat dasar hukum program tersebut.
"Tadi saya sudah jelaskan. Penjelasan saya hanya itu," ucap Denny usai diperiksa penyidik Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, (2/4/2015) malam.
Denny yang diperiksa 8 jam lebih dengan 34 pertanyaan mengaku hanya mengklarifikasi dokumen yang telah dikeluarkan Kemenkumham. Di antaranya undangan pertemuan dan proses dalam proyek tersebut.
"Utamanya pembayarannya lebih mudah cepat murah tanpa pungli dan calo," klaim Denny yang menjalani pemeriksaan kedua dalam statusnya sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Kementerian Hukum dan HAM mendapatkan rekomendasi setelah mengadakan pertemuan dengan KPK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bank Indonesia, Kementerian Pendayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta PT KAI. Dalam rekomendasinya, KPK meminta Kementerian Hukum dan HAM berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan memperkuat dasar hukum.
Denny mengatakan pertemuan tersebut dilakukan pada 9 Juni 2014. Sementara program tersebut berjalan dari Juli sampai Oktober 2014. Namun Denny tidak menjawab pertanyaan apakah rekomendasi yang diberikan komisi antirasuah secara lisan atau tertulis.
"Oke cukup ya," ucap Denny sembari berlalu.
Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum Denny, Heru Widodo, juga enggan berkomentar banyak soal pemeriksaan perkara yang menjerat kaliennya itu. Heru meminta wartawan untuk bersabar. Hal tersebut diungkapkan Heru lantaran kliennya masih menjalani proses pemeriksaan.
"Nanti akan kami jelaskan," pungkas Heru.
Denny Indrayana ditetapkan tersangka oleh penyidik Direktorat Tipikor Bareskrim Polri. Denny diduga kuat berperan besar dalam menjalankan sistem Payment Gateway di Kementerian Hukum dan HAM pada 2014 lalu itu.
Bekas staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY itu juga menunjuk langsung 2 vendor, yakni PT Nusa Satu Inti Artha (Doku) dan, PT Telkom Indonesia melalui anak perusahaannya PT Finnet Indonesia, untuk menangani program tersebut.
Program pembayaran paspor secara elektronik ini beroperasi sejak Juli hingga Oktober 2014. Selama program ini berjalan, ada uang sebesar Rp 32 miliar yang diduga tidak disetor langsung ke kas negara. Uang tersebut sempat mengendap satu hari di bank penampung. Penyidik juga menemukan adanya uang sekitar Rp 605 juta yang diduga justru masuk ke rekening kedua vendor tersebut.
Atas sangkaan perbuatannya, Denny Indrayana dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama. (Ans)