Sukses

Denny Indrayana Lega Tak Ditahan

Sebelumnya, penyidik Bareskrim Polri memeriksa Denny Indrayana selama kurang lebih 8 jam.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana usai menjalani pemeriksaan kedua sebagai tersangka kasus dugaan korupsi program Payment Gateway atau pembayaran paspor secara elektronik di Kementerian Hukum dan HAM tahun 2014. Denny yang diperiksa selama kurang lebih 8 jam itu akhirnya tak ditahan penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Denny pun mengaku lega tak ditahan.

"Sebagaimana tadi di awal, kami berdoa ini hari baik, malam Jumat, semoga di malam yang baik ini penjelasan saya bisa memperjelas persoalan ini," ujar Denny usai diperiksa di Kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (2/4/2015) malam.

Selain itu Denny juga ngotot dengan menegaskan bahwa proyek payment gateway itu tidak merugikan negara. Dan dia mengaku sudah menjelaskan kepada penyidik mengenai payment gateway atau pembayaran paspor secara elektronik.

"Harapan kami bisa membantu mempertegas ikhtiar kami melakukan inovasi melakukan pelayanan publik agar lebih murah, cepat, tanpa pungli tanpa calo," ucap Denny.

Sementara kuasa hukum Denny, Heru Widodo menambahkan bahwa kliennya berhasil menjawab 34 pertanyaan dari penyidik. Dalam pertanyaan itu, kliennya juga mengklarifikasi dokumen-dokumen yang dikeluarkan Menkumham terkait dengan undangan pertemuan dan lainnya.

"Sudah dijelaskan mana yang Wamen tahu dan Wamen tidak tahu. Yang jelas Prof Denny sudah mengklarifikasi, menjelaskan sepanjang yang Prof Denny tahu dan alami. Yang tidak tahu, ya tidak tahu," tandas Heru.

Denny Indrayana ditetapkan tersangka oleh penyidik Direktorat Tipikor Bareskrim Polri. Denny diduga kuat berperan besar dalam menjalankan sistem Payment Gateway di Kementerian Hukum dan HAM pada 2014 lalu itu.

Bekas staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY itu juga menunjuk langsung 2 vendor, yakni PT Nusa Satu Inti Artha (Doku) dan, PT Telkom Indonesia melalui anak perusahaannya PT Finnet Indonesia, untuk menangani program tersebut.

Program pembayaran paspor secara elektronik ini beroperasi sejak Juli hingga Oktober 2014. Selama program ini berjalan, ada uang sebesar Rp 32 miliar yang diduga tidak disetor langsung ke kas negara. Uang tersebut sempat mengendap satu hari di bank penampung. Penyidik juga menemukan adanya uang sekitar Rp 605 juta yang diduga justru masuk ke rekening kedua vendor tersebut.

Atas sangkaan perbuatannya, Denny Indrayana dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama. (Ans)