Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dinilai sudah memahami risiko reklamasi atau pembuatan daratan baru di pantai utara Jakarta. Pemprov juga sudah memiliki kiat meminimalisir dampak negatif yang mungkin terjadi selama proses pemulihan kawasan pinggir Ibukota tersebut.
"Pemerintah DKI sangat memahami, ada beberapa PLTU di daerah utara. Namun, PLTU Muara Karang merupakan yang terbesar. Di samping itu, PLN juga memiliki kabel bawah laut. Di dalam studi-studi dan kajian-kajian mengenai teknik dan perekayasaan reklamasi, hal itu sudah dipertimbangkan," ujar Pakar Tata Kota dari Institut Teknologi Bandung Hesti D Nawangsidi di Jakarta Utara, Minggu (5/4/2015).
Keberadaan pipa dan kabel di bawah laut, kata Hesti, menjadi bahan evaluasi yang juga digodok matang Pemprov DKI. Sehingga dalam re-planning tercetuslah pembuatan pulau-pulau yang sengaja dibuat terpisah, dan dilengkapi kanal dalam jarak yang sudah diperhitungkan.
"Itu semua dituliskan dalam izin prinsip gubernur, apa yang harus diperhatikan untuk setiap pulau, karena setiap pulaunya berbeda. Jadi DKI sangat memperhatikan hal itu," jelas Hesti.
Terkait struktur lapisan tanah, Hesti menjelaskan, tanah menjadi dasar utama bidang keteknikan dalam reklamasi. Karena, sebelum dimulai, perlu diadakan pengujian geoteknik soil atau pengujian sampel tanah yang sangat ketat, untuk menjamin pulaunya tidak akan tenggelam.
"Dari situ bisa dirancang teknik mereklamasi yang tidak merusak lingkungan sekitarnya dan membuat pulau itu aman. Misalnya, mengeruk lapisan tanah yang lunak di dasar laut dan digantikan dengan pasir laut, sehingga dia menjadi lebih kuat. Dengan begitu, dia bisa menjamin nantinya lahan reklamasi tidak akan mengalami penurunan secara drastis," jelas dia.
Hesti mengatakan, dampak reklamasi yang diperkirakan akan berpengaruh ke seluruh persendian lingkungan alam sekitar, semisal dari aspek hidroceanografi, hidrodinamika dan secara sosial ekonomi menjadi salah satu alasan pemerintah memperketat prosedur-prosedur reklamasi.
"Karena di sana ada pusat kegiatan masyarakat perikanan. Kemudian juga secara hayati, karena di sana ada suaka margasatwa angke, kemudian di bagian barat ada bagian-bagian yang masih memiliki budidaya mangrove," kata dia.
Hesti mengaku selalu ikut memonitoring perkembangan proyek reklamasi ini secara berkala, yaitu setiap 3 bulan sekali. Pengecekan progresivitas reklamasi, termasuk dalam hal perubahan warna air menjadi keruh dan rusaknya hutan mangrove di sepanjang bibir pantai.
"Tentang perubahan air laut yang menjadi keruh nantinya kalau reklamasi telah dibangun. Hal itu tidak akan terjadi karena pada saat monitoring juga dilakukan pengukuran tingkat kekeruhan air laut. Tempat seperti hutan lindung mangrove di selatan Angke, juga tidak mungkin dirusak. Karena penting dan dilindungi undang-undang," tandas Hesti.
Reklamasi pantai utara Jakarta kerap dikaitkan dengan banjir di Jakarta belakangan ini. Salah satunya reklamasi pantai yang dilakukan beberapa pengembang di utara Jakarta. Tapi hal ini dibantah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Nggak ada hubungan, reklamasi itu sudah ditentuin. Jadi Perpres mengatur pada 1995 reklamasi (sekarang Perpres Nomor 122 Tahun 2012) sampai bentuk pulau, semua diatur oleh Perpres, yang mengatur semua kementerian sebetulnya," kata dia di Balaikota, Jakarta, Kamis 12 Februari 2015.
Ahok mengatakan, dalam Perpres tersebut semua hal tentang reklamasi sudah diatur. Termasuk jarak antara pulau dan daratan, misalnya harus minimal 300 meter. (Rmn)
Pakar Tata Kota: Pemprov DKI Sudah Antisipasi Dampak Reklamasi
Keberadaan pipa dan kabel di bawah laut, menjadi bahan evaluasi yang juga digodok matang Pemprov DKI.
Advertisement