Sukses

Pengamat Nilai Irjen Teddy Minahasa Harusnya Bebas dari Tuntutan Mati

Pengamat menyebut ada rangkaian tak utuh dalam perkara peredaran narkoba jenis sabu yang menjerat Irjen Teddy Minahasa

Liputan6.com, Berau - Irjen Teddy Minahasa dituntut hukuman mati oleh tim jaksa penuntut Umum (JPU) dalam kasus peredaran narkotika. Mantan Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) itu dianggap sebagai pelaku utama peredaran narkoba jenis sabu seberat 5 kilogram dari Sumbar ke Jakarta.
 
 
Pengamat Kepolisian sekaligus Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Alfons Loemau menilai tuntutan mati terhadap Teddy Minahasa tidak sesuai dengan fakta persidangan. Dia menilai Teddy seharusnya terbebas dari tuntutan mati. Pasalnya, kata dia, tidak ada dasar hubungan kausalitas atau sebab akibat.
 
 
Apalagi, kata Alfons, tak ada hubungan logis yang memperlihatkan secara jelas peran Teddy Minahasa, selama persidangan berlangsung. Di mana, dalam sidang lebih banyak pengungkapan dari keterangan Linda Pudjiastuti dan mantan Kapolres Bukittinggi Dody Prawiranegara.
 
 
"Jadi kalau kita dengar rangkaian ini kan rangkaian lebih banyak diceritakan oleh Linda Pudjiastuti dan Dody untuk menunjuk ke Teddy Minahasa. Persoalannya apakah seperti itu bukti-bukti yang terkait dengan itu?,” ujar Alfons dalam keterangannya, Minggu (9/4/2023).
 
 
Alfons menilai banyak kejanggalan dari pengakuan Linda yang mengklaim pernah diajak Teddy Minahasa mengunjungi pabrik sabu di Taiwan. Sebab, berdasarkan data dan penelusuran Alfons, tidak ada lokasi di Taiwan yang menunjukkan sebagai tempat produsen narkotika.
 
 
“Kalau kita dengar Linda punya cerita bahwa berangkat ke Taiwan beberapa kali sama Teddy Minahasa ini kok cerita, cerita mengarang, bohong kalau menurut saya,” kata Alfons.
 
 
Alfons menilai masih ada rangkaian yang terputus dalam perkara ini. Rangkaian peristiwa tersebut, dianalisis Alfons, tidak terungkap di dalam persidangan. Oleh karenanya Alfons berpandangan bahwa rangkaian peristiwa dalam kasus ini tidak utuh.
 
 
"Jadi antara rangkaian cerita ada yang tidak jalan kalau dari garis komando. Jadi ada lubang-lubang yang kita tidak lihat di dalam persidangan," ungkap Alfons.
 
 
 

 

 
2 dari 3 halaman

Teddy Minahasa Seperti Bola Golf

Menurutnya, kuasa hukum Irjen Teddy Minahasa, Hotman Paris Hutapea seharusnya bisa mendalami celah-celah kosong dari keterangan para saksi maupun tersangka. Hal itu, dibutuhkan untuk mematahkan alibi yang disampaikan Dody maupun Linda.
 
 
"Semuanya kan seolah-olah menaruh Teddy seperti bola golf untuk dipentung. Sedangkan disisi lain kalau kita lihat Linda jadi sentral kan. Linda ini yang menceritakan. Dia itu simpul informasi karena dia cepunya kan,” ujarnya.
 
 
Sementara itu, mantan Kabareskrim Anang Iskandar menilai penjatuhan hukuman mati terhadap Teddy Minahasa tidak tepat. Menurutnya, hakim harus menggali aturan dasar narkotika di Indonesia berdasarkan pasal 36 UU no 8 tahun 1976. 
 
 
“Kalau tuntutannya sudah tepat, tetapi penjatuhan hukumannya yang tidak tepat kalau dijatuhi hukuman mati,” kata Anang dikonfirmasi terpisah.
 
 
“Dimana sanksi bagi pelaku kejahatan narkotika pasal 36 menyatakan bahwa sanksinya berupa hukuman badan, pengekangan kebebasan atau pidana penjara bukan pidana mati meskipun diancam pidana mati,” imbuhnya.
 
 
Lebih lanjut, Anang menilai bahwa kasus Teddy Minahasa tidak bisa disamakan dengan kasus pembunuhan berencana terhadap Novriansyah Yosua Hutabarat yang dilakukan Ferdy Sambo.
 
 
"Beda dengan hukuman mati yang dijatuhkan terhadap perkara Sambo. Perkara Sambo masuk pidana umum sanksinya berdasarkan pasal 10 KUHP," pungkasnya.
 
3 dari 3 halaman

Kasus Teddy Minahasa Prematur

Di sisi lain, Praktisi hukum Erwin Kallo berpendapat sah-sah saja bila jaksa menuntut hukuman mati terhadap Teddy Minahasa jika merujuk pasal yang didakwakan. Hanya saja, ditekankan Erwin, kasus Irjen Teddy Minahasa tergolong prematur. Sehingga, tidak tepat jika kasus Teddy Minahasa disidangkan karena alat buktinya tidak sah dan kuat.
 
 
"Jadi menurut pandangan saya, jangankan tuntutannya hukuman mati, kasus itu disidangkan saja prematur. Lebih parah lagi, itu seharusnya tidak P21, itu prematur, prematurnya begini, harusnya itu, tidak P21, tapi jaksa melakukan P19, mengembalikan berkas ke penyidik untuk dilengkapi atau diperkuat," kata Erwin.
 
 
Erwin menyatakan, seharusnya sejak awal tim jaksa menolak untuk melanjutkan kasus tersebut sebelum adanya bukti yang sahih dan kuat. Tim jaksa, kata Erwin, setidaknya bisa meminta tim penyidik untuk melakukan uji digital forensik terhadap bukti yang ada saat ini agar sahih.
 
 
"Karena bukti yang ditampilkan adalah chat yang di foto. Ya bagaimana itu kan tidak sah alat bukti itu," ucapnya.
 
 
Lebih lanjut, Erwin menilai jaksa sedari awal seharusnya memberi petunjuk kepada penyidik untuk memperkuat bukti pengakuan. Sebab, ia memperhatikan bahwa bukti pengakuan hanya berdasarkan keterangan satu orang saja. Seharusnya, pengakuan tersebut diperkuat oleh minimal dua saksi lain.
 
 
"Jadi misalnya begini, si Dodi mengatakan saya disuruh oleh TM, itu menjadi kuat apabila ada dua orang yang mengatakan 'oh iya saya juga dengar TM memang menyuruh waktu makan malam' nah itu baru pengakuan sah," kata Erwin.