Liputan6.com, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau kepada ulama-ulama di Indonesia untuk tidak memberi pernyataan atau tindakan yang bernuansa provokatif yang bisa memancing kekeruhan dalam kerukunan umat beragama dan keyakinan di Indonesia, terutama kepada para ulama yang punya kewajiban melakukan dakwah.
"Saya berharap, masing-masing ulama yang punya kewajiban dakwah menghormati entitas masyarakat lainnya. Samalah dengan undang-undang kita, kita tidak boleh menodai agama lain, ‎begitu juga kita tidak boleh mencela keyakinan masyarakat lain," ujar Ketua ‎Komisi Dakwah MUI, Muhammad Cholil Nafis di kediaman Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa Ibrahim Al-Mubarak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/4/2015).
Nafis juga mengimbau agar para ulama di Indonesia bisa saling memahami satu sama lainnya. Para ulama juga diminta bisa menahan diri untuk tidak saling menuduh sesama umat beragama, terutama di antara umat Islam itu sendiri.
"Karena persatuan adalah bagian dari keagamaan kita," ujar dosen sekaligus ‎Sekretaris Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Pascasarjana Universitas Indonesia ini.‎
Nafis menekankan, bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan dalam Negara Kesatuan ‎Republik Indonesia (NKRI). Faham atau ideologi di Indonesia disebutnya bisa hidup, tetapi dengan catatan sepanjang faham atau ideologi itu tidak mengancam NKRI.
Karena itu, lanjut Nafis, siapa pun yang mengancam NKRI, maka yang bersangkutan adalah musuh bersama. Apakah itu kaum Syiah atau Sunni, atau kaum apa pun yang ada di Indonesia, menurut Nafis, adalah satu kesatuan bangsa Indonesia dalam hidup bersama dan berdampingan.‎
"Maka selagi teman-teman di Syiah, teman-teman di Sunni, dan teman-teman di ormas tidak melakukan peperangan terhadap konstitusi kita, terhadap Pancasila kita, Insya Allah kita bisa hidup berdampingan," ujar Nafis.‎
Untuk itu, Nafis meminta agar konflik yang tengah terjadi di Yaman ini harus dilihat dan didasari dengan semangat untuk perdamaian. Pun begitu jika Indonesia ingin membantu ke Yaman, juga harus dilandasi dengan semangat perdamaian tanpa memihak.
"Yang di Yaman ini harus didasari dengan semangat untuk islah. Jadi kalau kita ingin bantu, bukan bantu salah satu pihak untuk menghancurkan pihak yang lain, tetapi pada satu tujuan, yaitu membuat perdamaian, mengembalikan Yaman pada konstitusinya, mengembalikan Yaman untuk masyarakat Yaman sendiri," kata Nafis.
Yaman hingga kini terus bergejolak setelah kelompok milisi Houthi, yang berjuang untuk mendapatkan peningkatan otonomi di Provinsi Saada, melancarkan pemberontakan secara berkala sejak 2004. Aksi mereka yang paling signifikan terjadi sejak Juli 2014.
Puncaknya pada September 2014, ketika mereka menguasai Ibukota Sanaa, menyandera staf kepresidenan, dan menembaki kediaman Presiden Yaman Abdu Rabuh Mansour Hadi. Kondisi itu yang kemudian membuat Arab Saudi dan sekutunya di kawasan Teluk turun tangan melakukan operasi militer ke Yaman.‎ (Riz/Ans)
‎
MUI Imbau Ulama Tak Berkata Provokatif Terkait Konflik Yaman
Nafis juga mengimbau agar para ulama di Indonesia bisa saling memahami satu sama lainnya.
Advertisement