Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan akan terus memproses kasus hukum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad.
Bambang pun menyambut baik niat Kapolri yang baru dialantik Presiden Joko Widodo pada Jumat 17 April itu. Menurut dia, hal itu lebih baik daripada menunda kasus tersebut.
"Saya akan hadapi. Kalau kasus itu dilanjutkan itu lebih baik, kalau tidak ada dasarnya (penetapan tersangka) mohon juga diputuskan. Karena jika ditunda itu jauh dari ketidakadilan," ujar Bambang di kantor LBH Jakarta, Minggu (19/4/2015).
Bambang berharap tidak ada lagi proses kriminalisasi atau praktik-pratik elite penguasa menggunakan kekuatan hukum untuk menakut-nakuti.
"Saya berharap bahwa tidak ada boleh lagi ada kekerasan dan kriminalisasi yang menyebabkan atmosfir fear atau ketakutan. Di mana masyarakat selalu dibuat takut," kata dia.
Bambang melihat ada kekuatan walau pun tidak parsial dari masyarakat sipil, baik dari kalangan mahasiswa atau kiai. Bahkan perempuan bergerak dan mencoba menentang kekerasan atau kriminalisasi itu.
Bambang juga berharap Jenderal Badrodin bisa meredam hal-hal tersebut. "Dengan Kapolri baru, hal-hal yang menciptakan ketakutan di tengah masyarakat seperti ini bisa diredam," pungkas Bambang.
Mematahkan Borgol
Mematahkan Borgol
Dalam kesempatan yang sama, Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (Taktis) mematahkan borgol, sebagai simbol menolak kriminalisasi yang kian marak terjadi belakangan ini.
Borgol replika yang terbuat dari gabus itu, sebelum dipatahkan beramai-ramai dikalungkan di leher Bambang Widjojanto dan sejumlah pegiat antikorupsi dan HAM.
Direktur LBH Jakarta Febi Yonesta mengatakan, setelah aksi penangkapan dan kriminalisasi Bambang Widjojanto pada 23 Januari 2015, kriminalisasi mengalir bagai air bah yang melanda kemana-mana.
Menurut Febi, hingga saat ini kasus kriminalisasi yang sama dialami Bambang Widjojanto sudah mencapai 13 kasus, dengan jumlah orang yang dikriminalisasi sebanyak 42 orang.
"Karena itu dalam dengan simbol borgol yang telah dipatahkan kita sebagai tim menolak terjadinya proses kriminalisasi," ujar Febi.
Febi meminta agar Kapolri segera mengambil langkah-langkah konkret, untuk menghentikan praktik kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan kasus kriminalisasi lainnya.
"Memulihkan komunikasi dan kerja sama dengan KPK dalam pemberantasan korupsi. Selain itu Kapolri segera menghidupkan kembali momentum reformasi di dalam jajaran Polri dan memulihan kepercayan publik melalui langkah nyata reformasi," jelas dia.
Febi juga meminta kepada Kapolri, agar seharusnya mulai menyadari bahwa citra negara keseluruhan sangat tergantung dari kredibilitas hukum dan penegakannya.
"Suka atau tidak, kepolisian adalah wajah pertama yang ditemui pencari keadilan. Karena itu wujudkan kepolisian yang bebas dari keberpihakan dan yang dapat dipercaya," tutup Febi.
Advertisement
Perlu Hak Imunitas Terbatas
Perlu Hak Imunitas Terbatas
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga mengatakan, demi menjaga agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap para pegiat yang bersentuhan dengan hukum, maka diperlukan hak imunitas.
Menurut Sandra, para pimpinan lembaga seperti di Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komnas HAM belum ada hak imunitas, kecuali Ombudsman.
"Ombudsman punya hak imunitas, komisioner Komnas HAM, Pimpinan KPK dan KY belum ada. Padahal posisi kami sering dikriminalisasi. Sebagai contoh, dalam kerja Komnas HAM kita sering memberikan rekomendasi atas dugaan melanggar HAM tapi terkena pencemaran nama baik," ujar Sandra di kantor LBH Jakarta, Minggu (19/4/2015).
Sandra mengatakan, hak imunitas terbatas terebut dapat berfungsi sebagai kontrol agar kriminalisasi tidak terjadi lagi. Hal ini juga menjadi salah satu bentuk batasan kewenangan Polri.
"Dalam negara hukum semua pihak dalam pemerintah dalam menjalankan tugasnya harus ada batasan, ada dasar hukum. Di negara hukum yang maju, semua tindakan kepolisian ada batasnya. Karena itu, (hak imunitas) ini bisa jadi batasan," jelas Sandra.
Meski demikian, menurut Sandra, hak imunitas terbatas ini bukan semata-mata membuat para pemangku jabatan bisa terbebas dari hukuman. "Hak imunitas terbatas bukan artinya tidak dipersalahkan. Misalnya ada kesalahan masa lalu, bisa diproses setelah tidak lagi menjabat."
"Bukan hanya itu, jika dinilai ada yang melanggar melampaui kewenangan, misalnya korupsi bisa ditindak atau melakukan pembunuhan, maka hak imunitas terbatas tersebut tidak berlaku. Tapi semua ini barulah gagasan," tandas Sandra.
Pada awal 2015 semua pimpinan KPK dilaporkan ke kepolisian. Ketua KPK Abraham Samad dilaporkan atas dugaan pertemuannya dengan elite PDI-P pada Pilpres 2014 lalu. Dia disebut-sebut ingin dipasangkan sebagai cawapres mendampingi Joko Widodo atau Jokowi. Dia juga dilaporkan ke Bareskrim Polri dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja juga dilaporkan ke polisi terkait dugaan tindak kriminal atas perampokan perusahaan dan kepemilikan saham secara ilegal di PT Desy Timber di Berau, Kalimantan Timur.
Sementara Wakil Ketua KPK Zulkarnain juga dilaporkan ke polisi atas dugaan suap kasus Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2EM) saat dia menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim pada 2010 lalu.
Mereka membantah semua tudian itu. Namun pada akhirnya Samad dan Bambang harus nonaktif dari jabatannya selama menjalani proses hukum. Kini KPK dipimpin Pelaksana Tugas (Plt) Taufiequrachman Ruki, Johan Budi SP, Adnan Pandu Praja, Indriyanto Seno Adji, dan Zulkarnain. (Rmn)