Sukses

6 Kisah Pahlawan Nasional Perempuan Sehebat Kartini

Ada sejumlah perempuan hebat lain seperti Kartini. Mereka melawan ketidakadilan dan menyulut insipirasi.

Liputan6.com, Jakarta - Raden Ajeng Kartini namanya. Pemikirannya membawa terang bagi hidup wanita-wanita di zamannya dan dampaknya terasa hingga kini.

Putri Bupati Jepara yang lahir 21 April 1879 itu mendobrak tembok pembatas hak untuk berpendidikan antar-gender, wanita dan pria.

Meski hanya bisa merasakan bangku sekolah sampai umur 12 tahun, karena pada saat itu wanita tidak boleh berpendidikan lebih tinggi dari pria, Kartini tak berhenti. Dia mengisi hari-harinya dengan menuliskan surat berisi pemikiran-pemikirannya kepada teman-temannya di Belanda.

Surat-surat itulah yang dikumpulkan lalu diterbitkan dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Hidupnya menginspirasi wanita-wanita lainnya dan mengubah pandangan terhadap perempuan pribumi.

Dan karena itulah masyarakat Indonesia mengenang hari kelahiran Kartini pada 21 April setiap tahunnya.

Kartini adalah pahlawan. Namanya diakui sebagai pahlawan nasional lewat SK Nomor 108 Tahun 1964. Namun dia tak sendirian. Masih ada sederet pahlawan nasional wanita lainnya yang juga menorehkan tinta perjuangan bagi masa depan negeri ini.

Di antara belasan nama pahlawan nasional wanita yang namanya tercatat oleh Kementerian Sosial, berikut 6 sosok selain Raden Ajeng Kartini yang dihimpun Liputan6.com, Senin (20/4/2015):

Selanjutnya: Tjut Nyak Dhien dan Cerita Cintanya...

2 dari 7 halaman

Cut Nyak Dhien (1850-1908)

Cut Nyak Dhien (1850-1908)

Cut Nyak Dhien berasal dari keluarga bangsawan yang agamis di Aceh. Pada usianya yang ke-12 tahun dia sudah menjalani bahtera rumah tangga bersama Teuku Ibrahim Lamnga.

Kebenciannya pada pasukan kolonial Belanda mulai timbul semenjak Belanda menyerang Aceh untuk pertama kalinya pada 26 Maret 1873. Kemarahan Cut Nyak Dhien makin tersulut saat sang suami gugur di medan perang melawan Belanda.

Dia pun bersumpah akan menikah dengan pria yang bersedia membantunya membalaskan kematian sang suami. Selama menjanda, Cut Nyak Dhien memimpin sendiri pasukannya. Hingga 2 tahun setelah kematian Teuku Ibrahim Lamnga, dia bertemu Teuku Umar yang juga merupakan pahlawan nasional. Keduanya pun menikah.

Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bergerilya melawan penjajahan Belanda. Hingga akhirnya Teuku Umar wafat, Cut Nyak Dhien yang harus menjanda 2 kali tetap berjuang.

Menjelang akhir hidupnya, Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. 6 November 1908 dia mengembuskan napas terakhirnya di kota itu. Atas perjuangannya, nama Cut Nyak Dhien disahkan sebagai pahlawan nasional lewat SK Nomor 106 Tahun 1964.

Selanjutnya: Tjut Meutia dan Rencong di Tangan...

3 dari 7 halaman

Cut Meutia (1870-1910)

Cut Meutia (1870-1910)

Cut Meutia adalah sosok lain wanita pemberani yang dimiliki Aceh. Lahir di Perlak, Aceh, pada 1870.

Dia tumbuh dalam suasana perang. Bersama suaminya, Teuku Cik Tunong, ia memimpin perang di daerah Pasai. Untuk menghadapi pasukan Belanda yang memiliki persenjataan lengkap, pasangan suami-istri itu menggunakan taktik gerilya.

Perlawanan mereka pun menimbulkan kerugian yang tak sedikit di pihak Belanda. Namun nahas, Teuku Cik Tunong ditangkap pasukan Belanda dan dijatuhi hukuman tembak.

Beberapa lama setelah kematian suaminya, Cut Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru yang merupakan orang kepercayaan Teuku Cik Tunong. Keduanya lalu kembali melanjutkan perjuangan mereka.

Namun semakin lama mereka makin terdesak. Hingga akhirnya Pang Nangru tewas di tangan pasukan Belanda. Namun Cut Meutia yang kembali kehilangan suami pantang mundur. Meskipun diminta untuk menyerahkan diri. Dia hidup berpindah-pindah dengan anaknya di belantara rimba.

Suatu hari, persembunyiannya terungkap. Meski tersudut dia tak menyerah. Dengan sebilah rencong di tangan, 24 Oktober 1910, Cut Meutia mencoba melakukan perlawanan. Namun tak cukup untuk membendung lesatan peluru yang ditembakkan tentara Belanda. Dia pun gugur.

Atas jasa-jasanya, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada Cut Meutia lewat SK Nomor 107 Tahun 1964.

Selanjutnya: Cahaya Dewi Sartika...

4 dari 7 halaman

Raden Dewi Sartika (1884-1947)

Raden Dewi Sartika (1884-1947)

Raden Dewi Sartika membawa cahaya pendidikan bagi kaumnya. Hidupnya dihabiskan untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan, teruma bagi perempuan.

Lahir di Cicalengka, Jawa Barat, 4 Desember 1884. Bakat sebagai seorang pendidik muncul sejak dirinya masih belia. Bila ada waktu senggang, dia menyempatkan diri untuk mengajari baca-tulis anak-anak pembantu di lingkungan kepatihan.

Sartikan ingin perempuan-perempuan pribumi mandiri dan terampil tanpa bergantung supaya bisa menjadi tiang keluarga yang kokoh.

Dia lalu mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan yang diberi nama Sekolah Istri pada 1904. Saat didirikan, sekolah itu baru berisi dua kelas dengan jumlah murid pertamanya sekitar 20 orang. Di sana para murid perempuan diajari baca-tulis, berhitung, menjahit, merenda, menyulam, dan pelajaran agama.

Dia harus membanting tulang sendiri untuk menghidupi sekolahnya. Karena sang ayah, Raden Somanegara, dibuang ke Ternate setelah melawan Pemerintah Belanda. Namun dia tak patah arang.

Dewi lalu menikah dengan Kanduruan Agah Suriawinata pada 1906. Suaminya adalah sosok yang memiliki visi-misi yang sama dalam memperjuangkan pendidikan. Pada 1910, nama Sekolah Istri berganti nama menjadi Sekolah Kautamaan Isteri. Seiring waktu, banyak yang mendirikan cabang sekolah itu.

Atas jasa-jasanya, Dewi Sartika dinyatakan sebagai pahlawan nasional lewat SK Nomor 252 Tahun 1966.

Selanjutnya: Si Pemberani Martha Christina Tiahahu...

5 dari 7 halaman

Martha Christina Tiahahu (1800-1818)

Martha Christina Tiahahu (1800-1818)

Martha Christina Tiahahu bertempur melawan Belanda demi mempertahankan tanah Maluku yang kaya hasil bumi. Perempuan hebat ini lahir di Nusa Laut, Maluku, pada 4 Januari 1800.

Dia dibesarkan seorang diri oleh ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, kawan baik dari Thomas Mattulessi atau Kapitan Pattimura.

Sejak kecil, Martha sering mengikuti ayahnya. Pada usia ke-17 tahun, dia ikut dalam pertempuran melawan Belanda di Desa Ouw, Ullath, Pulau Saparua, hanya dengan bekal bambu runcing dan ikat kepala.

Kehadirannya cukup membuat Belanda kerepotan. Namun karena kalah jumlah, pasukannya pun dipukul mundur Belanda. Ayahnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Namun Martha terus bergerilya hingga dia ditangkap bersama pejuang lain dan diasingkan ke Pulau Jawa. Meski sudah ditangkap, Martha terus berontak dengan melakukan aksi mogok makan. Dia pun jatuh sakit dalam perjalanan. Jasadnya lalu dimakamkan di Laut Banda.

Martha Christina Tiahahu ditetapkan sebagai pahlawan nasional lewat SK Nomor 012/TK/1969.

Selanjutnya: Si Cerdas HR Rasuna Said...

6 dari 7 halaman

HR Rasuna Said (1910-1965)

HR Rasuna Said (1910-1965)

Tak cuma lewat pendidikan dan medan perang. Perjuangan juga bisa dilakukan lewat politik. Seperti yang dilakukan Hajjah Rangkayo Rasuna Said.

Perempuan cerdas dan kritis ini memulai perjuangannya membela kaum perempuan dengan bergabung bersama Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang. Dia lalu melanjutkan perjuangannya dengan menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.

HR Rasuna Said juga dikenal sebagai orator yang mengecam kekejaman Belanda. Pada 1932, dia pun ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Belanda.

Setelah proklamasi kemerdekaan, dia menjadi Dewan Perwakilan Sumatera mewakili Sumatera Barat. Dia juga terpilih sebagai anggota DPR Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 1959 HR Rasuna Said kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Sebagai penghormatan, nama Hajjah Rangkayo Rasuna Said diabadikan menjadi nama jalan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia juga diberikan gelar pahlawan nasional lewat SK Nomor 084/TK/1974.

Selanjutnya: Cinta Nyai Ahmad Dahlan...

7 dari 7 halaman

Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946)

Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946)

Nyai Ahmad Dahlan dilahirkan dengan nama Siti Walidah. Dia berasal dari keluarga pemuka agama Islam dan penghulu resmi Keraton Yogyakarta, Kyai Haji Fadhil.

Karena harus tinggal di rumah, dia mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya dan tak pernah mengenyam pendidikan umum. Hingga akhirnya Siti Walidah menikah dengan sepupunya, yang menjadi pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.

Keterlibatan Nyai Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah dimulai saat dirinya ikut merintis kelompok pengajian wanita Sopo Tresno (Siapa Cinta) pada 1914. Dalam pengajian itu, suami-istri tersebut ikut menyampaikan kajian-kajian agama secara bergantian.

Nyai Ahmad Dahlan lalu mengembangkan Sopo Tresno menjadi organisasi kewanitaan berbasis agama Islam, Aisyah. Namun setelah Aisyah mapan, sang Nyai memilih untuk membuka asrama dan sekolah putri. Dia juga mengadakan kursus agama Islam dan pemberantasan buta huruf bagi kaum perempuan.

Atas jasanya terhadap agama Islam dan kaum perempuan, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Nyai Ahmad Dahlan dengan SK Nomor 042/TK/1971. (Yus)