Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan, pandangan yang menyatakan menggantungkan permasalahan dunia kepada World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah pandangan usang.
Pernyataan Jokowi yang disampaikan dalam pidato Konferensi Asia-Afrika itu mendapat apresiasi dari anggota Komisi I DPR, Sukamta. Dia mencontohkan, negara Tiongkok juga sudah bisa mendirikan bank AIIB, yang mampu bersaing dengan bank-bank dunia tersebut.
"Saya setuju dengan Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa menggantungkan permasalahan dunia kepada World Bank, IMF, dan PBB adalah pandangan usang. Betul sekali itu," ujar Sukamta di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (23/4/2015).
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)Â itu berharap KAA ke-60 yang berlangsung pada 19 sampai 24 April itu, menghasikan sebuah pencapaian baru tentang arah pembangunan dan peradaban global.
"Kini polarisasi peradaban global semakin beragam, menjadi multipolar. Barat tidak lagi menjadi satu-satunya penguasa. Kalau meminjam istilah Kishore Mahbubani--tokoh akademisi dan mantan diplomat Singapura, sekarang ada hemisfer (otak) baru dunia, yaitu Asia. Dominasi yang ada di Barat sekarang sudah mulai bergeser ke Asia," tutur Sukamta.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun mendukung Jokowi untuk menggunakan kata-kata keras dan bertenaga menghadapi ketidakadilan.
Dia menilai sikap Jokowi yang ingin mencontoh Bung Karno ini akan bagus untuk Indonesia karena bangsa ini memerlukan pemimpin-pemimpin seperti Sukarno yang bisa membangkitkan bangsa Indonesia dengan pernyataan-pernyataannya yang sangat mengelora.
"Dulu zaman Bung Karno kita miskin, tapi kita punya sosok Bung Karno yang bisa membangkitkan semangat rakyat. Sekarang kondisi kita masih lebih bagus dari zaman itu dan akan sangat baik tentunya kalau Jokowi ingin menjadi seperti Soekarno yang membangkitkan semangat bangsa yang saat ini sedang tidur," ujar Fahri di Gedung DPR RI.
Advertisement
Memerdekakan Palestina
Menurut Sukamta, KAA masa dulu mampu mendorong dan memperjuangkan antikolonialisme di seluruh penjuru dunia. Karena itu dalam KAA ke-60 ini salah satu upaya yang bisa dilakukan, adalah terwujudnya kemerdekaan bangsa Palestina. Sebab, negara-negara peserta KAA 1955 hingga 2015 sudah banyak yang merdeka.
"Target KAA 1955 untuk memerdekakan negara-negara Asia-Afrika pada saat itu bisa dikatakan sudah tercapai. Tapi Palestina sejak KAA 1955 hingga KAA yang sekarang belum juga merdeka," jelas dia.
Karena itu, lanjut Sukamta, perlu pencapaian baru dalam KAA ke-60 ini. Pencapaian itu adalah keseimbangan global. Berjuang untuk meminimalisasi kesenjangan antara Barat dan Timur, antara Utara dan Selatan.
"Poros global adanya di Timur Tengah yang letaknya sangat strategis, karena ada di tengah-tengah benua Eropa, Afrika dan Asia. Belum lagi adanya cadangan minyak di sana yang jadi rebutan. Gejolak di Timur Tengah selama ini cukup menentukan konstelasi global," kata dia.
Sehingga, Sukamta menegaskan, pencapaian yang dibutuhkan negara-negara anggota KAA sekarang, adalah komitmen konkret mewujudkan kemerdekaan Palestina di Timur Tengah. Tidak hanya sekadar perdamaian.
"Selain itu, narasi baru kita juga adalah memberi alternatif baru kepada masyarakat dunia atas persoalan-persoalan pembangunan. Bahwa kiblat pembangunan sekarang tidak melulu Barat. Kita ingin di zaman baru ini, melalui KAA ke-60 lahir narasi baru dari bangsa-bangsa Asia-Afrika, sebagai alternatif menjawab tantangan global," pungkas Sukamta. (Rmn/Ein)