Sukses

Aktivis Buruh Migran: Mary Jane Korban Trafficking

Jaringan Buruh Migrant Indonesia meminta kepada pemerintah untuk mencermati kasus yang diduga dialami terpidana mati Mary Jane.

Liputan6.com, Yogyakarta - Terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso sudah dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Wirogunan, Yogyakarta ke Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Pemindahan Mary Jane ke Nusakambangan untuk esksekusi mati tahap II dinilai salah oleh Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI).

Karsiwen sebagai koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia yang turut menemani keluarga Mary Jane ke Nusakambangan, Cilacap meminta kepada pemerintah untuk mencermati kasus ini. Sebab, Mary Jane menurut JBMI diduga menjadi korban dari trafficking yang dilakukan oleh salah satu pelaku bernama Kristina.

Kristina ini diketahui merupakan orang yang menyuruh Mary Jane ke Yogyakarta. Saat ini Kristina tengah buron terkait kasus trafficking. Terkait temuan ini nantinya akan dapat digunakan untuk alasan Peninjauan Kembali (PK) yang kedua. Jika terbukti seharusnya pemerintah tidak boleh mengeksekusi mati Mary Jane.

Ajukan PK ke-2

"Diketahui jika pemerintah Filipina menyatakan Kristina pelaku trafficking sedang diurus kalau ini terbukti trafficking. Kalau terbukti, (Mary Jane) ini nggak boleh dihukum. Kami baru tahu Maret akhir kemarin. Kristina saat ini jadi buronan pelaku trafficking," ujar Karsiwen kepada Liputan6.com Jumat (24//4/2015).

Menurut Karsiwen, pengacara dari terpidana mati rencananya akan mengajukan PK yang kedua. PK kedua ini rencana akan dilakukan pada Senin 27 April 2015 besok ke Pengadilan Negeri Sleman. Namun kepastian PK kedua dapat dikonfirmasi langsung ke pengacara Mary Jane.

Namun ia menegaskan jika Mary Jane tetap akan dieksekusi mati maka ini menjadi kesalahan terbesar negara Indonesia.  

"Proses sidang selama ini pakai bahasa Inggris dia nggak paham bahasa Inggris, makanya akan memasukkan lagi ke traficking-nya. PK kedua kalau sampai dieksekusi maka negara salah besar. Di awal sidang yang penerjemah nggak  sesuai, nggak disediakan sesuai kemampuan terpidana," ujar dia.

Karsiwen menceritakan Mary Jane saat itu benar-benar tidak tahu jika dirinya membawa koper berisi heroin seberat 2,6 kilogram. Mary Jane saat itu sempat melihat isi koper namun tidak ditemukan benda mencurigakan.

Tapi. imbuh Karsiwen, Mary Jane tidak tahunya ternyata terdapat heroin di dalam koper setelah dicek Bea Cukai Bandara Adisuctjipto, Yogyakarta. Mary Jane menurut Karsiwen saat direkrut Kristina untuk kerja di Malaysia sempat membayar dengan memberikan motor dan handphone dan uang 7.000 peso.

Bersama Kristina akhirnya berangkat ke Malaysia. Namun sampai di Malaysia Kristina berdalih majikan belum bisa ditemui. Dan selama seminggu di Negeri Jiran, Mary Jane disuruh ke Yogyakarta untuk bertemu dengan seseorang yang akan memberikan pekerjaan dengan diminta membawakan tas koper.

"Mary Jane percaya nggak ada apa-apa karena sempat dibongkari dulu dan nggak ada apa-apa lalu terbang ke Yogya naik Air Asia dikasih US$ 500. Dia diberitahu, 'Kamu cari hotel dan akan ada orang membantu di sana dikasih nomornya'. Sampai di Yogya polisi curiga dan dibongkar tidak apa-apanya, lalu Bea Cukai dicek. Ternyata dilihat tas hitam aluminium foil dan liguid, katanya, 'Kamu tahu ini apa. Dia bilang nggak tahu. Masalahnya dia nggak pintar bahasa Inggris dia dari keluarga sangat miskin sekali," ujar Karsiwen.

Kontras: Hapus Hukuman Mati, Perbaiki Sistem Hukum...

2 dari 2 halaman

Kontras: Hapus Hukuman Mati, Perbaiki Sistem Hukum


Kontras: Hapus Hukuman Mati, Perbaiki Sistem Hukum


Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menyayangkan pemerintah Indonesia tetap bersikukuh akan melakukan hukuman mati gelombang 2 dalam waktu dekat ini. Sebab, hukuman mati dinilai tidak akan menjamin kejahatan akan berhenti.

Haris menganggap mayoritas masyarakat yang setuju hukuman mati ditegakkan karena mereka frustrasi dengan kondisi hukum di Indonesia. Di mana banyak narapidana yang sudah ditahan di dalam penjara masih bisa mengendalikan bisnis narkoba.

"Ini menurut saya penting, yang perlu kita advokasi adalah masyarakat Indonesia. Mereka setuju hukuman mati, karena kalau tidak dia (terdakwa) tetap bisa dagang (narkoba) di dalam penjara. Padahal problem sesungguhnya ada di dalam penjara," ujar Haris di Kantor Kontras, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (24/4/2015).

Haris menilai, sistem di lembaga pemasyarakatan (lapas) yang harus dibenahi. Tidak mungkin seorang narapidana yang terisolasi di dalam sel tahanan bisa mengendalikan kejahatan di luar penjara jika tidak didukung oleh orang-orang yang mempunyai kendali di lapas.

"Saya tidak setuju ketika penjara disamakan dengan hutan belantara. Karena hutan saja masih ada sistem alam yang teratur. Tapi kenapa di penjara keteraturan itu justru untuk menciptakan kejahatan. Nah ini sebetulnya harus menjadi ruang koreksi," lanjut dia.

Terkesan Diskriminatif

Lebih jauh, Haris menilai hukum di Indonesia terkesan diskriminatif. Banyak pejabat melanggar hukum, namun masyarakat tidak pernah tahu seperti apa hukumannya. "Tapi ketika ada orang yang ringkih atau yang lemah dia akan gampang terkena hukuman mati."

Haris mencontohkan Mary Jane, salah satu terpidana mati yang dalam waktu dekan ini akan dieksekusi. Menurut dia, WN Filipina itu merupakan korban trafficking. Dia mempunyai cita-cita bisa bekerja di luar negeri untuk bertahan hidup. Namun niat mulianya itu justru dimanfaatkan orang yang tidak bertanggungjawab.

"Anda bayangkan bahwa di Filipina kurang lebih mentalitasnya hampir sama dengan di sini (Indonesia). Asisten rumah tangga kan tidak boleh bertanya macam-macam. Lalu tetangga bosnya bilang, kamu berangkat ke Indonesia bawa paket ini, masak iya dia bongkar dulu kan nggak berani. Dia itu cuma kurir," jelas Haris.

Saat ini yang harus diperbaiki adalah sistem hukum di Indonesia. Haris menilai, hukum di Indonesia hanya tajam terhadap orang lemah, namun tumpul kepada pejabat atau orang-orang yang kuat. Bahkan untuk menutupi ketidaktegasan dan kebobrokan di dalam lapas, pemerintah menjadikan tumbal orang-orang lemah untuk dieksekusi mati.

"Ini tidak seimbang. Ini jelas diskriminasi. Ada ketidakberpihakan kepada orang lemah. Jadi menurut saya tolong hentikan eksekusi mati. Bukan berarti mereka dibebaskan. Tetap berikan hukum yang sesuai," pungkas Haris.

Bisa Jadi Boomerang?

Kebijakan pemerintah memberlakukan hukuman mati dinilai dapat merugikan Indonesia dalam urusan diplomatik dengan luar negeri. Bahkan bisa mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa melindungi jiwa warganya sendiri.

Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, salah satu yang menjadi problem Indonesia adalah saat ini ada 200 WNI lebih di luar negeri yang masuk daftar hukuman mati. Jika pemerintah Indonesia tidak menghapus hukuman mati, maka akan menjadi implikasi buruk yang akan berbalik kepada dirinya sendiri.

"Sudah terbukti kemarin, Arab Saudi mengeksekusi 2 WNI dalam 2 hari berturut-turut. Jangankan hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan informasi saja mereka (Arab Saudi) tidak memberikan kepada pemerintah dan keluarga yang dieksekusi," terang Haris di Kantor Kontras, Jakarta, Jumat (24/4/2015).

Terkait rencana pemerintah yang akan mengeksekusi 10 terpidana mati dalam waktu dekat ini, Haris mengaku dirinya sering mendapat kiriman e-mail dari luar negeri, terutama Brasil dan Australia. Mereka meminta warga Indonesia menghentikan pemerintah melakukan eksekusi mati karena merugikan bangsanya sendiri.

"Saya mendapat banyak e-mail dari luar negeri. Mereka percaya bahwa yang bisa menyadarkan pemerintah Indonesia adalah warganya sendiri. Mereka bukan keluarga terpidana mati. Mereka semata-mata sadar bahwa hukuman mati dianggap merugikan Indonesia sendiri," terang dia.

Kamis 23 April kemarin, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan perintah melakukan eksekusi mati gelombang 2 dalam waktu dekat ini. Setidaknya ada 10 terpidana mati 9 di antaranya warga negara asing (WNA) dan 1 warga negara Indonesia (WNI).

Sementara sebelumnya, pemerintah Arab Saudi telah mengeksekusi 2 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam 2 hari berturut-turut. Ironisnya, baik pemerintah maupun keluarha terpidana tidak diberitahu terlebih dulu terkait pelaksanaan eksekusi mati tersebut. (Ans)