Sukses

Perajin Blangkon Yogya Semakin Langka

Kurangnya minat generasi muda membuat blangkon menyebabkan perajin topi khas Yogyakarta semakin sulit dicari. Sebagian besar perajin sudah berusia di atas 70 tahun.

Liputan6.com, Yogyakarta: Perajin blangkon, topi tradisional asal Yogyakarta, belakangan ini, sulit ditemui. Hal itu disebabkan kurangnya minat generasi muda untuk menekuni bisnis tersebut. Tak heran jika saat ini, jumlah perajin topi bermotif kain tersebut dapat dihitung dengan jari. Itu pun sebagian besar sudah berusia di atas 70 tahun.

Menurut Wagimin Darmo Wiyono, seorang perajin blangkon yang berdiam di Bugisan, Wirobrajan, Yogyakarta, ia adalah satu-satunya perajin yang berusia 50 tahun. Dengan begitu, perajin blangkon sejak 1976 itu berniat terus bertahan agar blangkon tetap lestari. Saat ini, di Yogyakarta banyak terdapat pabrik topi Jawa --demikian banyak orang menyebutnya. Namun, topi buatan pabrik tersebut berbeda dengan yang asli buatan tangan, seperti kepunyaan Wagimin. Sebab, pabrik menggunakan lem sebagai perekat blangkon.

Blangkon tersebut dibuat sama dalam jumlah yang banyak. Padahal, dalam sebuah blangkon, Wagimin menambahkan, terdapat nilai-nilai filosofis. Satu di antaranya adalah wiru atau lekukan kain sebanyak 17 buah. Wiru tersebut mengingatkan pemakai blangkon tentang jumlah rakaat dalam salat wajib umat Islam. Selain itu, mondolan atau benjolan di bagian belakang topi menunjukkan sikap rendah hati orang Jawa.

Wagimin mengungkapkan, proses pembuatan blangkon dimulai dengan membuat tekukan atau mewiru kain sebanyak 17 buah. Kemudian, kain tersebut dipasang pada cetakan untuk dirangkai. Sayangnya, tak semua bahan dan motif kain cocok untuk dibuat blangkon. Selama ini, perajin sering menggunakan kain jahit mori dengan motif sidomukti atau wahyu tumurun. Sebuah blangkon karya Wagimin dijual dengan harga berkisar antara Rp 50-100 ribu. Sedangkan blangkon buatan pabrik dijual antara Rp 10-20 ribu.(SID/Wiwik Susilo)
    Video Terkini