Sukses

KPU Butuh Payung Hukum, DPR Akan Revisi UU Pilkada

Rencana ini mengemuka setelah rapat konsultasi antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, dan KPU.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum atau KPU tak bisa menerima rekomendasi Komisi II DPR terkait penggunaan putusan terakhir pengadilan untuk jadi dasar rujukan partai bermasalah yang ikut pemilihan kepala daerah atau pilkada. Karena itu, demi mengakomodir Partai Golkar dan PPP, DPR bakal merevisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Rencana ini mengemuka dalam rapat konsultasi antara pimpinan DPR, Komisi II DPR, dan KPU di Gedung Parlemen, Jakarta Senin malam.

"KPU menerima usulan Komisi II terhadap hasil teknis asalkan ada payung hukum, yaitu revisi terbatas UU Pilkada. Jadi kita harus merevisi itu, sehingga KPU tak ada keraguan," ujar anggota Komisi II dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Sutanto seusai rapat konsultasi tersebut di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/5/2015) malam.

Menurut Yandri, rapat konsultasi tersebut belum final namun bukan diartikan deadlock. Melainkan, terdapat suatu kesepakatan antara KPU dan DPR agar seluruh parpol peserta pemilu 2014 dapat tetap ikut Pilkada 2015 termasuk Golkar dan PPP.

Sekretaris F-PAN di DPR ini mengatakan, bila UU Pilkada tidak direvisi, maka terdapat kekosongan hukum yang membuat PG dan PPP tidak bisa ikut pilkada.

"Jadi revisi ini di luar Prolegnas 2015, tapi tetap dimasukkan ke Baleg DPR. Dan saya yakin sebelum pendaftaran calon KDH (kepala daerah) pada 26-28 Juli maka revisi ini sudah selesai," jelas Yandri.

UU Parpol Juga

Di tempat yang sama, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman mengatakan, revisi terbatas tidak hanya terhadap UU Pilkada, tapi juga UU Parpol.

Menurut Rambe, putusan pengadilan terakhir menjadi acuan memang butuh payung hukum dengan merevisi UU terkait masalah kepersertaan pilkada.

"Itu akan kita laksanakan. Jadi bisa jalan, revisi bisa sekaligus akan kita lakukan. Pimpinan Dewan juga bisa konsultasi ke Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Rambe.

Politisi Patai Golkar ini menambahkan, pihaknya harus menyandarkan keputusan pengadilan bahwa apabila menunggu keputusan inkracht dari pengadilan maka akan memakan waktu yang tidak singkat. "Kalau lama itu yang kita cari. Kalau inkracht dan islah baik. Kita berharap semua parpol ikut pilkada," harap Rambe.

KPU Patuh UU

Sementara itu Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, pihaknya menolak rekomendasi Panja karena sulit diterima secara norma hukum, bahwa putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkracht harus diutamakan.

"Solusinya kalau sudah jadi norma UU, maka hukum positif mengikat termasuk kepada KPU yang diberikan tugas dan UU tentu KPU akan mengikuti," kata Ida.

Menurut dia, revisi UU Pilkada merupakan salah satu alternatif menggunakan lembaga yudikatif dengan putusan inkracht kemudian menggunakan sarana forum musyawarah untuk berdamai. Selanjutnya merevisi UU atau bisa juga meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memprioritaskan penanganan perkara sengketa parpol untuk bisa segera di putuskan.

"Jadi KPU tetap sebagaimana kebijakan sekarang sudah diformulasikan dan segera diserahkan ke Kemenkumham apabila dalam perjalan baik ada fatwa MA atau kemudian legislative review tentu KPU akan ikuti," tegas Ida.

Ida mengakui, poin ketiga rekomendasi Panja Komisi II DPR bermasalah karena belum ada norma hukum di UU Parpol dan UU Pilkada yang memperbolehkan memakai keputusan pengadilan terakhir kepersertaan pencalonan KDH apabila parpol bersengketa belum islah dan pengadilan belum inkracht.

"Hanya lengkapi saja perlu direvisi sebagai solusi atas solusi," ucap Ida.

Ia menambahkan, KPU bukan mengabaikan rekomendasi Panja. Melainkan, hal itu menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.

"Pandangan DPR bukan satu-satunya. Ada hasil uji publik, expert meeting sampai pada kesimpulan yang kami yakini benar," tandas Ida.

Tanggapan Golkar Kubu Agung

Sementara itu, Partai Golkar kubu Agung Laksono menilai desakan pimpinan DPR, pimpinan Komisi II DPR dan bersikukuhnya KPU tidak akan mengubah draf PKPU soal pencalonan kepala daerah (KDH) bagi parpol bersengketa pada Pilkada serentak 2015, tidak mematuhi ketentuan UU Pilkada dan UU Parpol. Sebab, parpol yang sah diakui pemerintah yang berhak ajukan calon KDH.

"Maka dengan adanya SK Kemenkumham sesungguhnya tidak perlu ada polemik, sejak beberapa lalu saya utarakan hal ini, namun perkembangannya tetap saya di mata saya PKPU yang ada belum sesuai UU Parpol dan UU Pilkadanya," ucap Ketua DPP Golkar kubu Agung, Agun Gunandjar Sudarsa di Gedung DPR, Senayan, Senin malam 4 Mei 2015.‎

"Walaupun KPU belum melanggar UU tersebut karena masih memberi ruang untuk adanya putusan yang inkracht sampai 26 Juli," ‎sambung dia.
‎
Namun, Anggota DPR ini mempersoalkan bagaimana kalau sampai tanggal tersebut belum juga ada putusan inkracht, sementara Kemenkumham juga tidak dapat intervensi.

"Oleh sebab itu pasca-diundangkannya PKPU tersebut oleh Kemenkumham, lebih baik segera saja diajukan judicial review Ke Mahkamah Agung (MA) untuk mengembalikan aturan," ujarnya.

Menurut mantan Ketua Komisi II DPR ini, PKPU tersebut yang sesuai dengan UU Parpol dan UU Pilkada-nya, yakni kepengurusan yang mendapat pengesahan pemerintah.

"Proses peradilan tetap berjalan tanpa harus menghambat pelaksanaan SK tersebut sebagaimana bunyi pasal 67 ayat (1) UU PTUN nya," tandas Agun Gunanjar. (Ans)

Video Terkini