Sukses

Polemik Penerus Takhta Keraton Yogyakarta

Sabda Raja dan putri mahkota sebagai penerus takhta telah menimbulkan polemik di Keraton Yogyakarta.

Liputan6.com, Yogyakarta - Sore itu raut kekecewaan tampak di muka Sri Sultan Hamengku Buwono X. Penguasa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini kecewa dengan sikap adik-adiknya yang sudah berkomentar terkait Sabda Raja yang dikeluarkannya. Sementara mereka tidak hadir memenuhi undangan Sabda Raja di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta pada Kamis 29 April 2015 dan Selasa 5 Mei 2015.

"Mereka diundang 2 kali tidak hadir, bagaimana mereka tahu (isi Sabda Raja)," ucap Sultan HB X atau disebut pula Ngarso Dalem di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis 7 Mei 2015.

Sri Sultan HB X (Fathi Mahmud/Liputan6.com)

Raja Yogya yang naik takhta pada 7 Maret 1989 itu pun menyayangkan, banyak informasi beredar justru memicu spekulasi terkait Sabda Raja. Akibatnya, polemik ini menjadi semakin meluas. Sultan pun meminta kepada adik-adiknya untuk menggunakan hatinya dalam menyelesaikan polemik ini.

"Adik-adik itu jangan hanya menggunakan ini (menunjuk kepala), harus menggunakan ini (memegang dada), kalau baca menggunakan ini (menunjuk kepala) mesti keliru (salah), maka seharusnya menggunakan ini (kembali menunjuk dada)," ucap Sri Sultan yang juga menjabat Gubernur DIY.

Sultan HB X yang kini telah berusia 69 tahun menegaskan, 5 poin Sabda Raja yang beredar di masyarakat melalui media massa tidak sesuai apa yang dikeluarkannya pada 30 April lalu.

"Yang dimuat di media tentang 5 poin (Sabda Raja) itu salah semua," kata Sultan di Gunungkidul. Namun Sultan tidak menerangkan isi sabda yang dianggapnya salah itu.

5 Poin Sabda Raja pertama yang dikeluarkan adalah pertama, pergantian nama Sri Sultan Hamengku Buwono menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono. Kedua, gelar Sultan tentang Khalifatullah dihapuskan. Ketiga, penyebut kaping sedasa diganti kaping sepuluh.

Keempat, mengubah perjanjian antara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima yaitu menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.

Sultan Panggil Adik-adiknya

Buat menjelaskan perihal Sabda Raja, Sultan HB X pun memanggil 7 adiknya yang bermukim di Jakarta. Terlebih dengan adanya perubahan gelar putri sulung Sultan, yakni Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun yang berganti gelar menjadi GKR Mangkubumi alias putri mahkota.

Adapun mereka yang dipanggil ke Yogyakarta adalah saudara Sultan dari pihak ibu Kanjeng Raden Ayu (KRA) Ciptamurti. Namun hanya ada 6 orang yang bisa menemui Sultan pada Kamis 7 Mei 2015. Sementara 1 lainnya, yakni Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Hadisuryo tidak bisa hadir karena sedang sakit.

"Kami sore nanti dipanggil Ngarso Dalem ke Keraton. Hanya kami berenam adik-adik yang dari Jakarta," kata GBPH Suryodiningrat di Yogyakarta, Kamis 7 Mei 2015.

6 Adik-adik Sultan yang bisa menghadiri undangan pertemuan terkait Sabda Raja dengan sang kakak, yakni GBPH Pakuningrat, GBPH Cokroningrat, GBPH Suryodiningrat, GBPH Suryomentaram, GBPH Hadinegoro, dan GBPH Suryonegoro.

Mereka yang dipanggil ke Yogyakarta adalah saudara Sultan dari pihak ibu Kanjeng Raden Ayu (KRA) Ciptamurti. (Fathi Mahmud/Liputan6.com)

Gusti Suryodiningrat mengatakan, keluarga dari Jakarta itu pada awalnya ingin bertemu dengan Sultan untuk meminta penjelasan terkait situasi di Keraton. Mulai dari Sabda Tama, Sabda Raja, hingga Dawuh Raja yang sudah digelar Sultan.

Suryodiningrat bersama adik-adik Sultan lainnya yang berada di Jakarta tak hadir saat peristiwa itu terjadi. "Karena kami tidak tahu soal Sabda Raja. Karena itu kami dipanggil ke Keraton untuk mendapat penjelasan langsung dari Ngarso Dalem," ujar dia.

Gusti Suryodiningrat mengaku, dia dan saudara-saudaranya tak diberitahu maupun diundang secara resmi oleh Sultan saat pengumuman Sabda Tama, Sabda Raja, hingga Dawuh Raja. Ia pun hanya mendengar informasi tersebut dari GBPH Prabukusumo yang berada di Yogyakarta melalui saluran telepon.

"Kami dapatnya dari telepon dari Kang Mas di sini, itu beberapa jam sebelum Sabda Raja. Jadi kita tidak mungkin datang," tutur Suryodiningrat.

Sebelum bertemu sang kakak, adik-adik Sultan dari Jakarta ini telah menggelar pertemuan dengan saudara-saudara lain yang bermukim di Yogyakarta. Namun Suryodiningrat enggan membeberkan hasil pertemuan tersebut.

Dia mengaku, setelah bertemu Sultan, mereka akan kembali menggelar rapat keluarga. Barulah kemudian dia bakal menyatakan sikapnya.

Putri Mahkota Ditolak

Ternyata, Dawuh alias perintah Raja yang dikeluarkan Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono X ditentang adik-adiknya. Khususnya perubahan gelar putri sulung Sultan, yakni Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun yang berganti gelar menjadi GKR Mangkubumi alias putri mahkota.

Salah satu adik Sultan, Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Yudhoningrat, menyatakan tak pernah ada dalam sejarah pengangkatan putri mahkota sebagai penerus tahta. Pengangkatan putri mahkota, menurut dia, berlawanan dengan tatanan keraton.

Dawuh alias perintah Raja yang dikeluarkan Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono X ditentang adik-adiknya. (Fathi Mahmud/Liputan6.com)

"Ini mimpi buruk. Kembali ke awal, masalah anaknya yang jadi putri mahkota itu tidak pernah kita kenal dan tidak kita harapkan. Itu berlawanan dengan aturan pokok kekhalifahan Keraton Ngayogyakarto," kata Yudhoningrat di Yogyakarta, Kamis 7 Mei 2015.

Dia pun berharap, pengangkatan putri mahkota itu dapat dibatalkan. Menurut dia, hal ini akan berisiko terhadap hubungan saudara juga rakyat.

"Istilahnya sudah keluar ludah diminum dijilat lagi. Nggak usah malu. Kalau diteruskan mesti geger. Tidak hanya dengan saudara, tapi juga masyarakat kaum muslimin," ucap dia.

Menurut Gusti Yudho, gelar Khalifatullah yang menempel pada Sultan sesuai dengan ajaran agama Islam di mana laki-laki menjadi pemimpin. Karenanya Sultan seharusnya dari kalangan laki-laki. Hal itu, kata dia, sudah diatur dalam Islam yang menjadi dasar Keraton Yogyakarta.

"Sultan sebagai Khalifatullah. Artinya pemimpin agama. Ya jelas kita nggak ada pimpinan tertinggi itu wanita. Di Amerika itu nggak pernah ada itu presidennya wanita, Paus nggak pernah wanita, kemudian romo-romo yang memberikan ceramah itu juga laki-laki," pungkas GBPH Yudhonigrat.

Tanpa Keris Kiai Joko Piturun

Sabda Raja dan soal putri mahkota pun mendapat perhatian akademisi Bayu Dardias. Menurut dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada tersebut, saat mengeluarkan Sabda Raja, Sultan HB X mengatakan "menyempurnakan" Keris Kiai Ageng Kopek dan Keris Kiai Joko Piturun.

Menurut Bayu, pernyataan itu sebagai simbol politis dalam menurunkan takhta keraton kepada penerusnya, yaitu GKR Mangkubumi.

"Sultan selanjutnya (yakni GKR Mangkubumi) tidak perlu lagi menggunakan keris. Sultan mengatakan 'nyempurnakke', itu berarti leluhurnya HB I-IX memegang keris-keris yang belum sempurna," ujar Bayu dalam keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis 7 Mei 2015.

Bayu yang merupakan kandidat doktor di Australian National University dengan disertasi tentang bangsawan-bangsawan di Indonesia, juga menyebut beberapa perbedaan penobatan penerus takhta antara GBPH Dorojatun atau Sultan HB IX tahun 1939 dan GKR Pembayun pada 2015.

Prajurit Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta, (29/7/2014). Grebeg Syawal merupakan perwujudan Hajat Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk rakyatnya. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Polemik Diharap Berakhir

Sementara itu, Kiai Muhaimin hadir di Ndalem Yudhonegaran untuk memberikan aspirasinya terkait polemik yang terjadi di Keraton Yogyakarta. Kiai asal Kotagede tersebut bertemu adik Sultan dan menyampaikan agar Keraton Yogyakarta harus utuh dan kembali pada filosofi awal.

Menurut Muhaimin, polemik keraton jelas akan mempengaruhi budaya di Yogyakarta. Terlebih, keraton menjadi pusat budaya Islam yang hingga saat ini masih eksis. Keraton Yogyakarta adalah kerajaan berbasis Islam tumbuh menjadi kekuatan budaya yang masih terawat hingga kini.

"Boleh dikata ini menusuk jantung NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Keraton Yogya ini satu-satunya kerajaan Islam sebagai center of culture. Ini menyangkut situs keislaman yang fundamental bagi kami, khususnya kiai pencinta Islam secara kultural," ujar Muhaimin di Ndalem Yudhonegaran, Yogyakarta, Kamis 7 Mei 2015.

Muhaimin menambahkan, Islam berbasis kerajaan seperti di Yogya ini memiliki basis sosiologi dan sejarah sendiri. Sehingga para kiai ingin menjaga dan merawatnya. Polemik yang terjadi di Keraton Yogyakarta telah membuat para kiai prihatin dan berharap tidak berlarut-larut. (Ans/Ali)