Liputan6.com, Jakarta - DPR berencana merevisi Undang-Undang (UU) Parpol Nomor 2 Tahun 2011 dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Revisi ini dilakukan untuk mengatur dengan jelas parpol peserta pemilu yang sedang berkonflik. Mengingat masih ada 2 parpol yang masih mengalami dualisme kepemimpinan.
Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman mengatakan, tidak ada pihak yang diuntungkan dari revisi kedua UU tersebut. Politisi Golkar kubu Aburizal Bakrie ini membantah revisi itu dilakukan hanya untuk mengakomodir salah satu kubu Partai Golkar dan PPP yang saat ini sedang mengalami dualisme kepemimpinan.
"Kita tidak mengubah UU Pilkada untuk memasukkan 2 parpol yang bersengketa," kata Rambe dalam diskusi 'Revisi UU Pilkada dan Parpol' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/5/2015).
Rambe mengatakan, tidak ada cara lain untuk memastikan pilkada berjalan lancar, kecuali dengan merevisi UU Pilkada. Peraturan KPU sudah mengatur partai yang berselisih dapat mengikuti pilkada, apabila memiliki kekuatan hukum yang berkekuatan hukum tetap sebelum pendaftaran pada 26-28 Juli 2015. Jika belum ada keputusan, maka kedua kubu yang berselisih harus melakukan islah.
"Kalau sampai pendaftaran belum ada keputusan dan belum islah lalu bagaimana?" tanya dia.
Oleh karena itu, kata Rambe, Komisi II DPR mengusulkan agar parpol dapat mengikuti pilkada dengan mengantongi putusan sementara yang ada sebelum pendaftaran.
"Tapi itu tidak bisa dimasukkan ke PKPU karena tidak ada payung hukumnya. Karena itulah kita revisi UU Pilkada untuk menciptakan payung hukum ini," ucap Rembe.
Saat ini, Golkar kubu Aburizal dan PPP kubu Djan Faridz yang sementara dimenangkan oleh sidang Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun, menurut Rambe, tidak dapat dipastikan siapa yang akan mengantongi putusan sementara pengadilan menjelang pendaftaran nanti.
"Jadi tidak ada yang diuntungkan di situ," kata dia.
Rambe menambahkan, revisi kedua UU tersebut tidak bertujuan untuk melanggar aturan demi kepentingan kelompok. "Mengubah ini bukan berarti kita ingin melanggar. Hak DPR bersama dengan pemerintah dan Presiden mengubah UU. Dalam UU MD3 juga diatur bagaimana (revisi untuk UU) belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)," kata Rambe.
Wacana revisi ini, imbuh Rambe, berdasarkan kesepakatan Komisi II. Ada 3 pilihan untuk partai berkonflik. Pilihan pertama menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap, pilihan kedua islah, dan yang terakhir adalah menggunakan putusan pengadilan terakhir.
"Ini jalan tengah terbaik. Makanya, pimpinan di Komisi II menandatangani itu," jelasnya.
Dia berpandangan, permasalahan putusan mahkamah partai dalam perselisihan juga tidak diatur secara jelas. Untuk itu, perlu dibuat aturan yang dapat masukan dari semua pihak berkepentingan. "Jadi, saya kira kita harus selesaikan. Secara terbuka seperti ini. Kalau sudah ada pasal yang masuk, kita konsultasikan seperti ini," tandas Rambe.
Selanjutnya: KPU Hanya Menjalankan
KPU Hanya Menjalankan
KPU Hanya Menjalankan
Sementara Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyatakan, pihaknya hanya bertugas menjalankan undang-undang yang dibuat DPR bersama pemerintah. Maka dari itu, terkait revisi UU Parpol dan Pilkada, KPU hanya menunggu keputusan finalnya saja.
"Kita kan tidak dalam posisi untuk menentukannya. Untuk revisi kan itu kewenangan dari pemerintah sama DPR, jadi silakan saja mau direvisi. Bahwa posisi kita, ya posisi yang menunggu saja terkait soal revisi itu," kata Ferry di Gedung KPU.
Namun, jika revisi tersebut benar dilakukan, Ferry berharap, harus segera selesai mengingat pelaksanaan Pilkada serentak yang semakin dekat. Selain itu, UU sebelumnya sudah diterbitkan dan ditambah dengan beberapa regulasi yang sudah masuk PKPU.
"Kalau toh memang benar-benar jadi, harus cepat. Karena kan proses pilkada ini juga sedang berlangsung, dan tentunya sesuai dengan yang ada. Itu yang memang menjadi point kita. Bahwa PKPU ini sudah terbit dan diundangkan," ucap Ferry.
Ferry mengakui, usulan revisi tersebut memang pihaknya yang mengusulkan. Hal itu karena, apa yang terjadi saat ini khususnya polemik di Golkar dan PPP tidak diatur dalam UU sebelumnya, jika partai yang bersangkutan belum mendapat keputusan incraht dari pengadilan atau islah saat tahapan Pilkada serentak mulai digelar.
"Ya, kita bilang, bahwa memang ini tidak ada dasar hukumnya. Kalau toh mau dibuat dasar hukumnya ya dibuat aturan yang lebih tinggi. Mungkin gini, kalau menurut kita kan ini sudah cukup, sesuai dengan pemahaman kami, sesuai dengan perundangan yang sudah ada. jadi ini sudah ter-cover di peraturan teknik dalam PKPU. Bahwa menurut DPR dan Pemerintah ada kekurangan dasar hukum, ya itu kewenangan mereka," papar Ferry. (Mvi/Ado)
Advertisement